Sukses

`Curhatan` Abraham Samad ke SBY Soal RUU KUHP

"Ada beberapa poin yang ingin saya sampaikan untuk meminta kepada Pemerintah dan DPR menangguhkan pembahasan sementara," ujar Ketua KPK.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pemerintah pusat DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Untuk itu, pihak KPK telah mengirimkan surat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan DPR bernomor B-346/01-55/02/2014 tertanggal 17 Februari 2014.

"Ada beberapa poin yang ingin saya sampaikan untuk meminta kepada Pemerintah dan DPR menangguhkan pembahasan sementara," ujar Ketua KPK Abraham Samad di kantornya, Jalan HR. Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (19/2/2014).

Setidaknya 4 poin 'curahan hati' Abraham agar Pemerintah dan DPR bersedia menunda pembahasan RUU tersebut. Pertama, dalam Rancangan UU KUHP, sifat kejahatan luar biasa dari korupsi itu menjadi tereliminir ke dalam buku 2 rancangan KUHP. Sementara, sifat extraordinary crime seperti narkotika, terorisme, dan lainnya menjadi hilang apabila dimasukkan ke buku 2 KUHP.

"Oleh karena hilang sifat extraordinary maka konsekuensinya lembaga-lembaga yang punya komptensi, seperti KPK, PPATK dan BNN ini menjadi tidak relevan lagi. Lembaga ini menjadi bubar apabila UU yang sifatnya luar biasa masuk dalam buku 2," papar dia.

Kedua, berbicara mengenai substansi RUU itu, KPK melihat ada beberapa hal yang menghambat pemberantasan korupsi, misalnya kewenangan penyelidikan menjadi hilang. Padahal, dengan adanya fungsi kewenangan penyelidikan yang dimiliki KPK masyarakat dapat memahami mengenai lawfull interception (penanganan hukum secara menyeluruh).

"Kalau kewenangan itu dihilangkan, maka sulit kita lakukan langkah hukum untuk cepat memberantas korupsi," tutur Abraham.

KPK juga melihat ada beberapa delik aturan, misalnya penyuapan dan gratifikasi di UU Korupsi tidak masuk lagi dalam delik korupsi, melainkan masuk ke dalam delik yang berhubungan dengan jabatan.

"Oleh karena itu, misalnya Pengadilan Negeri menerima suap maka itu tidak akan bisa disidik KPK kalau kejahatan berupa suap menyuap ini dimasukkan dalam delik pidana jabatan, tidak masuk dalam delik korupsi," beber dia.

Ketiga, mengenai kewenangan penyitaan. KPK melihat dalam RUU akan memberi sedikit hambatan karena dalam RUU tersebut ditegaskan kewenangan penyitaan harus dengan izin hakim pendahuluan dan izin pengadilan.

Keempat, waktu penahanan yang diberikan dalam tahapan penyidikan yaitu 5 hari. Maka kejahatan white collar (kerah putih) akan sulit untuk dirampungkan pemberkasannya hingga masuk ke penuntutan. "Ini kalau tetap diteruskan, akan menghambat pemberantasan korupsi," tegas Abraham. (Tya/Riz)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.