Sukses

Dua Pasal Ini yang Membuat Buruh Turun ke Jalan

Hari ini buruh kembali turun ke jalan memprotes UU BPJS-SJSN. UU ini dinilai sebagai langkah mundur karena lebih memiskinkan buruh.

Liputan6.com, Jakarta: Setahun berlalu sejak disahkan DPR, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) tak kunjung menuai simpati, khususnya bagi kalangan buruh. Alih-alih bisa memberi harapan hidup lebih layak, UU ini justru dicibir dan ditentang. Seperti terjadi hari ini, Rabu (21/11/2012), ribuan buruh kembali bergerak mengepung pusat-pusat kekuasaan di Jakarta.

Tuntutan mereka adalah dilakukannya revisi terhadap isi dari undang-undang (UU) tersebut, khususnya yang menyangkut sistem iuran wajib bagi pekerja. Sebab, sejumlah pasal di dalamnya merupakan langkah mundur di tengah keinginan buruh untuk bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Jika dirunut ke belakang, silang sengkarut soal jaminan sosial ini diawali ketika DPR mengesahkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU inilah yang melahirkan lembaga baru bernama Badan Pelaksana Jaminan Sosial. Pasal 5 ayat (1) UU ini mengatakan: Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang. Dan, tujuh tahun kemudian UU itu lahir dengan disahkannya UU No.24 Tahun 2011.

Tidak hanya itu, UU ini juga memerintahkan peleburan badan penyelenggara jaminan sosial yang ada ke dalam BPJS, seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), dan Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes).

Namun, munculnya UU SJSN nyaris tidak mendapat perlawanan karena wujud BPJS yang dilahirkan belum terlihat. Barulah setelah UU BPJS disahkan akhir Oktober tahun lalu, SJSN dan BPJS dilihat dengan cara berbeda. Bagi kalangan buruh, keduanya adalah satu paket, dengan tujuan yang sama sekali jauh dari perlindungan bagi warga kurang mampu, khususnya buruh.

Pasal 14 UU BPJS menyebutkan: Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial.

Sementara Pasal 19 ayat (1) menyebutkan: Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.

Kedua pasal inilah yang menjadi masalah utama. UU BPJS menyatakan ada dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

Bukankah selama ini buruh sudah menjadi anggota Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), di mana iurannya dibayarkan oleh perusahaan. Sementara berdasarkan UU BPJS, pembiayaan dipungut perusahaan dengan memotong gaji buruh.

Hal lainnya, bagaimana jika buruh bersangkutan sudah masuk dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) di daerah masing-masing? Akan terjadi tumpang tindih antara program jaminan sosial yang satu dengan yang lainnya. Apalagi untuk Jamkesmas dan Jamkesda didapat dengan cuma-cuma, kenapa harus ada jaminan sosial lainnya yang menggerus isi kantong?

Seorang buruh dipastikan akan tetap diwajibkan ikut program BPJS lantaran iuran jaminan sosial yang ditanggung negara hanya mencakup fakir miskin dengan pendapatan kurang dari Rp 300.000 per bulan. Jelas akan sulit saat ini menemukan buruh yang memiliki gaji sekecil itu, bahkan tak menyentuh UMR terendah di Indonesia.

Apalagi Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti beberapa waktu lalu menyebut besaran iuran bagi anggota jaminan kesehatan lewat BPJS Kesehatan berkisar antara Rp 19-27 ribu perorang per bulan. Tak terbayangkan berapa upah buruh yang tergerus tiap bulannya jika mereka ikut program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Kalimat yang lebih tepat untuk menggambarkan mungkin bisa didengar dari komentar mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang menyatakan UU BPJS bertentangan dengan perintah Pasal 28 H UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. "Kalau bayar iuran, artinya untuk mendapatkan jaminan maka rakyat harus 'beli'. Jadi ini adalah asuransi, bukan jaminan sosial," tegasnya.

Lalu, kalau ini asuransi kenapa harus diwajibkan untuk menjadi pesertanya? Apakah BPJS-SJSN itu jaminan sosial atau asuransi yang berkedok jaminan sosial, mungkin 'bola' harus segera diserahkan kepada MK agar semua bisa menjadi terang dan buruh tak lagi harus dipaksa turun ke jalan.(ADO)







* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini