Sukses

Simbol Perlawanan, `Ekstasi` dalam Sepotong Pie Cokelat di Korut

Choco Pie untuk warga Korut merepresentrasikan sesuatu yang lebih dari sekadar jajanan.

Suatu ketika seorang pemilik pabrik asal Korea Selatan melihat para karyawannya yang berasal dari Korea Utara mengigit potongan Choco Pie pertamanya. Para pekerja itu tampak terkejut. Seakan tak percaya.

Sang pemilik menyimpulkan reaksi mereka terhadap produk makanan Korea Selatan itu dalam satu kata : "ekstasi" -- kegembiraan yang meluap dan berlebih.

Seperti halnya Twinkies bagi warga Amerika Serikat, Choco Pie -- dua kue bundar berlapis coklat, disatukan dengan krim marshmallow, adalah jajanan murah meriah di Seoul dan sekitarnya.

Namun, di sisi lain di perbatasan Korea, jajanan itu dianggap eksotis, sangat berharga. Di pasar gelap harganya bahkan bisa mencapai US$ 10 atau sekitar Rp 120.000 per kotak. Meningkatnya popularitas Choco Pie di utara mengungkapkan kesamaan yang tak terduga antar dua Korea yang tak pernah mesra --suka makanan manis!

Bulan ini, pameran seni bertajuk "The Choco Pie-ization of North Korea" -- Choco Pie-sasi di Korut dibuka di New York. Menjelajahi simbolisme jajanan itu. "Harga supermahal biskuit salut cokelat itu di Korut  -- yang dianggap biasa di Korea Selatan, adalah 'kisah tragis'," kata artis, Jin Jo Chae, seperti dimuat CNN, 27 Januari 2014.

"Lewat Choco Pie, aku menemukan potensi cokelat sebagai obyek yang mengubah masyarakat," tambah Chae.

Choco Pie di Korut merepresentrasikan sesuatu yang lebih dari sekadar kudapan.

Subversif

Tak jelas seperti apa sesungguhnya warga Korut. Dalam persepsi umum, mereka digambarkan sebagai orang-orang yang dicuci otak, terisolasi dari dunia. Namun, keinginan mereka terhadap Choco Pie menunjukkan, "Bahwa pengasingan sepenuhnya adalah mustahil dilakukan," kata penulis, Richard Lloyd Parry.

Ia menambahkan, ada kerentanan terhadap pengaruh luar dalam masyarakat yang bahkan dianggap tak bisa ditembus. "Cokelat lapis marshmallow itu bahkan punya aspek subversif."

Jin Jo Chae, artis di balik pameran juga mengatakan, Choco Pie punya kekuatan sebagai alat perubahan pikiran antara Selatan dan Utara.

Tak hanya biskuit cokelat, pemilik pabrik itu juga memberikan Coca Cola untuk membasuh tenggorokan para karyawannya. Rupanya itu menimbukan kesan mendalam pada para pekerja.

"Jelas, para pekerja mendapat beberapa ide kapitalisme. Dan tak semua buruk," kata dia kepada CNN.

'Kapitalisme' adalah istilah haram di Korut. "Selama ini mereka mengaitkan Amerika Serikat dengan segala kejahatan yang ada di muka Bumi. Fakta bahwa mereka bisa menyukai sesuatu yang telah dihasilkan AS -- khususnya Coca Cola -- adalah hal yang membuka mata mereka."

Pemilik pabrik, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengoperasikan usahanya selama 7 tahun di Kompleks Industri Kaesong, salah satu simbol utama kerja sama antara Utara dan Korea Selatan. Juga lokasi di mana Choco Pie menyebar ke Korea Utara.

Di pusat industri itu, lebih dari 100 pemilik perusahaan Korsel mempekerjakan sekitar 50 ribu pekerja Korut di perusahaan-perusahaan seperti pakaian dan sepatu.

Kaesong, dianggap sebagai sumber penting devisa bagi rezim pemimpin Korea Utara Kim Jong-un terletak kilometer dari zona demiliterisasi yang membagi kedua Korea. Kawasan industri itu dibuka kembali September 2013 setelah sempat absen lima bulan akibat konflik di Semenanjung.

Para pekerja di Kaesong membawa bekas nasi mereka. Pemilik pabrik hanya memberi sup dan makanan ringan.

Choco Pie dan Coca Cola adalah kudapan standar di pabrik Korsel. Pekerja dijatah 2 Choco Pie dalam sehari agar tetap berenergi. Namun, sejumlah manajer kerap menemukan Choco Pie yang dikupas dan dibungkus dengan kertas atau plastik agar tak mencolok.

"Sepertinya pekerja menyembunyikan biskuit itu dan membawanya pulang untuk diberikan pada anak-anaknya," kata salah satu manajer.

Meski, sejumlah pabrik di Kaesong kini beralih dari Choco Pie ke mie gelas.

Choco Pie bahkan menjadi salah satu muatan dalam balon yang dikirim para aktivis ke utara. Namun, Park Sang Hak , seorang pembelot Korea Utara mengatakan, biskuit itu tidak cocok dikirim lewat balon. Selain terlalu berat, itu juga mudah remuk.

Stephen Noerper, wakil ketua Korea Society mengatakan, Choco Pie mengingatkan aspek yang hilang tentang segala narasi tentang rakyat Korut.

"Kita sering lupa, mereka adalah manusia biasa. Bahwa 99 % warga Korea Utara hanya menginginkan kehidupan yang lebih baik," kata dia. "Mereka ingin Choco Pie di akhir hari." (Ein/Riz)

Baca juga:

Kim Jong-un Dilaporkan Eksekusi Mati 2 Dubes dan Anak Kecil
Korut Kirim `Surat Cinta` Terbuka, Korsel: Ada Motif Tersembunyi
Diplomasi `Teletubbies` Inggris ke Korut yang Menutup Diri

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.