Sukses

3 Alasan Denny JA Sebut UU Pemilu Bermasalah

Denny JA menilai, wajar saja Undang-Undang Pemilu terus menjadi polemik.

Liputan6.com, Jakarta - Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network Denny JA menilai, wajar saja Undang-Undang Pemilu terus menjadi polemik meski sudah diputuskan. Dia menilai ada cacat yang fundamental dalam ketuk palu undang-undang tersebut.

"Pangkal utama cacat dari undang undang itu adalah memaksakan hasil pemilu 2014 digunakan sebagai ambang batas untuk calon presiden pada pemilu berikutnya di 2019," kata Denny JA melalui pesan tertulis, Kamis 27 Juli 2017.

Sedikitnya ada 3 faktor UU Pemilu menjadi cacat yang sangat fundamental.

Pertama, dilanggarnya prinsip kesamaan hak dan posisi hukum partai politik. Undang-undang Pemilu memberikan ruang bagi hadirnya partai baru, yang untuk pertama kali akan ikut pemilu di 2019. Namun partai baru itu tak diberikan hak sama untuk menentukan calon presiden.

"Basis dukungan yang dihitung untuk presidential threshold Pemilu 2019 hanya milik partai lama, yang ikut pemilu di 2014 saja," jelas dia.

Kedua, UU Pemilu meniadakan hak warga untuk tak setuju pilihannya pada partai di satu pemilu digunakan untuk basis kekuatan partai itu pada pemilu berikutnya.

Situasi politik, ekonomi, dan kesadaran warga bisa saja berubah. Setiap warga sangat mungkin mengidolakan partai tertentu dan tokoh tertentu di satu pemilu. Namun pada pemilu berikutnya, partai dan tokoh itu bisa pula berubah justru menjadi musuh utamanya.

"Itu sebabnya mengapa dukungan partai itu berubah pada setiap pemilu. Bahkan PDIP pada tahun 1999 mendapatkan dukungan di atas 33 persen. Tapi pada pemilu berikutnya (2004) tersisa hanya hampir separuhnya saja yakni di bawah 19%," imbuh dia.

Ketiga, ambang batas presiden 20-25% sebagai syarat pengajuan capres 2019 mengacaukan desain kelembagaan demokratis yang ingin diterapkan di Indonesia. Presidential threshold yang dipaksakan pada pemilu serentak bahkan diwacanakan untuk memperkuat sistem presidensialisme.

"Kenyataannya, ambang batas capres itu justru memperlemah sistem presidential murni. Ia justru mencampurkan dua desain kelembagaan, membuat capres bergantung pada koalisi parlemen. Basis pencalonan capres justru posisinya dibuat oleh UU ini bergantung pada kekuatan partai (ambang batas) di parlemen," pungkas Denny.

Saksikan video berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.