Sukses

2014, Era Berakhirnya Musik Keroncong?

Keroncong sempat booming di Indonesia pada 2004-2008 ketika musik Langgam Jawa, keroncong beat, campursari, grup musik Koes Plus naik daun.

Citizen6, Jakarta: Dulu namanya Moresco, dibawa oleh bangsa Portugis pada tahun 1512, ketika Alfonso de Albuquerque datang ke Malaka dan Maluku. Di Indonesia, moresco dikenal dengan sebutan Keroncong. Mengapa? Sebab alat musik utamanya, yaitu ukulel berbunyi crong-crong-crong. Selain ukulele ternyata ada pula alat musik lain yang biasa mengiringi orkes keroncong, yaitu gitar, biola, flute, selo, dan bas.

Keroncong sempat booming di Indonesia pada 2004 hingga 2008 ketika musik Langgam Jawa, keroncong beat, campursari, grup musik Koes Plus dan Congdut (Keroncong Dangdut) tengah naik daun. Namun mengapa kini keberadaannya menghilang? Selain selera pasar Indonesia yang lebih menyukai produk luar negeri seperti musik barat dan girlband-boyband ala Korea, ternyata media massa pun ikut mempengaruhinya.

Saat ini banyak stasiun TV maupun radio yang menyajikan program musik dan jarang sekali menampilkan keroncong dalam program acaranya. Beruntung, stasiun TV nasional masih setia menyiarkan keroncong setiap minggunya meski nampak kurang menarik perhatian penonton. Setidaknya, media masih memiliki apresiasi untuk melestarikan keroncong meski hanya memiliki porsi yang sedikit.

"Keroncong mah kuno, ketinggalan jaman!". Begitulah kira-kira respon anak muda mengenai keroncong. Keroncong sudah dianggap tidak modern lagi bagi remaja. Bila anak muda tidak melestarikan budayanya, lantas siapa yang akan mempertahankan budaya tersebut? Peran media massa dalam perlestarian musik keroncong seharusnya dilakukan sejak saat ini. Namun, dalam kenyataannya program televisi cenderung menayangkan sinetron, reality show, dan bila ada program musik, keroncong jarang ditayangkan.

Hal itu terjadi karena kurangnya minat musisi Indonesia mempopulerkan keroncong. Berbeda dengan jaman dahulu ketika nama Didi Kempot di era keroncong dangdutnya populer dan disebut sebagai "penggerak". Ia menginovasikan keroncong ke bentuk baru dengan memasukan unsur beat dangdut ke dalam lagu-lagu Langgam Jawa klasik dan baru. Sejak saat itu Keroncong banyak digemari. Hal ini mungkin dipengaruhi selera pasar saat ini.

Di era globalisasi, masyarakat khususnya kaum muda lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggemari girlband-boyband kesukaan mereka yang nyatanya justru menuntut kaum muda untuk mencari informasi tentang idola mereka. Kemudahaan browsing yang ditawarkan media massa membuat mereka betah pada zona nyaman tersebut. Sementara, nasib musik tradisional keberadaannya kurang terekspose dengan baik. Bahkan liputan mengenai keroncong jarang sekali dipublikasikan besar-besaran.

Media saat ini kurang mengapresiasi musik keroncong itu sendiri, hal ini menyebabkan kalahnya ketenaran keroncong dibanding jenis musik lain yang lebih familiar di telinga pembaca. Meski sempat ada anak muda dengan bandnya yang mempopulerkan budaya keroncong ke dalam sebuah lagu Keroncong Protol. Bahkan lagu tersebut sempat booming, namun karena tidak adanya inovasi lagi pada musik keroncong, akhirnya saat ini keroncong tenggelam lagi.

Dilihat dari daftar rating program televis terdapat dominasi beberapa judul sinetron di 5 besar. "Televisi sekarang hanya mengharapkan rating tinggi. Rating tersebut dilakukan di kota-kota besar Indonesia. Hasilnya, di kota-kota besar mencuat fakta bahwa yang gemar menonton TV adalah satpam dan pembantu rumah tangga (PRT)," ungkap kerabat kerja media swasta Indonesia.

Hal tersebut menjadi sebab mengapa program acara sinetron merajalela di layar kaca. Ternyata, rating televisi Indonesia ditentukan pemirsa yang mayoritas penontonnya pegawai kelas menengah dan berdampak pada eksistensi musik Keroncong tersebut. (mar)

Penulis
Yulida Medistiara (Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta)
Jakarta, tyaraxxx@gmail.com

Baca juga:
GBHN: Arah Kebijakan dan Pembangunan Nasional
Tumpas Terorisme di Dunia Maya dan Dunia Nyata
Signifikansi Perhatian Daerah Perbatasan dan Pulau Terdepan


Disclaimer:

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atauopini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini