Sukses

SBY Disadap Inggris, Kenapa Diam?

Presiden SBY disadap intelijen Inggris. Hasil sadapannya dimanfaatkan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd. Namun, SBY hanya diam.

Presiden SBY disadap intelijen Inggris. Hasil sadapannya dimanfaatkan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd. Namun, SBY hanya diam. Ada apa?

Media Australia melaporkan, penyadapan itu dilakukan saat SBY menghadiri KTT G20 di London, Inggris, April 2009 lalu. Hasil penyadapan itu digunakan untuk mendukung tujuan diplomatik Australia, termasuk pula dukungan untuk memenangkan kursi jabatan di Dewan Keamanan PBB.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan, Presiden SBY sudah mengetahui laporan dirinya disadap. Namun, SBY belum memberi sinyal apa-apa terkait berita penyadapan ini.

"Saya belum mendengar ada reaksi dari Beliau," ujar Marty usai mengikuti sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/7/2013).

Anggota DPR dari Fraksi PDIP Helmy Fauzi pun mengaku heran dengan aksi 'diam' yang dilakukan SBY. Padahal, insiden ini disebutkan Jubir Kepresidenan Teuku Faizasyah sudah dilaporkan ke SBY sebulan lalu.

"Kalau memang Presiden SBY sudah tahu sebulan lalu, kenapa tidak langsung diributkan dengan pihak Australia, Inggris, dan Amerika Serikat," heran Helmy.

Ia mengingatkan pemerintah SBY untuk segera bersikap atas insiden ini. Sebab, kejadian ini bukan kali pertama yang dilakukan Australia. "Dulu KBRI di Canberra juga disadap, apa iya pemerintah hanya diam saja," kata Helmy.

Harus Marah

Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menegaskan, penyadapan tidak diperkenankan dalam hukum internasional. "Masalahnya, ini kan hanya laporan dari wartawan, yang jadi masalah adalah verifikasi. Apalagi, biasanya yang menyadap tak bakal mau terbuka," ungkapnya saat dihubungi Liputan6.com.

Hikmahanto menambahkan, terkait informasi ini, agak sulit bagi Pemerintah Indonesia untuk bereaksi. Namun, "Pemerintah bisa 'marah' tanpa menunjuk hidung negara tertentu, tanpa minta pertanggungjawaban. Seperti halnya Eropa yang pernah marah pada Pemerintahan Obama."

Terkait laporan Australia memanfaatkan informasi tersebut, Hikmahanto mengatakan, itu bisa jadi karena posisi Indonesia yang strategis buat Negeri Kanguru.

"Dalam konteks G20, ada 3 hal terkait Indonesia. Sebagai patner, dalam hal perekonomian mengantisipasi pemikiran Indonesia, dan untuk membaca strategi awal kita," jelas Hikmahanto.

Apalagi Indonesia saat ini sudah jadi atensi dunia, baik sebagai patner negara lain juga aktor politik internasional. "Soal sapi saja Australia berkepentingan."

Senada, Ketua DPR Marzuki Alie juga meminta Kementerian Luar Negeri segera menindaklanjuti dugaan penyadapan tersebut. Penyadapan itu dinilainya sangat tidak etis, karena pembicaraan melibatkan para kepala negara.

"Pemerintah lewat Kemenlu segera mengambil sikap. Jangan sampai semua pembicaraan presiden kita disadap di mana. Karena itu sangat merugikan kepentingan kita," kata Marzuki di Gedung DPR, Jakarta.

Karena itu, sambung politisi Partai Demokrat ini, penyadapan itu sangat merugikan kepentingan Indonesia. Mana kala dalam pertemuan tersebut ada hal-hal yang sebetulnya tidak harus terpublikasi.

"Artinya, kalau memang itu melanggar ketentuan dan merugikan pihak Indonesia, maka wajib disampaikan nota protes pada negara yang melakukan penyadapan tersebut," ujarnya. "Tindakan itu tidak bermoral."

Nodai Diplomatik

Ketua Komisi Luar Negeri DPR, Mahfudz Sidiq, menilai penyadapan yang dilakukan intelijen Inggris terhadap Presiden SBY dan akhirnya dimanfaatkan pemerintah Australia, telah menodai hubungan diplomatik Indonesia-Australia. Seharusnya, lanjut dia, Inggris dan Australia tidak perlu ikut campur dalam kebijakan pemerintah Indonesia.

"Australia semestinya tidak ikut menikmati hasil sadapan tersebut karena bisa dipersepsi telah terjadi kerjasama intelejen inggris dan Australia terkait hal ini," jelas Wakil Sekjen PKS itu.

"Pada sisi lain kejadian ini menunjukkan bahwa keamanan komunikasi pejabat tinggi negara masih rentan diintersepsi."

Tak hanya itu, Mahfudz juga meminta kepada Lembaga Sandi Negara atau lembaga intelijen lainnya harus diperkuat dalam menjaga dan mengawal sistem komunikasi para pejabat negara Indonesia agar aman dari ancaman penyadapan yang dapat mencuri rahasia negara.

"Lembaga Sandi Negara harus memastikan bahwa sistem dan perangkat komunikasi pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara aman dan terkendali baik," tegas Mahfudz.

Mesti Minta Maaf

Ketua Komisi III DPR I Gede Pasek Suardika menegaskan, penyadapan terhadap Presiden SBY adalah tindakan tak terpuji. Menurutnya, sebagai pihak yang mengambil untung dari penyadapan di KTT G20 London, Inggris, April 2009 lalu, Australia harus segera meminta maaf secara terbuka.

Menurut Pasek, persahabatan yang dibangun SBY selaku Presiden RI dengan Australia telah dikhianati Negeri Kanguru tersebut. "Memang selama SBY menjadi presiden. Peran internasional Indonesia makin diperhitungkan dan disegani," ucap Pasek.

Ia berpendapat, negara tetangga selalu memperhitungkan kiprah Indonesia. Hanya saja sangat disesalkan kalau melakukan cara-cara yang kotor dan merusak hubungan baik yang selama ini terjalin.

Sehingga, lanjut dia, mestinya Australia melakukan kompetisi diplomasi yang fair bila ingin eksis dalam pergaulan dunia. Sudah saatnya perangkat keamanan presiden menjaga dengan serius. Agar upaya-upaya seperti itu tak terulang kembali.

Penyadapan itu, sambung politisi Partai Demokrat ini, merupakan cara-cara frustasi dari sebuah negara maju dan hanya menjatuhkan martabat negara itu sendiri. "Mereka tampaknya kewalahan melihat laju kemajuan dan peran Indonesia yang semakin strategis di dunia internasional," tutup Pasek.

BIN Berhati-hati

Kabar tentang adanya penyadapan Presiden SBY juga membuat sibuk Badan Intelijen Negara (BIN). Namun BIN memilih untuk berhati-hati menanggapi kabar ini.

"Saya berharap kita tidak sepenuhnya percaya kepada berita itu. Itu berita sepihak, sehingga memerlukan klarifikasi juga dari pihak lain," jelas Kepala BIN Marciano Norman.

Namun, menurut Norman, bukan berarti BIN diam saja dengan adanya kabar ini. BIN telah mengkontak pihak intelijen Inggris.

"Kita juga berkomunikasi dengan (pihak intelijen) negara-negara tersebut untuk mencari informasi sebenarnya. Jadi ini sedang proses sekarang," tegas Norman.

Etika dalam hubungan internasional selama ini, lanjut Norman, di mana pun kunjungan seorang kepala negara atau kepala pemerintahan di sebuah negara, harus ada jaminan keamanan. "Tidak hanya keamanan kegiatan. Juga keamanan pemberitaan dan informasi harus jadi perhatian semua pihak."

Pada sisi lain, Norman menyadari pemerintah juga harus berupaya semaksimal mungkin untuk selalu mengevaluasi sistem kemanan yang ada, sehingga tak terjadi kebocoran yang tak perlu.

"Saat ini sangat cepat perkembangan teknologi, sehingga kita harus selalu berada pada posisi mengimbangi. Kalau tidak, informasi kita akan mudah diambil," tutup Norman.

Untungkan Australia

Fairfax Media yang membawahi The Age dan The Sydney Morning Herald melaporkan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd mengambil keuntungan dari penyadapan yang dilakukan agen intelijen Inggris.

"PM Kevin Rudd mendapat keuntungan dari kegiatan mata-mata Inggris terhadap Presiden SBY saat KTT G20 tahun 2009 di London," demikian kata sumber anonim dari intelijen Australia, seperti dimuat Sydney Morning Herald, 26 Juli 2013.

Dalam laporan disebutkan, pejabat Australia yang hadir dalam pertemuan kepala negara itu mengungkap, delegasi Australia memperoleh 'dukungan intelijen yang sangat baik', termasuk informasi yang dibagikan oleh Inggris dan AS.

"PM Rudd memiliki keinginan yang besar akan informasi intelijen, terutama terkait pemimpin Asia Pasifik, Yudhoyono, Manmohan Singh (PM India) dan Hu Jintao (mantan Presiden China)," sebut laporan itu.

Masih dalam laporan intelijen tersebut, hasil penyadapan itu digunakan untuk mendukung tujuan diplomatik Australia, termasuk pula dukungan untuk memenangkan kursi jabatan di Dewan Keamanan PBB.

"Tanpa dukungan intelijen (hasil sadapan) Amerika Serikat, kami tak akan bisa memenangkan kursi itu," ungkap pejabat di Departemen Luar Negeri dan Perdagangan itu. (Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.