Sukses

Jathilan Mardi Raharjo, Kesenian yang Tak Lekang Oleh Zaman

Salah satu paguyuban kesenian tradisional yang mampu mempertahankan eksistensinya adalah Jathilan Mardi Raharjo asal Desa Tegalrejo Metes.

Citizen6, Yogyakarta: Salah satu paguyuban kesenian tradisional yang mampu mempertahankan eksistensinya adalah Jathilan Mardi Raharjo yang beralamat di Desa Tegalrejo Metes RT 42, Kelurahan Argorejo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta.

Berdiri sejak 17 Agustus 1951, yang diprakarsai pertama kali oleh Budi Sutrisno (Alm) bersama dengan kakak beradik Y Sastro Sudirdja dan Thomas Harjo Diyono (Alm), yang sampai saat ini masih menjadi sesepuh paguyuban Jathilan ini.

Awal mulanya, jathilan ini hanya menampilkan jathilan Jawa atau Jathilan Wolu (8), yaitu jathilan pertama yang diciptakan sekitar 1951 oleh Budi Sutrisno (Alm). Tidak hanya berperan sebagai pencipta iringan jathilan, koreografi serta membuat sendiri peralatan-perlengkapan jathilan saat itu, beliau juga sebagai penggerak generasi muda agar mampu memiliki kesenian yang dapat memberikan hiburan yang dapat menjadi tontonan namun mengandung tuntunan, seperti tertuang pada tembang-tembang jathilan wolu saat itu.

Gamelan Jathilan Wolu hanya terdiri dari beberapa alat musik di antaranya kendang batangan, bende 2, angklung 3, serta kepyak kecer. Sedangkan utk penari kuda 8 memakai seragam celana hitam, baju putih, jarik, selempang, sampur, kamus stagen, dan di kepala memakai kuluk yang terbuat dari tapas pohon kelapa diberi lancur jago atau bulu ayam jago dan memakai kaca mata hitam.

Tarian Jathilan Wolu cukup sederhana namun sudah mengenal beberapa pakem yang telah menjadi patokan tarian tiap babak yaitu enjer, bepengan, tanjak, lintang alihan, dan juga telah memperhitungkan pola lantai sederhana namun berulang-ulang. Jathilan Wolu Mardi Raharjo mampu bertahan dan mengalir samapai anak cucu dimana sudah generasi ke 4 sampai saat ini.

Jathilan Wolu saat itu sudah pentas kemana-mana dari kampung-kampung dalam rangka tanggapan hingga sampai ke Keraton Ngayogyakarta untuk menyuguh tamu-tamu atau mengisi acara di Sekaten. Sampai saat ini, baik peralatan maupun perlengkapan jathilan Wolu masih tersimpan baik dan sewaktu-waktu masih dipentaskan apabila ada yang akan menggunakannya.

Namun sesuai perkembangan jaman Jathilan Mardi Raharjo sadar bahwa generasi muda harus lebih berkreasi agar jathilan ini tetap lestari sampai generasi penerus yang akan datang dan  tidak hilang oleh jaman. Maka Jathilan Mardi Raharjo menampilkan Jathilan Kreasi Baru yang terus menerus berkembang sesuai dengan keinginan pemirsa, penggemar ataupun masyarakat pada umumnya. Namun tetap berpatokan pada alur cerita yang dibuat oleh para pendirinya.

Pementasan Jathilan Mardi Raharjo kreasi baru  terdiri dari 4 babak, dimana masing-masing babak mempunyai jalan cerita yang berbeda, yang di gubah dalam bentuk tarian yang mempesona dan mengagumkan. Babak I disebut tarian Kuda Jati Pitutur yang menceritakan kisah pada masa kerajaan Jenggala dan Kediri. Di sini mengisahkan Raden Panji Asmara Bangun yang ingin meminang Putri Chandra Kirana.

Di babak II diceritakan kebahagiaan sang pangeran yang berhasil meminang sang putri, sehingga para pengiring putri pun turut bergembira dengan cara menarikan tarian yang disebut Kuda Manis. Babak III adalah Kuda Pidheksa yang berarti gagah berani. Babak ini menceritakan mengenai Danang Sutawijaya dan Ki Ageng Pamanahan yang diutus oleh Ki Juru Martani dan Ki Panjawi menemui Arya Penangsang untuk menanyakan apakah tetap setia kepada Mataram atau mbalelo (berkhianat)

Lalu babak IV disebut Kuda Gagak Rimang, yang menggambarkan situasi yang kacau balau pada saat perang berlangsung, sehingga hewan-hewan pun keluar, seperti anjing dan celeng (babi) yang ikut meramaikan tarian ini. Puncak dari masing-masing babak adalah adanya Entrance atau kesurupan para penari. Mereka akan memakan berbagai sesaji seperti dupa, kembang tabur maupun jajan pasar yang harus disediakan setiap kali pementasan.

Penari yang kesurupan akan memperoleh kesadarannya kembali setelah didoakan oleh Pawang Jathilan. Di Jathilan Mardi Raharjo tanggung jawab sebagai pawang dipegang oleh FX Widi Hartono yang juga merangkap sebagai ketua paguyuban periode 2013-2016. (Elisabeth Sutriningsih/mar)

Elisabeth Sutriningsih adalah Mahasiswa Public Relations ASMI Santa Maria Yogyakarta dan pewarta warga.

Mulai 18 November-29 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Guruku Idolaku". Dapatkan merchandise menarik dari Liputan6.com bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini