Sukses

Eks Dubes Inggris: Korea Utara Terlahir Sebagai "Monster"

Korut terlahir di tengah Perang Dingin. Anak kandung Tentara Merah Uni Soviet. Nyaris tak ada damai.

Korea Selatan siaga, senjata anti-rudal disiapkan di Tokyo, semua mata mengarah ke Korea Utara yang belakangan dikabarkan siap meluncurkan Rudal Musudan berdaya jelajah 3.000 kilometer. Dunia menganggap serius gertakan Korut -- negara kecil yang kini dikomandani pemimpin belia Kim Jong-un.

Ditilik dari sejarahnya, nyaris tak ada damai di Korut. Negeri itu dilahirkan di tengah Perang Dingin -- antara kekuatan komunis dan kapitalis. Sebuah fakta yang tak bisa ditanggalkan.

Di akhir Perang Dunia II, Korea merdeka dari penjajahan Jepang selama puluhan tahun. Bersama sekutunya -- AS, China, Inggris, dan Uni Soviet, tujuan pembentukan sebuah negara diretas.

Kala itu, pasukan Uni Soviet dan AS bercokol di masing-masing satu ujung Korea, dalam masa transisi menjelang pemilu yang demokratis. AS di Selatan, sementara Uni Soviet menduduki Utara.

Saat kerjasama AS dan Soviet memburuk, muncullah dua negara di Semenanjung Korea. Republik Korea di selatan yang disokong AS dan Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK) yang berhaluan komunis di utara -- yang dipimpin Kim Il-sung -- anak didik Tentara Merah Uni Soviet.

Mantan Dubes Inggris di Korut, John Everard berpendapat, Korut "terlahir sebagai monster". "Ia diciptakan oleh pejabat Tentara Soviet yang tampaknya hanya punya sedikit gagasan tentang pembentukan negara," kata dia, seperti dimuat BBC (9/4/2013).

Kim Il-sung diciptakan sebagai pemimpin. Namun saat menemukan kepemimpinannya hanya didukung segelintir rakyat, mereka menciptakan kultus ala Stalinis. "Sehingga negara itu seakan diperintah seorang raja yang setara dewa, seperti anggapan masyarakat dulu terhadap Raja Korea (sebelum pendudukan Jepang)."

Pada tahun 1950, Korea Selatan mendeklarasikan kemerdekaannya. Korut yang dibeking Uni Soviet dan China, langsung menginvasi wilayah selatan. Melecut Perang Korea yang berlangsung selama 3 tahun.

Intervensi AS

Khawatir komunis akan mengambil alih Korea dan mengakibatkan implikasi lebih luas, AS memutuskan melakukan interveensi. "Jika AS diam saja melihat pertaringan di Korsel, Washington khawatir ada efek domino komunis di Asia. Risiko yang tak bisa diabaikan," kata  Robert Kelly, ahli dari  Pusan National University, Korsel.

Kala itu, saat menemui jalan buntu, Presiden AS  Harry S. Truman dan dilanjutkan Dwight D. Eisenhower menggunakan ancaman nuklir sebagai cara menghentikan perang.

Namun Truman tak mau apa yang terjadi di Korea menyebar atau memicu perang dunia. Bahkan, pada 1951, saat Jenderal Douglas MacArthur, komandan pasukan AS di Timur Jauh, secara terang-terangan menyerukan China, beking Korut, untuk diserang -- justru berujung pemecatan Sang Jenderal dengan alasan pembangkangan.

Pada tahun 1953, Perjanjian Gencatan Senjata Korea ditandatangani. Zona demiliterisasi (DMZ) didirikan. Namun tak ada perjanjian perdamaian permanen yang ditandatangani, tensi di perbatasan dua negara terus tegang hingga saat ini.

Kemunduran Korut

Di tahun-tahun awal, Korut makmur, dengan dukungan kuat dari China dan Soviet. Namun ketegangan di perbatasan meningkat seiring majunya industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi Korsel.

"Korsel menjadi kaya raya di tahun 1970-an, sementara Korut tetap menjadi contoh tipikal kebijakan negara Stalinis.  Awalnya baik-baik saja, namun kemudian, ia goyah," kata Kelly.

Pada akhir 1980-an, Uni Soviet jatuh, itu adalah pukulan berat bagi Korut. Apalagi pada tahun 1992, China mengakui keberadaan Korsel sebagai sebuah negara. Korut merasa dikhianati dan makin mengisolasi diri.

"Perekonomiannya hancur lebur setelah runtuhnya Uni Soviet," kata penulis dan ahli Korut,  Paul French.

"Ekonomi gagal, industri berhenti. Pasar ekspor blok Timur ambruk." Ditambah lagi pertanian kolaps dan negeri itu terjebak dalam kelaparan massa di pertengahan 1990-an.

Rezim "nuklir"

Program nuklir diperkirakan dimulai tahun 1960-an. Demikian menurut mantan Dubes Inggris, John Everard.
Lingkungan internasional berbalik melawan Korea Utara, para pemimpinnya mulai menganggap program nuklir sebagai jaminan keberadaannya sebagai negara merdeka.

"Pemimpin Besar" Kim Il sung, diikuti putranya  Kim Jong-il, dan cucunya Kim Jong-un punya kartu truf yang sama. "Nuklir," kata ahli Korut, French. Program nuklir Korea Utara juga menjadi sumber utama ketegangan dengan Barat.

Pada tahun 1994 pemerintahan Presiden AS Clinton berada di ambang perang dengan Korea Utara karena melanggar perjanjian internasional terkait nuklirnya.

Pada tahun 2002, ketegangan berkobar lagi saat Korea Utara mengusir pengawas nuklir internasional. Menegaskan kekhawatiran negara itu diam-diam mengembangkan senjata nuklir.

Dan kini, sejarah berulang. "Perang Korea masih belum berakhir. Permusuhan lama makin berkobar,"kata  Paul French. (Ein)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.