Sukses

Pancasila Masuk Pilar Kebangsaan Dinilai Kesalahan Fatal

Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, negara Indonesia berdasarkan Pancasila, bukan sebagai pilar kebangsaan.

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Pasal 34 ayat (3b) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol). Permohonan ini diajukan sejumlah warga negara yang tergabung dalam Masyarakat Pengawal Pancasila Jogyakarta, Solo, dan Semarang (MPP Joglosemar).
 
Melalui pengacara dari Jakarta International Law Office (JILO) TM Lutfie Yazid, para penggugat mempersoalkan masuknya Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan. Dalam pasal itu, parpol wajib mensosialisasikan 4 pilar kebangsaan yakni menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilarnya, sejajar dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

"Kami merasa keberatan dengan masuknya Pancasila sebagai pilar kebangsaan. Padahal alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, negara Indonesia berdasarkan Pancasila (dasar negara), bukan sebagai pilar kebangsaan," kata Lutfie dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (10/12/2013).
 
Pasal 34 ayat (3b) UU Parpol yang disoal itu berbunyi: "Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan: a. pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Lutfie menilai, pasal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum, karena menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan yang sejajar dengan NKRI. Penempatan Pancasila sebagai pilar merupakan kesalahan fatal. "Kesalahan yang fatal, karena Pancasila telah disepakati para pendiri bangsa sebagai dasar negara," kata Lutfie.

Dia mengatakan, Pancasila sebagai the guiding principle telah digerus dan mengalami erosi sedemikian rupa hanya demi pragmatisme para legislator yang tidak memiliki visi utuh tentang Pancasila. "Pancasila ini hanya dijadikan kemasan melalui prosedur liberalisasi politik yang berorientasi politik transaksional,” katanya.

Kata 'dasar' dan 'pilar', lanjut Lutfie, jelas memiliki makna berbeda. Salah satunya, menyebabkan kebingungan para dosen di perguruan tinggi saat menjelaskan kepada mahasiswanya. "Dosen saja sering menemukan mahasiswa menjadi bingung terhadap Pancasila, apakah itu dasar atau pilar negara. Sehingga Pancasila sebagai dasar negara tidak pasti," katanya.
 
Karena itu, Lutfie menegaskan, memasukkan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan tak hanya melawan fakta sejarah dan menghianati para pendiri bangsa ini, tetapi juga bisa meruntuhkan atau merobohkan bangsa ini. "Pancasila sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum tidak bisa ditawar-tawar lagi."

"Itu harga mati, karena tercantum jelas dalam Pembukaan UUD 1945," sambung Lutfie.

Salah satu pemohon, Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Sudjito mengaku prihatin terhadap penggunaan istilah 'pilar' terhadap Pancasila. Dia menilai, penggunan 'pilar' terhadap Pancasila sangat tidak tepat, karena Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa.

"Kalau ini terus dibiarkan, kita bisa menjadi manusia 'serigala' bagi negara lain," kata Sudjito.

Menanggapi hal itu, anggota majelis panel hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menilai, permohonan ini hanya mengarah kepada premis mayor atau kesimpulan umum. Maksudnya, belum mengarah kepada premis minornya atau kesimpulan spesifik. "Permohonan saudara apa? Mahkamah berwenang memeriksa perkara ini untuk apa?" kata Fadlil mempertanyakan.

Tak hanya itu, legal standing atau kedudukan hukum para pemohon juga dinilai majelis kurang jelas. Apakah apa sebagai perorangan, WNI atau badan hukum. "Ini tidak ada penjelasan dalam permohonan sebagai apa. Ini harus diperjelas," katanya. 

MPP Joglosemar mengajukan gugatan uji materi UU Partai Politik ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 11 November lalu. Para penggugat mempertanyakan sosialiasi Pancasila dalam 4 pilar kebangsaan. (Rmn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.