Sukses

Kami Tak Akan Pernah Menyerah

Meski tak terkena dampak langsung dari ledakan bom di Legian, Kuta, banyak pula warga Bali yang kehilangan mata pencarian.

Liputan6.com, Kuta: Lebih dari 200 orang meregang nyawa saat bom berdaya ledak besar menghantam deretan tempat hiburan di Jalan Legian, Kuta, Badung, Bali, 12 Oktober sepuluh tahun silam. Ratusan lainnya terluka dan mengalami cacat permanen. Namun, tak hanya mereka yang kehilangan akibat ledakan dahsyat itu. Banyak pula di antara mereka yang malam itu kehilangan asa, meski tak secuil pun dampak ledakan menyentuh kulit mereka.

Dewanti (29) adalah salah satu contohnya. Wanita asal Amlapura, Bali ini sebelum tragedi memilukan itu terjadi bekerja di sebuah toko aksesoris. Beruntung baginya, hari saat kejadian dia mendadak sakit dan tidak masuk kerja. Pada malam itulah ledakan turut menghancurkan tempat kerjanya yang hanya berjarak 100 meter dari Ground Zero.

Dia memang selamat dari ajal, tapi toko tempat dirinya bekerja sudah luluh lantak. "Saya bingung dan tak tahu harus melakukan apa karena sudah tak bisa bekerja lagi," ujarnya kepada Liputan6.com saat ditemui di sela-sela acara peringatan sepuluh tahun Bom Bali I di kawasan Ground Zero, Jumat (12/10) malam.

Dua tahun lamanya Dewanti menganggur dan hidup bergantung pada orang lain. Akibat lainnya, kiriman uang untuk orangtuanya setiap bulan terpaksa dihentikan. "Untuk hidup sehari-hari saja saya harus meminjam ke teman, sampai malu rasanya," cerita Dewanti.

Syukur, kini wanita yang berjodoh dengan seorang sopir taksi ini sudah kembali bekerja di sebuah minimarket di kawasan Pantai Kuta. Namun, kejadian pada malam 12 Oktober 2002 itu tak akan pernah dia lupakan. "Saya bersyukur bisa selamat, tapi tetap sakit hati karena tempat kerja saya dihancurkan begitu," ujarnya.

Kemarahan yang sama juga dirasakan Ketut Suwendra (45), seorang sopir sekaligus pemandu wisata di sebuah usaha jasa penyewaan mobil di Denpasar, Bali. Meski tinggal di Denpasar dengan anak dan istrinya, hidup Ketut boleh dikatakan bergantung pada keindahan Kuta. "Hampir setiap tamu yang datang pasti minta diantar ke Kuta atau Legian, baru kemudian ke tempat lainnya," jelas Ketut.

Maka, ketika Legian diguncang ledakan di sebuah malam pada sepuluh tahun lalu, Ketut pun terpana. Tak ada lagi panggilan dari kantornya untuk menjemput atau membawa tamu berkeliling Bali. Ada sekitar empat tahun lamanya ayah tiga orang anak ini melihat begitu sepinya Bali dari kunjungan wisatawan. "Saya pun hanya mengisi waktu luang dengan bekerja serabutan, pokoknya menghasilkan uang,". Jelas Ketut.

Kini dia sudah bekerja kembali sebagai sopir, tapi tak lagi di perusahaan yang lama. Bangkitnya kembali sektor pariwisata Bali membuat Ketut senang. Tapi dia tetap tak habis pikir kenapa Legian dihancurkan. "Kami tak akan pernah menyerah kepada teroris," tegasnya.

Diandra (36) juga mengalami hal yang sama. Sebelum tragedi Bom Bali I, dia bekerja di sebuah usaha jasa pembuatan tato di Jalan Legian. Usaha yang menurutnya menjanjikan itu kemudian lenyap ketika studio tempatnya bekerja rusak, meski tak parah. "Saya ketika itu sedang di pinggir pantai, hanya mendengar suara dentuman dari jauh," ceritanya.

Dentuman itulah yang jadi pertanda bahwa rezekinya di studio tato itu tercerabut. Studio itu memang segera direnovasi, tapi tak ada pelanggan yang datang, hanya suasana lengang yang terasa di trotoar depan tempat dia menjual jasa. "Studio itu akhirnya tutup dan saya menganggur," ujarnya.

Dua tahun menganggur, pria berkulit gelap ini diterima bekerja di sebuah toko yang menjual alat-alat selancar. Dia bersyukur dengan apa yang dia dapat sekarang, tapi tetap ada yang mengganjal. "Bakat dan hobi saya di bidang seni tato kini tak tersalurkan lagi," ucapnya lirih.(ADO)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.