Sukses

Janji Ahok Menuju DKI 1

Wagub Ahok mengaku akan berubah lembut dan tidak mengumbar amarah lagi jika nantinya menggantikan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta - Orang bijak mengatakan: yang abadi itu perubahan. Intinya, hidup itu pasti selalu berubah, tak akan pernah selalu sama. Kemarin, hari ini dan esok. Semuanya berputar dan manusia ikut dalam perubahan tersebut tanpa disadari.

Kemarin Joko Widodo jadi Walikota Solo, hari ini memimpin warga Jakarta sebagai gubernur. Dan melihat perubahan yang terus bergerak dengan cepat, sangat mungkin kalau besok pria yang karib disapa Jokowi itu akan tampil sebagai Presiden Indonesia.

Banyak hal akan berubah jika Jokowi berkantor di Kompleks Istana di Jalan Medan Merdeka Utara. Selain peta politik dan jajaran kabinet, perubahan juga akan terjadi di Balaikota Jakarta. Dengan hengkangnya Jokowi, keseharian di Kantor Gubernur Jakarta itu tak akan lagi sama.

Perubahan paling nyata adalah tampilnya Basuki Tjahaja Purnama menggantikan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta. Mengingat karakter Jokowi dan Wakil Gubernur yang biasa disapa Ahok itu sangat kontras, bisa dibayangkan kalau atmosfer di kantor Pemprov DKI Jakarta itu juga akan sangat berbeda.

Pilpres 2014 memang masih sangat jauh dan kepastian Jokowi menjejakkan kaki di Istana masih sebatas wacana. Namun, Ahok sudah menyiapkan diri sejak awal. Dia juga sangat yakin bakal memimpin Jakarta setelah Jokowi sukses memenangkan pilpres.

Ahok sempat mengatakan, jika Jokowi nantinya terpilih sebagai presiden, secara otomatis kursi DKI 1 menjadi lowong. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah diatur, jika kepala daerah terpilih menjadi pejabat lain, maka jabatan kepala daerah otomatis digantikan wakil kepala daerah.

"Kalau itu otomatis. Kalau Jokowi terpilih, saya akan menggantikannya, satu paket. Kan begitu?" ujar Ahok, Sabtu 15 Maret 2014.

Dia juga sudah berandai-andai jika Jokowi sudah pergi, nantinya ia akan pindah ke ruangan yang saat ini digunakan Jokowi di lantai dasar. Ruang kerja Ahok saat ini terletak di lantai 2. Dulu ruangan itu digunakan mantan Gubernur DKI Fauzi Bowo.

"Aku tidak berani di sini. Kalau tetap di sini nanti kayak Fauzi Bowo, tidak terpilih untuk kedua kalinya hehehe..," katanya.

Tak hanya soal ruangan kerja, dalam hal lainnya Ahok juga ingin berubah. Misalnya dalam hal sikap dan kebiasaan sehari-hari. Ahok berjanji akan melunak jika menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ancaman pecat atau kata-kata bernada tinggi yang keluar dari mulutnya akan berkurang.

"Kalau nggak ada Pak Gubernur aku juga nggak berani galak-galak lagi kok. Ngapain marah-marah, bikin leher sakit aja," katanya Jumat pekan lalu.

Ahok berkilah, sikap keras yang dia perlihatkan selama ini tak lain karena sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta ia tidak memiliki wewenang memutasi PNS yang bermasalah. Yang dapat dilakukan hanya memberi ancaman dan melaporkan kepada Jokowi sebagai gubernur.

"Karena nggak bisa mecat. Nggak bisa ganti. Kalau bisa ganti dan nggak ada Pak Jokowi, nggak usah ribut-ribut, hilang aja. Mecatnya tergantung orangnya. Aku mulai banyak senyum. Aku udah lembut kok," tegas Ahok sambil tersenyum.

Yang jelas, perubahan dijadikan tema sentral oleh Ahok untuk menapak posisi gubernur. Entah karena melihat kesuksesan Jokowi merebut hati publik atau menyadari sikapnya yang kerap temperamental, Ahok mengaku ingin tampil seperti atasannya itu.

"Lagi coba untuk bersikap lebih sabar dalam menghadapi masalah," ujarnya.

Selain itu, ia mengatakan saat ini tengah berupaya mengikuti sistem Jokowi dalam mengatasi oknum-oknum PNS DKI yang dinilai berkinerja buruk. Jika selama ini ia terus mengeluarkan ancaman pemecatan, kini dia akan mulai bersikap tenang namun tegas layaknya Jokowi.

"Nggak usah marah-marah lagi, hilangin aja. Hilangin ya, copot aja langsung. Tahun lalu kita sudah marah-marah, tahun ini nggak usah marah-marah deh," jelasnya.

Tak perlu menunggu lama, ahok langsung mendapat ujian untuk tekadnya menjadi orang yang lebih sabar. Gerakan Pemuda (Gema) Keadilan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jakarta dan Benteng Muda PKS, menyatakan mendukung ide penolakan Ahok menjadi Gubernur DKI jika Jokowi sukses memenangi Pilpres 2014.

Pada kesempatan itu, Gema Keadilan juga merilis hasil survei yang menyatakan menolak Ahok memimpin Jakarta.

"Setelah dilakukan survei dari 20 Maret hingga 24 Maret dengan total 1.589 responden, menghasilkan kesimpulan sosok Ahok memang tidak disukai warga DKI Jakarta," kata Ketua Gema Keadilan, Reynold Darmansyah di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa 25 Maret.

Berdasarkan hasil survei itu, kata Reynold, warga DKI tidak menyukai gaya kepemimpinan Ahok lantaran dikenal sebagai sosok pribadi yang sombong dan tidak simpatik.

"Berdasarkan hasil survei kami, sosok Ahok dikenal sebagai pribadi yang belagu, sombong, dan tidak simpatik. Itu total pemilih sampai 24 persen. Lalu gaya kepemimpinannya yang kasar dan tidak santun sebesar 23 persen," ujar Reynold.

Ahok yang kemudian dikonfirmasi soal hasil survei ini menilai survei itu hanya sebentuk tekanan. Namun, tekanan tersebut dikatakan Ahok tidak berpengaruh pada dirinya.

"Dia lupa Ahok ini udah 10 tahun di-press (tekan) seperti itu. Jadi itu terlalu kecil tuh diteken kayak gitu. Terlalu halus mainnya," ujarnya di Balaikota Jakarta, Rabu (26/3/2014).

Terlepas dari anggapan sebagian warga Jakarta tentang tabiat Ahok yang keras, pemarah, arogan dan lainnya, Jokowi sebagai pasangan kerja Ahok selama 1,5 tahun terakhir melihatnya dari sisi lain.

Jokowi bahkan tak mempermasalahkan tabiat wakilnya yang mudah tersulut emosi itu, baik saat memimpin rapat atau memberikan pernyataan kepada para wartawan terkait kinerja jajarannya di lingkungan Pemprov DKI.

"Ya nggak apa-apa, kan itu memang sudah karakternya, kok dimasalahkan. Kalau karakter ya ndak masalah," ujar Jokowi di Balaikota Jakarta, hari ini.

Menurutnya, walau dianggap sangat emosional, Jokowi menilai watak Ahok yang suka marah-marah itu bukan sesuatu yang berlebihan. Jokowi melihat apa yang dilakukan Ahok selama ini masih dalam tahap wajar.

"Ndak apa-apa, dia marah-marah, tapi kan terkendali. Bukan marah-marah tanpa sebab," kata dia.

Ia pun yakin, bila menjadi gubernur Ahok akan mampu diterima oleh masyarakat Jakarta. Terlebih, menurutnya, emosi Ahok yang kadang sangat mudah tersulut itu muncul karena kinerja anak buahnya yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

"Ya dilihat saja nanti, kalau yang ada disurvei kan nggak apa-apa. Kalau salah satu survei kan 69 persen (setuju Ahok sebagai gubernur), kan nggak apa-apa," ucap Jokowi.

Apa pun alasannya, keinginan Ahok untuk berubah patut diapresiasi. Bisa ditebak, keinginan Ahok untuk berubah tentu karena harapan agar bisa diterima oleh kalangan yang lebih luas, baik penerimaan secara personal atau kinerja.

Sementara, survei yang menyatakan menolak tampilnya Ahok memimpin Jakarta juga harus diapresiasi dan dinilai sebagai kritikan, bukan untuk dijadikan alat memaksakan kehendak. Sebab, urusan Ahok mundur atau tidak sebagai wagub atau gubernur sudah ada aturannya.

Jadi, lebih baik kita, warga Jakarta khususnya, melihat perubahan apa lagi yang akan terjadi jika memang era Jokowi segera berakhir. Tentu kita tak akan menyerahkan bulat-bulat ke Ahok. Warga Jakarta harus terus mengawal perubahan yang dia janjikan, sembari mengatakan: Ahok jadi Gubernur, siapa takut?

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini