Sukses

Serangan Umum 1 Maret dan Cerita Pak Harto Kebal Ditembak

Soeharto dianggap ahli strategi. Dia mempersiapkan serangan terhadap pasukan Belanda yang masih bercokol di Yogyakarta dengan matang.

Liputan6.com, Jakarta - Momen Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi salah satu upaya para pendiri bangsa mempertahankan kemerdekaan pasca-proklamasi digaungkan oleh Soekarno-Hatta. Peristiwa itu juga menjadi catatan sejarah penting setelah Indonesia secara de jure lepas dari penjajahan Belanda.

Enam puluh sembilan tahun setelah banyak versi seputar Serangan Umum 1 Maret, dari sejumlah versi sejarah yang ada, peran Letkol Soeharto tentu tidak bisa dipisahkan dalam perang untuk merebut kembali Ibu Kota Republik Indonesia, Yogyakarta. 

Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II, yaitu Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi melakukan serangan balik terhadap tentara Belanda yang mengambil alih Yogyakarta.

Serangan dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang rombongan konvoi Belanda, serta tindakan perebutan lainnya.

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar di pos-pos kecil di seluruh daerah.

Ketika pasukan Belanda sudah terpencar-pencar, barulah TNI melakukan serangan. Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap Kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto.

Dalam buku Pak Harto Untold Stories karya Mahpudi Cs, Soerjono yang saat itu menjadi staf Letkol Soeharto menyebut bahwa serangan umum 1 Maret sudah dipersiapkan dengan sangat matang.

Tepat pukul 6 pagi, serangan mulai dilancarkan ke seluruh penjuru Yogyakarta. Serangan itu telah mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Sejak sore hari, para prajurit TNI telah memasuki Kota Yogyakarta dengan menyusup. Pos komando ditempatkan di Desa Muto. Malam harinya, menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota.

"Sebelum serangan dilakukan, Pak Harto sering mengirim telik sandi (mata-mata) ke Kota Yogyakarta dan Keraton. Para komandan pun sering dipanggil untuk mematangkan strategi perang gerilya," ujar Soejono.

Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene tanda jam malam berakhir berdering, serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam operasi tersebut, Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro.

Wilayah barat dipimpin Ventje Sumual, Selatan dan Timur dipimpin Mayor Sardjono, Utara oleh Mayor Kusno. Di wilayah kota sendiri, ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, pasukan TNI mengundurkan diri.

"Saya merasakan langsung kepemimpinan Pak Harto sejak perencanaan hingga pelaksanaan Serangan Umum 1 Maret," kata Soerjono.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Keberanian Soeharto

Soerjono bercerita, kedekatannya dengan Pak Harto bukan hanya saat momen serangan umum 1 Maret. Jauh sebelum operasi tersebut dilakukan, dirinya sudah lama ikut Soeharto bergerilya di hutan-hutan. Soeharto, menurut dia, selalu tampil di depan saat bertempur melawan Belanda.

"Pada saat itu, Pak Harto seolah-olah memiliki kekuatan mental yang luar biasa," ucap dia.

Soerjono bahkan menyebut Pak Harto mempunyai kekuatan luar biasa hingga dia selalu menjadi yang terdepan saat bertempur melawan Belanda. 

"Boleh percaya atau tidak, tetapi Pak Harto seperti tidak mempan ditembak. Pak Harto selalu di barisan depan jika menyerang atau diserang Belanda. Saya sering diminta menempatkan posisi diri di belakang beliau," ujar Soerjono di halaman 99 buku tersebut.

"Saya ingat kata-kata Pak Harto, kalau takut mati tidak usah ikut perang," kata dia.

Sebelum meninggal pada tahun 2008 lalu, Soerjono sempat menyayangkan beberapa orang yang meragukan peran Soeharto dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Menurutnya, mereka yang mempersoalkan tersebut karena tidak menyukai Soeharto.

"Saya sendiri merasakan keikhlasan Pak Harto pada saat perang dan terus berjuang membangun Indonesia ini. Kelak generasi penerus akan melihat nilai-nilai positif yang sudah pasti di Lakukan Soeharto untuk Indonesia," ucap Soerjono.

Reporter:  Hery H Winarno

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.