Sukses

UU 32/2004 Perlu Penyempurnaan

Terkait polemik ini, Presiden SBY berpesan kepada Mendagri Gamawan Fauzi agar menjalankanya sesuai UU 32/2014 tentang Pemerintah Daerah.

Citizen6, Riau: Polemik pelantikan Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Hambit Bintih, terus bergulir dan menjadi isu nasional. Ada pihak yang memperbolehkan dan ada juga pihak yang meminta pelantikan tidak dilaksanakan dengan pertimbangan asas moral dan etika.

Terkait polemik ini, Presiden SBY berpesan kepada Mendagri Gamawan Fauzi agar menjalankanya sesuai UU 32/2014 tentang Pemerintah Daerah. Namun Presiden SBY juga berharap Mendagri bisa mempertimbangkan asas moral dan etika.

"Mempertimbangkan hal lain yang dimaksud di sini adalah kepatutan, moral, etika atau pandangan dari masyarakat mengenai kasus yang memang harus kita lihat jadi perhatian publik," ujar Jubir Presiden Julian Aldrin Pasha di Istana Negara, Jumat 27 Desember 2013.

Presiden SBY, lanjut Julian, juga berpesan agar Mendagri segera mencari jalan yang terbaik terkait polemik pelantikan tersebut. Sehingga Pemkab Gunung Mas tidak terganggu.

"Agar pemerintahan di Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah itu bisa berjalan dan tidak terganggu. Itu yang dipesankan Bapak Presiden kepada Mendagri sedang mencari solusi sebagaimana yang menjadi kewenangan pemerintah," tuturnya.

Ketika ditanya penegasan apakah Presiden mendukung pelantikan Hambit Bintih, Julian menjawab Presiden mendukung jika hal itu sesuai dengan UU.

"Kita tahu pemilihan kepala daerah sudah berdasarkan dari amanat UU otonomi daerah, dan sebagai konsekuensi logis seseorang yang dipilih atau dinyatakan pemenang dari hasil pemilukada tentu akan dilantik harus dilantik oleh pemerintah, sampai di sini yang harus dijalankan karena ini perintah UU. Kalau kemudian kasus ini berbeda dengan amanat UU ya mari kita carikan jalan terbaik yang bisa diterima oleh semua," jawabnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak rencana pemerintahan daerah dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang tetap akan melantik tersangka suap di Mahkamah Konstitusi (MK) Hambit Bintih.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjayanto mengatakan pelantikan Bupati Kabupaten Gunung Mas terpilih itu adalah tindakan amoral dan cacat hukum.

''Kami (pimpinan) sudah berdiskusi dan mengambil kesimpulan. Diantaranya tetap menolak memberikan izin (pelantikan tersangka),'' kata Bambang saat di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 27 Desember 2013.

Bambang menegaskan, keputusan KPK adalah final. Menurutnya, Hambit tetap akan menjadi tersangka yang ditahan di Rutan Guntur sampai keputusan hukum bicara beda. Dia menjelaskan, ada banyak alasan mengapa Hambit tidak pantas didukung oleh Kemendagri agar tetap dilantik menjadi bupati.

KPK punya penilaian yang sama tentang tidak ada ditemukan aturan dalam undang-undang pemerintahan daerah, yang mengatakan seorang tersangka tetap bisa dilantik meski terganjal perkara korupsi.

Selain itu, pelantikan Hambit juga cacat secara moral dan hukum. Dikatakan dia, ketentuan undang-undang menghendaki seorang calon kepala daerah agar disumpah saat dilantik. Sumpah jabatan tersebut mengikat diri penyelenggara negara untuk taat aturan dan lurus dalam penegakan hukum.

Akan halnya dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, yang tetap bersikukuh akan melantik Bupati Gunung Mas tersebut, karena sudah diamanahkan Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Jika melihat dari berbagai persoalan tersebut, Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, menurut hemat penulis perlu dilakukan penyempurnaan UU tersebut.

Seperti halnya yang disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW), mendesak agar pemerintah segera merevisi Undang-Undang (UU) No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) dan RUU Pemilukada. Harapannya agar setiap kepala daerah yang sedang berurusan dengan proses hukum bisa segera dinonaktifkan.

Di dalam UU yang berlaku sekarang, kepala daerah hanya bisa dinonaktifkan jika sudah duduk di kursi pesakitan. Dalam artian dihadapkan di depan persidangan.

"Karena dalam Pasal 31 ayat 1 UU Pemda menyebutkan, kepala atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara," ujar aktivis ICW Abdullah Dahlan.

"Pasal ini untuk kondisi saat ini sudah usang dan sangat tidak relevan dan pro pemberantasan korupsi serta menghambat jalannya roda pemerintahan daerah. Karena itu regulasi ini harus direvisi, seharusnya pemberhentian sementara oleh Presiden dapat dilakukan ketika Kepala atau wakil kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka," lanjut Dahlan.

ICW berharap UU itu bisa segera direvisi. Jika seorang kepala daerah sudah ditetapkan tersangka, dia harus segera dinonaktifkan. (mar)

Penulis
Amril Jambak
Wartawan di Pekanbaru, Riau

Baca juga:
Sikon Polkam Luar Negeri 2014 Rawan Ketidakpastian
Masihkah Kita Mencintai Bahasa Indonesia?
Judicial Review UU Pilpres, Upaya Meluruskan Konstitusi



Disclaimer:

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atauopini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com

Mulai 16 Desember sampai 3 Januari 2014 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Resolusi 2014". Ada kado akhir tahun dari Liputan6.com, Dyslexis Cloth, dan penerbit dari Gramedia bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.