Sukses

Jokowi, Ahok, dan Impian Kampung Nelayan

Jokowi memimpikan Jakarta punya kampung nelayan seperti di Brunei. Namun Ahok justru 'membersihkan' Kampung Nelayan demi reklamasi.

Liputan6.com, Jakarta - Brunei Darussalam menjadi negara kedua di Asia tenggara, setelah Malaysia yang pertama kali dikunjungi Jokowi usai dilantik menjadi Presiden RI. Di negeri serumpun itu, Jokowi mengaku kagum melihat keberadaan Kampung Nelayan yang dikelola dengan baik oleh pemerintah.  

Jokowi bahkan berjanji akan membangun kampung nelayan seperti yang ada di kota Bandar Sri Begawan itu. Saat itu, ia berjanji akan menyulap beberapa kawasan nelayan, salah satunya di Jakarta menjadi seperti Kampung yang oleh Pemerintah Brunei dinamai Kampung Ayer.

Dalam kunjungan itu, Jokowi bahkan sempat menanyakan hal yang lebih mendetail kepada beberapa tokoh masyarakat di sana mengenai pengelolaan kampung, yang juga menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal maupun dari luar Brunei.

Sebagai bentuk keseriusannya, sepulang dari Brunei Jokowi langsung meminta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadi Muljono untuk merevitalisasi kawasan-kawasan permukiman nelayan yang kumuh.

"Dipanggil karena Presiden punya ide untuk merevitalisasi kawasan nelayan yang kumuh, supaya bisa lebih rapi," kata Basuki kepada wartawan usai diterima Presiden Jokowi, di kantor Presiden, Jakarta, Senin 22 Juni 2014.

Menurut Jokowi, pemerintah telah memilih sekitar 10 kawasan nelayan kumuh di seluruh Indonesia untuk dijadikan proyek percontohan. Di antaranya Tegal, Belawan, dan Pekalongan.


Dua tahun berselang, janji menata Kampung Nelayan masih dalam berjalan. Namun, yang terjadi di Jakarta justru berbanding terbalik dengan perintah sang Presiden. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama justru berencana 'membersihkan' Kampung Nelayan Luar Batang demi pelaksanaan proyek reklamasi.   

Alih-alih menata kampung nelayan yang telah ada sejak masa penjajahan Belanda, Gubernur DKI yang karib disapa Ahok itu justru berniat memindahkan kampung nelayan pesisir utara Jakarta itu ke Kepulauan Seribu.

Menurut Ahok, pemindahan tersebut adalah solusi bagi nelayan pesisir Jakarta yang terdampak reklamasi.

"Sekarang ada enggak yang ribut makan kerang hijau? Teluk Jakarta ini dari tahun 1980-an terkontaminasi logam berat," kata Ahok di Balai Kota, Jakarta, Kamis 7 April 2016.  

Nantinya, lanjut Ahok, pemindahan nelayan ke Kepulauan Seribu beriringan dengan pembangunan rumah susun, kapal gratis untuk para nelayan. Sementara, kawasan Pasar Ikan itu disebut Ahok akan dialihfungsi menjadi kawasan wisata bahari.

"Nanti kayak Lapangan Fatahillah, depannya kan lapangan terbuka tuh. Kita kasih batu-batu alam. Bahasa kita apa ya? Mungkin alun-alun ya," ujar Ahok.

Ahok yakin para nelayan akan menyetujui rencana pemindahan itu. Apalagi, nelayan akan mendapat keuntungan dari hasil penjualan budidaya laut tersebut.

Protes Para Nelayan

Rencana itu, justru berbalas dengan aksi protes para nelayan. Mereka melakukan aksi penyegelan tiga pulau hasil reklamasi di pantai utara Ibu Kota. Para nelayan khawatir ekosistem laut akan semakin rusak dengan adanya reklamasi pantai utara Jakarta.

Sebab, nelayan tradisional lah yang akan terpengaruh jika ekosistem rusak.

"Saat mulai bikin Pulau C dan D itu hasil tangkapan mulai berkurang. Apalagi nelayan tradisional seperti kami, nelayan rajungan. Hasilnya sudah jauh berkurang, dibabat habis," ucap salah seorang perwakilan nelayan, Saefudin kepada Liputan6.com di Jakarta, Sabtu 16 Maret 2016.

Munculnya aksi protes ditambah adanya masalah dalam penegakkan aturan, membuat pemerintah pusat turun tangan. Presiden Jokowi memutuskan untuk menghentikan sementara (moratorium) proyek reklamasi teluk Jakarta.

Moratorium akan berakhir usai semua syarat dan perizinan reklamasi dipenuhi para pengembang. Saat ini syarat perizinan masih digodok Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Menggantungnya pelaksanaan reklamasi pun akhirnya turut menggantung nasib warga Luar Batang, apakah akan sesuai dengan impian Jokowi, menjadikan mereka seperti para nelayan di Brunei atau harus rela tergusur demi reklamasi.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.