Sukses

Ironi Hukum Susno Duadji, Dicari Sekaligus Dilindungi

Perjalanan hidup Susno Duadji memang penuh ironi. Tak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk bangsa ini. Dilahirkan di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, 59 tahun lalu, Susno mestinya bisa menjadi sosok kebanggaan di tengah perang terhadap korupsi, kendati kemudian terjerumus menjadi pelaku korupsi.

Betapa tidak, sepanjang kariernya sebagai perwira polisi, lulusan Akabri Kepolisian 1977 ini terbang mengunjungi puluhan negara untuk memperdalam ilmu tentang seluk-beluk korupsi. Tak salah kalau kemudian dia mewakili Polri membidani lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003. Setahun kemudian, Susno ditugaskan di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Berkarier di luar institusi Polri tak membuat namanya dilupakan. Buktinya dia kemudian menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat dan menempati salah satu posisi strategis di Polri saat dilantik sebagai Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri menggantikan Bambang Hendarso Danuri. Sejak itu, nama Susno meroket sekaligus terjun bebas.

Ahli Korupsi yang Tersangkut Korupsi

Suami dari Herawati ini tak lama menjabat Kabareskrim, hanya 13 bulan ketika diberhentikan pada 24 November 2009. Dalam posisi tanpa jabatan yang jelas dengan menanggung tiga bintang di pundaknya, Susno mencoba mengungkap kasus mafia pajak yang menurutnya telah didiamkan institusi Polri. Sejumlah nama dia sebut, termasuk perwira tinggi di tubuh Polri.

Sayang, informasi yang dia berikan berbalik arah. Susno kemudian dilaporkan terlibat dalam 2 kasus korupsi yang berujung dengan duduknya sang komisaris jenderal polisi di kursi terdakwa. Pada 24 Maret 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya memutuskan bahwa dia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam kasus penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari (SAL), Susno terbukti bersalah menyalahgunakan kewenangannya saat menjabat Kepala Bareskrim Polri dengan menerima hadiah sebesar Rp 500 juta untuk mempercepat penyidikan kasus tersebut.

Adapun dalam kasus dana pengamanan Pilkada Jabar, Susno yang saat itu menjabat Kepala Polda Jabar dinyatakan bersalah memotong dana pengamanan sebesar Rp 4,2 miliar untuk kepentingan pribadi.

Atas semua itu, ia dijatuhi hukuman pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider kurungan penjara 6 bulan. Susno pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta yang kemudian menolaknya pada 9 November 2011. Tak mau menyerah, dia kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Kasasi Ditolak, Susno Juga Menolak Eksekusi

Upaya hukum Susno pun berakhir ketika MA juga menolak pengajuan kasasi yang berarti dia harus memenuhi putusan pengadilan tingkat pertama bahwa dia mesti menjalani hukuman 3,5 tahun. Namun, tiga kali dia tak memenuhi panggilan eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Susno menyatakan dirinya tidak dapat dieksekusi karena ketiadaan pencantuman perintah penahanan dalam putusan kasasi MA. Susno berkilah, MA hanya menyatakan menolak permohonan kasasi dan membebankan biaya perkara Rp 2.500.

Alasan kedua adalah penilaian bahwa putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta cacat hukum. Penilaian itu merujuk pada kesalahan penulisan nomor putusan PN Jaksel dalam amar putusan banding. Dengan kedua argumen itu, Susno menganggap kasusnya telah selesai dan menolak eksekusi.

Tak mau kalah gertak, kejaksaan bersikeras mengeksekusi Susno. Hal itu diwujudkan pada Rabu (24/4) pagi, ketika satu tim jaksa eksekutor mendatangi kediaman Susno di Jalan Dago Pakar Nomor 6, Kelurahan Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jabar.

Tak Mudah Menciduk Susno

Ternyata, upaya itu tak mudah. Alih-alih bisa membawa sang terpidana, tim jaksa malah sempat bersitegang dengan Susno yang dipagari sejumlah petugas kepolisian. Intinya, dia tetap menolak untuk dieksekusi. Situasi penuh ketegangan berlanjut, karena sebelumnya pengacara Susno, Fredrich Yunadi, sempat mengatakan bahwa kliennya bakal melakukan perlawanan jika dipaksa.

"Sampai dieksekusi dengan kekerasan, pengawal Pak Susno tidak akan segan-segan untuk tembak di tempat," tutur Fredrich.

Dia juga mengklaim tindakan ekstrem itu akan dilakukan karena sudah ada izin dari institusi Polri. "Pak Susno dilindungi oleh institusi Polri. Pengawalnya langsung dari Polri," jelasnya.

Suasana makin tegang ketika Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra hadir di kediaman Susno setelah sebelumnya dikabarkan yang bersangkutan telah memerintahkan Satgas PBB, Brigade Hizbullah, mendampingi dan mengawal Susno.

"Pasukan Brigade Hizbullah sudah di dalam, ada 10 orang dan di bawah sedang meluncur 30 sampai 40 orang," kata Wakil Sekretaris DPW PBB Jawa Barat, Tatus Sundara, di rumah Susno.

Tatus menuturkan, pengamanan dan pengawalan terhadap Susno merupakan instruksi langsung dari DPP PBB karena yang bersangkutan merupakan aset partai. "Salah satu tugas Brigade Hizbullah ialah untuk mengamankan aset partai. Dan Pak Susno adalah aset partai yang harus dijaga," katanya.

Yusril yang sebelum meninggalkan kediaman Susno sempat berbicara kepada wartawan mengatakan upaya eksekusi terhadap kader partainya itu sudah keterlaluan dan tidak ada dasar hukumnya. "Ini sudah kelewatan, tidak ada dasar untuk eksekusi," ujar Yusril.

Menurutnya, putusan atas persoalan hukum yang didakwakan terhadap Susno tak lagi bisa dijalankan. "Itu kan batal demi hukum kalau hanya berdasarkan pada Surat Edaran Jaksa Agung. Apa kekuatan Surat Edaran Jaksa Agung?" tanya Yusril.

Hingga petang menjelang, Susno masih bertahan dan memutuskan untuk meminta perlindungan dari Polda Jabar, instansi yang pernah dipimpinnya. "Pak Susno akan pergi ke Polda Jawa Barat, Bandung, beliau akan meminta perlindungan. Polda siap memberikan perlindungan itu," jelas Yusril.

Ucapan itu ternyata terbukti. Susno yang mengenakan kemeja putih keluar dari rumahnya sekitar pukul 17.20 WIB. Dia tidak memberikan komentar terkait rencana eksekusi itu. Dengan menumpang mobil polisi, Susno diantarkan ke Polda Jabar. Perdebatan antara jaksa dan Susno pun berlanjut di Mapolda Jabar. Mediasi antara tim dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta serta Kejaksaan Tinggi Jabar dengan Susno terus berlangsung.

Tim Jaksa Gagal, Polri Dikecam

Namun, Susno yang mendapat perlindungan polisi menjadi semakin sulit untuk dijangkau tim eksekutor. Akhirnya, tim jaksa memutuskan menarik semua petugasnya pada Rabu dini hari. Tak banyak informasi yang didapat. Rombongan kejaksaan keluar dan berlalu begitu saja.

Terlibatnya kepolisian dalam eksekusi Susno menimbulkan pertanyaan dan penyesalan berbagai pihak. Polisi yang seharusnya ikut mendukung langkah penegakan hukum dari kejaksaan, ternyata berbalik melindungi seorang terpidana.

Seperti dikatakan anggota Komisi Kepolisian Nasional, Edi Hasibuan, Polri harusnya menjadi mediator, bukan pihak yang menghalangi. "Polri dan Kejaksaan kan sama-sama aparat hukum, jangan sampai hubungan mereka tidak bagus," kata Edi Hasibuan.

Hal senada juga diungkapkan wakil rakyat yang melihat langkah Polri telah membuat posisi kedua lembaga penegak hukum menjadi serba canggung. "Saya menyesali double standard Polri yang menempatkan Kejagung pada posisi serba sulit," kata anggota Komisi III dari Fraksi PDIP, Eva K Sundari.

Namun, Polri menampik semua tuduhan itu. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan Polri tidak menghalang-halangi proses eksekusi yang dilakukan jaksa. "Kehadiran polisi karena ada kemungkinan pecah bentrokan fisik, sehingga kehadiran polisi untuk mencegah, bukan menghalang-halangi," kata Boy.

Kuatnya aroma ketegangan di antara kedua institusi ini membuat pimpinan Polri dan kejaksaan memutuskan untuk bertemu mencairkan suasana. Dalam pertemuan di Mabes Polri, Kamis (25/4), disepakati mekanisme eksekusi. "Insya Allah sudah kami sepakati mekanismenya hari ini. Teknis dan strateginya seperti apa, akan kami sepakati," kata Jaksa Agung, Basrief Arief. Selain itu, Kejagung juga berjanji akan segera mencekal Susno.

Sementara Kapolri Jenderal Timur Pradopo menegaskan siap membantu mengamankan eksekusi Susno. Pengamanan dilakukan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan selama proses eksekusi mantan Kepala Bareskrim Mabes Polri itu. "Siapa yang mau halang-halangi, itu melanggar hukum," kata Timur.

Namun sayang, hingga Kamis malam keberadaan Susno tak jelas. Upaya kejaksaan untuk menjemput Susno menemui jalan buntu karena ketidaktahuan posisi sang terpidana. Sejumlah lokasi yang didatangi tim jaksa tak memperlihatkan tanda-tanda keberadaan sang purnawirawan jenderal polisi, termasuk di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Lagi-lagi fakta ini menambah 'lucu' kasus Susno. Tak salah jika Ketua Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika, menyebutkan bahwa jalinan semua kasus ini tak ubahnya seperti sebuah sinetron. "Itu kalau di sinetron ibarat komedi tragedi. Di mana sesama penegak hukum yang harusnya sinergi malah berhadapan," ujarnya.

Kini, tim eksekutor tengah menyiapkan langkah baru untuk menahan Susno. Di balik semua itu, kasus ini lagi-lagi memperlihatkan potret hukum kita yang amburadul, lengkap dengan segala ulah aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, hingga advokat.

Mestinya, kasus ini bisa menjadi cermin untuk berbenah bagi pengadilan di semua tingkatan untuk mengeluarkan putusan yang jelas dan tidak multitafsir. Sedangkan bagi kejaksaan dan kepolisian, eksekusi Susno harus bisa menjadi langkah untuk melihat kembali tugas pokok masing-masing.

Sejatinya, Susno hanyalah seorang terpidana, sehingga akan sangat memalukan jika dia bisa membuat dua lembaga penegakan hukum menjadi kecil di mata publik.(Ado)




* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.