Sukses

Menengok Kapal Nelayan Saksi Sejarah Tsunami Aceh

Kapal nelayan berukuran 35x4 itu bertengger di rumah warga. Menyimpan sejarah saat air bah menerjang Banda Aceh.

Di bawah langit yang diselimuti awan mendung, beberapa ibu dalam satu rombongan wisata berdiri menatap kagum sebuah kapal nelayan berukuran 35x4 di sebuah atap rumah warga. Kapal itu bertengger di sisi kanan lantai dua rumah tersebut. Ekornya menghadap kiblat. Di sisi bawah, tertopang beton-beton rumah yang telah ambruk, diperkuat dengan beberapa batang pohon kelapa sebagai penopang.

Kapal yang bertengger di atas rumah Abasiah ini merupkaan saksi bisu sekaligus penyelamat warga saat peristiwa Tsunami yang meluluhlantakkan Banda Aceh pada 26 Desember 2004 silam.

59 Warga sekitar Gampong Lampulo menyelamatkan diri ke atas kapal tersebut saat gelombang tsunami menerpa desa mereka.

Kapal ini meluncur sekitar 5 kilometer dari bibir pantai dengan kencang bersama gelombang, menghempas pepohonan, rumah warga, hinga kandas di atas rumah Abasiah.

Sambil menatap kapal itu, dari mulut para ibu sesekali terucap asma Allah yang berkehendak atas kuasanya tersebut. Salah satunya Susi Sitepu dari Medan, Sumatera Utara.

Ia dan beberapa rekannya dalam satu rombongan wisata baru pertama menginjakkan kakinya ke Aceh dan melihat langsung bukti sejarah saat tsunami melanda bumi Serambi Makkah tersebut.

Pada Sabtu 21 Desember 2013, Susi Sitepu berkunjung ke Aceh dalam rangka liburan. Ia dan rekannya melihat langsung kapal di atas rumah yang terletak digampong Lampulo, Banda Aceh, sebagai bukti dahsyatnya amukan air pada pagi 26 Desember 2004 silam itu.

"Setelah melihat kapal ini, saya tidak bisa membayangkan bagaimana amukan tsunami saat itu", tutur Susi.

Susi sangat bersyukur dapat melihat bukti sejarah bencana alam tersebut. Ia berharap bukti sejarah itu terus dapat dirawat dan dijaga sebagai sarana pengetahuan dan wisata di Aceh.

Menurut pemandu wisata, Salmi Hardiati, tempat ini telah dikunjungi banyak orang dari berbagai tempat. Bahkan dari mancanegara.

"Weekend itu bisa mencapai 200 hingga 500 wisatawan yang berkunjung di sini, baik dari Malaysia, Jakarta, Medan bahkan dari wisatawan Eropa, Amerika, Jerman, Inggris juga banyak berkunjung ke sini", ujar Salmi.

Untuk mengelola situs tsunami tersebut, pemerintahan Kota Banda Aceh melalui Dinas Parawisata menjadikan lokasi tersebut situs tsunami dan desa sadar wisata yang mana para pekerjanya mendapatkan honor dari kementerian ESDM.

Lokasi ini terus dirawat dan dijaga sebagai sarana pendidikan dan pengetahuan bukti sejarah dahsyatnya bencana alam tsunami, selain sebagai lokasi wisata.

Dijadikannya lokasi tersebut sebagai situs sejarah tsunami, juga berdampak terhadap bagi warga sekitar.

Lokasi ini dijadikan lahan kerja oleh warga, ada yang menjadi security, guide, dan menjual berbagai kerajinan. Seperti halnya Rahmayani (30), dia mencari nafkah dengan menjaga sebuah kedai kerajinan milik desa Lampolu ini.

Menurut Rahmayani, paling banyak wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut membeli oleh-oleh seperti kaos, makanan khas Aceh dan kerajinan lainya.

"Paleng banyak laku baju, tas, ikan kayu, dan beberapa olahan ikan tongkol kas Lanpulo lainnya", tutur Rahmayani kepada Liputan6.com.

Selain menjadi saksi sejarah kelam, kapal di atas rumah itu kini juga telah memberikan pemberdayaan ekonomi bagi warga setempat.

Masyarakat berharap, lokasi ini terus dapat dirawat sebagai modal pengetahuan kelak bagi anak cucu mereka, betapa dahsyatnya gelombang 26 Desember pada Minggu pagi itu. (Ali/Ein)

*Bagi Anda yang ingin mengetahui hasil ujian CPNS 2013 silakan klik di cpns.liputan6.com

Baca juga:
Peringatan 9 Tahun Tsunami, Aceh Kibarkan Bendera Setengah Tiang
[VIDEO] Bocah Korban Tsunami Pangandaran Terancam Buta
Ditemukan, Gua Perekam Riwayat Tsunami Ribuan Tahun di Aceh



* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini