Sukses

Nasib Dolly Usai Ditutup

Penutupan lokalisasai Dolly memang dilematis, namun pemerintah harus memperhatikan asas manfaat dan konsekuensinya tanpa ada yang dirugikan.

Liputan6.com, Jakarta - Sore menjelang magrib, tepatnya Rabu 18 Juni suasana kembali tegang. Ratusan warga yang menolak penutupan lokalisasi Dolly atau Gang Dolly memblokade Jalan Raya Dukuh Kupang, Surabaya, akses menuju lokasi deklarasi penutupan Dolly di Islamic Center Surabaya.

Polisi yang hendak masuk ke lokasi deklarasi dihadang warga, sehingga bentrokan antara warga dan aparat pun tak dapat dihindarkan. Keributan membuat ratusan warga yang sudah bersiaga di lokalisasi Dolly bergerak menuju lokasi bentrokan di depan Kantor Kelurahan Putat Jaya.

Warga yang marah memaki tindakan polisi yang berjumlah mencapai seribu personel itu, karena dinilai arogan. Negosiasi antara polisi dan warga akhirnya berjalan baik, sehingga bentrok susulan tidak terjadi. Aparat kepolisian kemudian menarik mundur pasukannya dari lokasi pemblokiran jalan.

Meski demikian, warga tetap bersiaga dan melakukan blokade akses jalan menuju Islamic Center yang tak jauh dari lokalisasi Dolly. Warga yang terdiri dari PSK, mucikari dan warga sekitar lainnya juga memblokade akses utama menuju Dolly yakni kawasan Putat Jaya, Dukuh Kupang, dan Giri Laya.

Di antara mereka ada yang membawa senjata peralatan masak. Bahkan, mereka juga membakar ban di sekitar Gang Dolly. Akibatnya, sejumlah toko dan kios yang berada di sekitar lokasi Dolly terpaksa tutup. Mereka khawatir akan terjadi bentrokan yang lebih besar.

Warga yang juga tergabung dalam Barisan Bintang Merah, Front Pekerja Lokalisasi dan Komunitas Pemuda Indonesia (Kopi) keberatan atas keputusan Pemerintah Kota Surabaya yang menutup lahan pekerjaan mereka. Meski Pemkot Surabaya berencana akan memberikan dana kompensasi senilai Rp 5 juta bagi kurang lebih 1.400 PSK di Dolly dan Jarak.

Pemasangan bendera setengah tiang pun dilakukan sebagai bentuk protes mereka terhadap rencana Walikota Tri Rismaharini alias Risma, yang akan menutup lokalisasi yang sudah berdiri sejak tahun 1960-an itu. Pemberian uang kepada para PSK dinilai bukan jalan keluar.

Setelah melalui proses beberapa pekan ini, deklarasi yang sebelumnya mendapat ancaman pembubaran dari warga, akhirnya berlangsung cukup kondusif. Penandatangan deklarasi dilakukan Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri, Gubernur Jawa Timur Sukarwo alias Pakde Karwo dan Walikota Surabaya Risma.

Realitas Sosial...


* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Realitas Sosial

Realitas Sosial

Memang, penutupan lokalisasi ini bukan perkara mudah. Selama puluhan tahun lokalisasi ini berdiri tak ada yang mampu menutupnya. Kini, setelah Dolly menjadi lahan penghidupan banyak orang, langkah penutupan yang digagas Walikota Surabaya Tri Rismaharini itu mendapat perlawanan warga penghuni lokalisasi.

Meski pusat bisnis esek-esek terbesar se-Asia Tenggara itu resmi ditutup, namun tidak serta merta masalah akan tuntas. Sederet realitas sosial tidak menutup kemungkinan akan bermunculan. Dari mulai pengangguran hingga masalah eksodus PSK ke lokalisasi lainnya.

Sejumlah kota diperkirakan akan menjadi kota tujuan eksodus 'alumni' Dolly. Di antaranya Jakarta, Semarang, Bali, Batam dan sejumlah kota besar lainnya. Namun tidak mudah bagi 'alumni' Dolly bermigrasi ke lokalisasi lainnya. Beberapa kota tujuan sudah mengantisapasi.

Selain dinilai sebagai ajang menambah kemaksiatan, juga kekhawatiran penyebaran AIDS. Seperti di Batam, Komisi Perlindungan AIDS Kota Batam mencatat, selama 2013 terdapat 54 warga Batam meninggal karena penyakit menular itu.

Pengidapnya pada 2013, sebanya 198 orang, 106 perempuan, dan 92 laki-laki. Penderita baru HIV/AIDS di Batam sebanyak 577 orang, 287 perempuan dan 290 laki-laki. Sejumlah kota lainnya juga siap menyisir para PSK pindahan dari Dolly.

Tak hanya akan menyisir, mereka juga siap menutup tempat lokalisasi tersebut jika kedapatan menerima dan mempekerjakan PSK asal Dolly. Seperti dilakukan warga lokalisasi Sunan Kuning, Semarang, Jawa Tengah dan Malang.

Bukan hanya PSK 'alumni' Dolly yang mungkin akan kehilangan pekerjaan. Bagi warga sekitar yang memperoleh penghasilan adanya lokalisasi tersebut, seperti mucikari, tukang ojek, tukang parkir, pedagang, hingga calo juga mengalami hal sama. Penghasilan mereka tentu berkurang, atau bahkan hilang.

Di sisi lain, adanya lokalisasi tersebut juga menelurkan fenomena baru. Banyak tempat-tempat hiburan baru seperti karoke di sekitar Dolly marak bermunculan. Tak sedikit pula remaja yang masih duduk di bangku SMP menjajakan diri kepada hidung belang di lokasi yang saat ini dihuni 1.000 lebih pekerja seks komersial (PSK) dan sekitar 300 mucikari dan 400 warga.

Selain pria dewasa, tak sedikit pula remaja di Surabaya mengunjungi lokalisasi tersebut, sekedar untuk menyalurkan hasrat seksnya. Secara moral mungkin ini bisa dibilang sebagai penyakit bagi generasi muda. Di sisi lain, bahaya AIDS terus mengancam kepada mereka.

Dilihat dari budaya, Jawa Timur selain sebagai Kota Santri, juga sebagai Kota Pahlawan. Pembiaran terhadap Dolly dinilai merusak nilai-nilai budaya lokal. Sejumlah kalangan pun mayoritas mendukung penutupan Dolly. Dari mulai tokoh, DPR, omas, hingga dukungan di jejaring sosial.

Tempat Bisnis...

 

3 dari 4 halaman

Tempat Bisnis

Tempat Bisnis

Penutupan lokalisasi itu mendapat respons positif dari anggota Komisi VIII Ali Maschan Moesa. Ia setuju jika lokalisasi itu ditutup. Wakil Ketua Dewan Syura PKB itu juga menuturkan, bantuan dana sementara sebesar Rp 5 juta dinilai lebih dari cukup.

Selain itu, para wanita tunasusila tersebut juga harus dibekali ilmu tambahan agar dapat mencari pekerjaan maupun usaha. Ia juga menyarankan sebaiknya lokalisasi tersebut dibangun menjadi pasar atau mall, agar warga sekitar tidak kehilangan mata pencahariannya.

Sementara dari sisi hak asasi manusia (HAM), Ketua Komnas HAM Hafid Abbas meminta Pemkot Surabaya untuk memperhatikan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari bisnis ini, misalnya dengan memberikan kompensasi sebagai perhatian dari aspek HAM.

Langkah itu memang sudah diantisipasi. Kementerian Sosial, misalnya, berjanji memberikan bantuan dana sebesar Rp 5.050.000 untuk eks pekerja seks komersial (PSK).

Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Kemensos Sonny Manalu mengatakan, bantuan tersebut diberikan dalam bentuk tabungan, dan akan diberikan saat mereka pulang ke kampung halaman masing-masing. Sebanyak 1.449 eks PSK akan dipulangkan ke daerah asalnya.

Bantuan yang diberikan berupa dana Usaha Ekonomi Kreatif sebesar Rp 3 juta, Rp 1,8 juta untuk jaminan hidup dengan rincian Rp 20 ribu per hari selama 90 hari dan Rp 250 ribu untuk transportasi mereka pulang ke kampung.

"Mereka membuat pernyataan tertulis tidak akan kembali lagi. Kalau nanti kembali lagi akan ditindak," kata Sonny, Surabaya, Rabu 28 Juni.

Sedangkan bagi warga sekitar Dolly yang selama ini mendapatkan penghasilan dari berbagai kegiatan di kawasan tersebut akan diberdayakan Pemkot Surabaya, termasuk merefungsikan Dolly menjadi lokasi usaha ekonomi produktif.

Sementara mucikari dan germo akan mendapat bantuan dari Pemprov Jatim. Harapannya memang pemerintah ingin memanusiakan mereka yang selama ini menggantungkan hidupnya dengan bisnis esek-esek ini. Namun terkadang, kenyataan belum tentu sesuai harapan.

Memang, di antara pekerja seks komersil di lokalisasi tersebut kini sudah ada yang mulai merambah ke dunia lain, yang tentu lebih bermartabat. Mereka membuka usaha kecil-kecilan, seperti berdagang telur atau binatu.

Pendidikan...

 

4 dari 4 halaman

Pendidikan

Pendidikan

Psikolog Seksual Zoya Amirin mengatakan, penutupan lokalisasi ini tidak semerta merta menyelesaikan masalah generasi muda yang suka menggunakan PSK atau memperbaiki moral penduduk setempat. Masalah pelacuran ada karena ada permintaan (demand), maka pasar menyediakan. Prinsip ekonomi ini jelas.

Kalau ini masalah moral, selesaikanlah secara moral. Menutup lokalisasi itu seperti rumah mewah tanpa toilet sehingga ibarat orang buang air sembarang sekeliling rumah. Solusi masalah moral generasi penerus terkait pengguna jasa prostitusi ini adalah dengan memperjuangkan seks edukasi kepada semua kalangan.

Perjuangkan juga undang-undang perlindungan anak secara serius, yakni dengan menghukum seberat-beratnya prostitusi anak di bawah 18 tahun dan pengguna yang meminta dilayani atau dicarikan PSK di bawah umur.

Bahkan jika perlu dibuatkan Peraturan Pemerintah (PP) khusus untuk lokalisasi, sekalian buat mereka membayar pajak. Buat tim pemantau yang dilindungi undang-undang larangan PSK dan pengguna PSK di bawah 18 tahun.

Buat juga Kartu Sehat Khusus ke puskesmas pusat terdekat dengan prioritas, sehingga para PSK harus melakukan kontrol kesehatan seksual secara rutin. Dan bantuan khusus bagi PSK yang positif HIV termasuk infeksi menular seksual tingkat akut yang tidak memungkinkan ia bekerja menjadi PSK lagi.

Penutupan Dolly memang cukup dilematis, namun pemerintah setempat harus menimbang dengan matang asas manfaat. Bukan atas dasar kepentingan sepihak yang justru merugikan warga. Yang jelas tidak cukup memberikan kompensasi, tapi harus menangani dampak penutupan ini secara khusus, serta siap dengan konsekuensi ke depan.

Tetapi berkaca dari sejarah penutupan beberapa lokalisasi di Jakarta, seharusnya Surabaya mempu menutup lokaslisasi ini tanpa merugikan pihak lain, khususnya bagi penghuni Gang Dolly.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.