Sukses

Ribuan Aktivis Prodemokrasi Turun ke Jalan, Hong Kong Bergolak

Memprotes keputusan Panitia Tetap Kongres Rakyat Nasional China yang mengubah cara pemilihan kepala eksekutif Hong Kong.

Liputan6.com, Hong Kong - Hong Kong sedang bergolak. Ribuan orang turun ke jalan memprotes keputusan Panitia Tetap Kongres Rakyat Nasional China yang mengubah cara pemilihan pemimpin mereka yang bergelar kepala eksekutif (chief executive).  

Aturan baru menyebut, hanya para kandidat yang disetujui oleh panitia yang bisa mencalonkan diri. Salah satu kriteria kandidat, menurut satu pejabat Tiongkok, adalah "cinta Tanah Air dan mencintai Hong Kong". Tak jelas parameternya apa.

Kepala eksekutif saat ini, Leung Chun-ying mendukung langkah Tiongkok. "Mayoritas warga Hong Kong, yakni 5 juta orang yang punya hak pilih, bisa menentukan siapa kepala eksekutif yang akan memimpin pada 2017," kata  Leung Chun-ying seperti Liputan6.com kutip dari CNN, Senin (1/9/2014).

Namun, para aktivis prodemokrasi Hong Kong berpendapat lain. Kelompok tersebut menuntut, siapapun bisa menjadi kandidat pemimpin daerah administratif khusus tersebut, ada atau tanpa restu dari Beijing.

Selama beberapa pekan, ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan. Dalam pernyataan yang dimuat di situsnya, kelompok aktivis mengencam keputusan Beijing yang mereka anggap sebagai langkah pembatasan atas demokrasi, dan mencegah orang-orang yang memiliki pandangan politik berbeda, maju menjadi pemimpin Hong Kong.

"Hak pilih secara universal mencakup hak untuk memilih dan dipilih," demikian bunyi pernyataan yang mereka keluarkan." Keputusan panitia mengabaikan hak orang-orang dengan pandangan politik berbeda untuk dipilih dalam pemilu, dengan menerapkan batasan yang tak masuk akal, telah melanggengkan 'politik penunjukkan'. Atau dengan kata lain, 'demokrasi palsu'.

Di bawah aturan 'satu negara, dua sistem', Hong Kong yang berpenduduk 7 juta jiwa menjadi daerah administratif khusus -- di mana penduduknya mendapatkan otonomi lebih besar dari mereka yang ada di daratan Tiongkok.

Keputusan tersebut merefleksikan persetujuan yang dibuat oleh China dan Inggris, sebelum serah terima Hong Kong pada  1 Juli 1997 -- yang menjanjikan otonomi tingkat tinggi dalam waktu 50 tahun setelah wilayah tersebut dikembalikan ke Tiongkok.

Keputusan untuk mengubah cara Hong Kong memilih pemimpinnya, dikeluarkan di tengah kekhawatiran yang meningkat bahwa otonomi tersebut akan segera dihapus sama sekali.

Pemimpin Hong Kong saat dipilih oleh komite pemilihan yang anggotanya mayoritas adalah loyalis Beijing.

Para aktivis di bekas koloni Inggris itu, mengancam akan mengadakan pembangkangan sipil jika China melarang pemilihan kandidat secara langsung dan terbuka untuk siapapun.

Sementara itu, seperti dikutip dari Reuters, pasukan polisi Hong Kong menggunakan semprotan merica untuk membubarkan aktivis pro-demokrasi yang merangsek ke pembatas keamanan area. Di mana pejabat senior China sedang menjelaskan keputusan Beijing tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini