Sukses

Menguak Sisi Gelap Hong Kong, Ribuan Manusia Hidup dalam Kandang

Ironi Hong Kong. Para miliuner tinggal di mansion besar nan mewah. Tapi bagi si miskin, rumah bisa berarti sebuah kandang.

Hong Kong yang gemerlap-- salah satu kota terkaya di Asia, termahal nomor 14 dunia versi survei Economist Intelligence Unit tahun 2013, lebih dari 1.223 pencakar langit menjulang, plus gerai Louis Vuitton yang lebih banyak dari Paris. Tak terbayang ada kemelaratan di sana.

Tapi inilah yang terjadi.  

Bagi para miliuner, tempat tinggal bagi mereka adalah rumah besar nan mewah, yang menghadap ke Victoria Peak. Tapi bagi si miskin, rumah bisa berarti sebuah kandang dari logam. Ya, kandang!

Leung Cho-yin, mantan tukang daging, salah satu yang tinggal di sana. Dan tak gratis. Tiap bulannya kakek berusia 67 tahun itu membayar 1.300 dolar Hong Kong atau sekira Rp 1,6 juta agar bisa tinggal di salah satu dari selusin kandang -- mirip kandang kelinci -- yang menjejali sebuah unit apartemen bobrok di lingkungan tempat tinggal para pekerja di Kowloon Barat.

Di kawasan itu, puluhan ribu kandang semacam itu ditumpuk-tumpuk. Masing-masing berukuran 1,8 x 0,7 meter -- untuk penghuni dan segala harta benda milik mereka: bantal, baju, panci, handuk, mangkuk, apapun. Sumpek dan kotornya bukan main. Juga jauh dari aman.

Agar tak digigit kepinding atau kutu kasur, Leung dan rekan-rekannya menggelar tikar, alih-alih kasur, untuk alas tidur. "Aku sudah sering digigiti kutu, sampai terbiasa," kata Leung, sambil menggulung lengan jaketnya, menunjukkan ruam merah di tangannya yang bentol-bentol, seperti dilansir Daily Mail, (8/1/2013).

"Tak ada yang bisa dilakukan. Aku harus tinggal di sini dan bertahan hidup," tutur dia, lalu terbatuk dengan suara berat.

Kandang Dibangun Tahun 1950-an

Dari sejarahnya, rumah-rumah kandang dibuat pada tahun 1950-an, untuk menampung para bujangan yang datang dari daratan China. Kini jumlahnya makin berkurang, digeser bilik apartemen, yang bahkan jauh lebih kecil dari rumah petak di Jakarta, untuk dijejali sebuah keluarga miskin.

Kembali ke Leung di rumah kandangnya, kakek itu mengaku tak akan pindah, kalaupun ada tawaran rumah terjangkau dari pemerintah.  Ia mengaku tak tega meninggalkan rekan-rekan senasib, yang kebanyakan hidup membujang hingga tua. Rela menghabiskan sisa hidupnya dalam sangkar.

Setelah pensiun jadi tukang daging, karena kehilangan jarinya dalam sebuah insiden 20 tahun lalu, Leung menggantungkan hidupnya dari subsidi pemerintah sebesar 4.000 dolar Hong Kong atau setara Rp 4,9 juta -- yang habis untuk membiayai hidup sehari-hari. Leung tak pernah menikah, tak punya anak untuk bergantung.

Leung dan teman-teman sekamarnya, semua laki-laki tua, mencuci pakaian mereka di ember. Fasilitas MCK terdiri dari dua kamar mandi, salah satunya dilengkapi toilet jongkok.

Tidak ada dapur, hanya sebuah ruangan kecil dengan wastafel.

100.000 Orang Hidup Tak Layak

Jumlah ini sangat mengejutkan: lebih dari 100.000 orang di bekas koloni Inggris itu yang tinggal di tempat yang jauh dari layak. Demikian diungkap kelompok kesejahteraan sosial, Society for Community Organization.

Kategori "tak layak" itu, selain kandang, juga termasuk apartemen yang disekat menjadi beberapa bagian,  atau yang disesaki dengan kotak-kotak kayu tempat tinggal seukuran peti mati, juga kompartemen yang digantung di atap.

Ini adalah konsekuensi dari mahalnya harga perumahan di Hong Kong yang terus meroket dan tak terjangkau. Membuat rakyat marah atas krisis yang tak kunjung mendapat jalan keluar.  

Bagaimana tidak, harga rumah naik 23 persen dalam 10 bulan pertama tahun 2012. Atau dua kali lipat dibanding tahun 2008 lalu, selama krisis keuangan global. Uang yang mengalir dari daratan China, dan investor luar negeri yang menginginkan untung besar dari sektor perumahan, makin memperparah kondisi.

Pemimpin Hong Kong, Leung Chun-ying, yang menjabat sejak Juli lalu berjanji menyediakan lebih banyak perumahan dengan harga terjangkau, untuk mendinginkan emosi warga.

Dalam pidato Januari lalu, ia mengatakan, ketidakmampuan kelas menengah untuk membeli rumah menjadi ancaman terhadap stabilitas sosial. Mantan konsultan properti itu berjanji, mengatasi kekurangan perumahan, akan menjadi prioritas kebijakannya.

"Hidup di rumah kandang, bilik apartemen, dan flat yang disekat-sekat menjadi pilihan pahit puluhan ribu warga Hong Kong," kata dia, saat mengumumkan kebijakan untuk meningkatkan suplai apartemen dalam jangka menengah.

Sikap Leung Chun-ying menerbitkan harapan baru, tak seperti pendahulunya, Donald Tsang yang dianggap mengabaikan isu krusial itu. Meski masih dihujani kritik, dari kalangan aktivis dan legislator, karena dianggap tak menawarkan solusi jangka pendek.(Ein)


* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.