Sukses

Reaksi Akbar Tandjung soal Kasusnya Disamakan dengan Setnov

Akbar Tandjung pernah terjerat kasus dana nonbujeter Bulog saat memimpin Golkar dan DPR.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah petinggi Partai Golkar tak terlalu ambil pusing mengenai status tersangka Setya Novanto atau Setnov dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan jabatannya di pucuk pimpinan partai. Mereka menyebut, hal itu pernah terjadi pada Partai Golkar saat dipimpin Akbar Tandjung.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar, Akbar Tandjung menyatakan bahwa kasus penyalahgunaan dana nonbujeter Bulog yang menjerat dirinya saat itu berbeda dengan kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP yang menyeret Setya Novanto saat ini.

"Kalau dilihat dari segi kasusnya, tentu berbeda. Sangat berbeda. Apalagi dikaitkan dengan volume dana yang diduga terjadi suatu tindak pidana korupsi yaitu Rp 5,9 triliun biaya APBN untuk e-KTP dan Rp 2,3 triliun kerugian negara," ujar Akbar di kediamannya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (23/7/2017).

Akbar melanjutkan, kasus dugaan korupsi penyelewengan dana nonbujeter Bulog yang menyeret dirinya saat itu sebesar Rp 40 miliar. Angka tersebut terpaut jauh dengan nilai kerugian negara yang diakibatkan pada penyelewengan proyek e-KTP ini.

Bukan hanya itu, Akbar menyatakan bahwa kasusnya saat itu, yakni pemberian sembako kepada masyarakat dilakukan oleh yayasan yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Namun pada tahapan di tingkat yayasan itulah terjadi penyelewengan.

"Jadi kan beda sekali. Dan di situ secara pribadi saya tidak ada kaitannya soal Rp 40 miliar, itu karena yang melaksanakan pembagian sembako adalah yayasan. Jadi ya sangat berbeda lah," kata dia.

Kendati demikian, Ketum DPP Partai Golkar pertama di era Reformasi itu meminta semua pihak untuk menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dalam setiap kasus hukum. "Kita harus menghormati. Tapi kita juga harus mendengar, menyerap aspirasi publik," ucap Akbar.

Bakal Lebih Baik?

Saat itu, Akbar Tandjung juga menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar sekaligus Ketua DPR kala tersandung kasus korupsi. Dia sempat dijatuhi hukuman tiga tahun penjara di tingkat pengadilan pertama. Akbar akhirnya bebas saat upaya hukumnya melalui kasasi dikabulkan Mahkamah Agung (MA).

Meski sempat tersandung kasus, Akbar mampu membawa Partai Golkar bangkit pascareformasi. Bahkan pada 2004, Golkar menjadi pemenang pemilu.

Dalam hal ini, Akbar enggan berandai-andai Partai Golkar bakal melesat pada pemilu 2019 mendatang, meski ketua umumnya tersandung kasus. Apalagi saat ini, elektabilitas partai berlambang pohon beringin itu terus merosot.

"Kalau kita lihat semakin lama surveinya semakin turun, apa kita biarkan? Saya termasuk yang tidak membiarkan. Kita harus mengambil langkah-langkah supaya tren menurun itu tidak terus berjalan," ujar Akbar.

Namun, Akbar tidak menjelaskan secara gamblang mengenai langkah yang akan ditempuh terkait kondisi Golkar saat ini. Akbar juga enggan menilai bahwa kepemimpinan saat ini lebih buruk daripada eranya dulu.

"Saya tidak membandingkan dengan zaman saya, cuma kasus dan peristiwanya berbeda. Kalau soal itu (perbandingan kasus korupsi) saya bisa jawab, dan saya nggak mau membandingkan ya (soal prestasi kepemimpinan)," Akbar Tandjung menandaskan.

Saksikan video menarik di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.