Sukses

Ali Sadikin `Pesimis` Urus Banjir Jakarta

Pembangunan Kanal Banjir Timur sebenarnya sudah disarankan Nedeco sebagai konsultan. Namun, biaya yang terlampau besar menggagalkannya.

Jika ingin mendengar suara pesimis Gubernur DKI Jakarta (1966-1977), Ali Sadikin, baca memoar dia terkait masalah banjir.

Dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977, Ali mengatakan, usaha pemerintah Belanda untuk membebaskan Batavia dari Jakarta, sudah tak berarti lagi. Penduduk Jakarta sudah melonjak tinggi.

"Yang bisa saya lakukan hanya mengeruk muara-muara sungai, normalisasi sungai dan saluran, pembuatan waduk air, dan pemasangan instalasi-instalasi pompa pembuangan air," kata sosok yang diyakini paling berhasil sebagai gubernur DKI Jakarta ini.

Namun, lanjut Ali, itu semua cuma solusi jangka pendek. Tak bisa diharapkan menyelesaikan masalah secara keseluruhan.

Menurut Ali, banjir hanya bisa diatasi jika dibangun sistem drainase yang sempurna. "Untuk mengatasi bahaya itu dengan tuntas, biayanya mahal, terlalu mahal. Biaya yang diperlukan, waktu itu 800 juta dollar..." tutur Ali. Drainase dimaksud lebih familiar dengan nama kanal banjir.

Di masa kepemimpinan Ali, dibuat Master Plan Pengendalian Banjir yang disahkan pada 1973. Master plan itu tersusun atas bantuan Netherlands Engineering Consultants (Nedeco).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman



Secara singkat, agenda kerja dalam Master Plan itu ada 2. Pertama, memperpanjang Saluran Kolektor yang sudah ada ke arah Barat, yang kini dikenal sebagai Cengkareng Drain; Kedua, membangun Saluran Kolektor di bagian Timur, kelak dikenal sebagai Cakung Drain, untuk menampung aliran air dari Kali Sunter, Buaran, Cakung, dan Jati Kramat.

Ternyata, langkah-langkah itu belum juga mampu mengatasi ancaman banjir rutin. Bahkan dosis ancamannya cenderung meningkat. Pada awal 1976, banjir besar menerjang Jakarta. Sekitar 200 ribu warga mengungsi.

Karena itu, Master Plan 1973 akhirnya direvisi untuk menyesuaikan dengan perkembangan kota dan kemampuan finansial pemerintah--terutama terkait biaya pembebasan tanah. Lalu muncul Master Plan 1981.

Hal-hal pokok dalam konsep Master Plan 1981 ini, antara lain, pertama, kanal banjir yang ada tetap menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cideng, Kali Krukut, dan bermuara di Muara Angke; kedua, Pompa Cideng digunakan untuk menampung air Kali Cideng Bawah; ketiga, sodetan Kali Sekretaris-Grogol untuk menampung air Kali Sekretaris dan Kali Grogol.

Keempat, saluran Banjir Cengkareng (Cengkareng Drain) menampung aliran air dari Sungai Pesanggrahan, Sungai Angke, Sungai Moorkervart; kelima, pengembangan area layanan Polder (waduk dan pompa); keenam, pengembangan area layanan normalisasi dan sodetan kali.
3 dari 3 halaman



Pembangunan Kanal Banjir Timur sebenarnya telah disarankan pihak Nedeco dalam Master Plan Pengendalian banjir 1973. Namun, ongkos yang terlampau besar menggagalkannya. Kanal Banjir Barat masih harus 'sendiri' sejak 1922.

Kanal Banjir Barat dibangun sebagai respons atas banjir besar pada 1918 [baca: Ketika Banjir Besar Terjang Batavia 1981]. Dibangun dari Pintu Air Manggarai hingga Muara Angke, secara bertahap.

Proyek ini memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, dan Sungai Grogol. Untuk mengatur debit aliran air ke dalam kota, Kanal Banjir Barat dilengkapi beberapa pintu air, antara lain, Pintu Air Manggarai (untuk mengatur debit Kali Ciliwung Lama) dan Pintu Air Karet (untuk Kali Krukut Lama dan Kali Cideng Bawah).

Waktu berjalan, Jakarta terus berubah. Untuk mengendalikan banjir wilayah aliran tengah dan barat direncanakan Kanal Banjir Barat diperluas karena dinilai kurang memadai lagi.

Setelah terjadi banjir di wilayah Jakarta Barat pada Januari 1979, rencana perluasan Kanal Banjir Barat diganti dengan pembuatan jaringan pengendali banjir lain, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan Cengkareng Drain yang kelar pada 1983.

Cengkareng Drain, dengan panjang 7,5 km dan lebar sekitar 60 m, dimulai dari Kali Pesanggrahan, membelah daerah Cengkareng dan memotong Kali Angke dan Kali Mookervart untuk selanjutnya mengalir ke Teluk Jakarta.

Perluasan Kanal Banjir Barat gagal, lagi-lagi seperti dikeluhkan Ali Sadikin, karena urusan keterbatasan anggaran. (Yus)











* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.