Sukses

Kata Petinggi Golkar soal Ahok Kembali Jadi Gubernur DKI

Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto berharap pemerintah bisa mengambil jalan terbaik soal Ahok.

Liputan6.com, Jakarta - Menjabatnya kembali Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menuai pro dan kontra. Hal ini karena statusnya sebagai terdakwa kasus dugaan penodaan agama.

Terkait hal itu, Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto berharap pemerintah bisa mengambil jalan terbaik soal kasus ini.

"Kalau masalah itu, kita serahkan sepenuhnya pada pemerintah untuk bisa (pilih) mana yang terbaik. Saya percaya apa yang dilakukan pemerintah pasti melalui suatu evaluasi sangat baik," kata Setya Novanto di Planet Hollywood, Jakarta Selatan, Minggu 12 Februari 2017.

Wasekjen Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, mengatakan, menjabatnya kembali Ahok tak perlu dipersoalkan karena tidak menyalahi undang-undang.

"Saya kira tidak perlu disoalkan lagi terkait dengan aktifnya kembali Pak Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta karena itu adalah perintah dari undang-undang (nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah)," kata Ace di tempat yang sama.

Mengenai rujukan pemberhentian dari tuntutan pasal Jaksa Penuntun Umum (JPU) pada Ahok, Ace menyinggung bahwa Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara dan Pasal 156 a soal Penodaan Agama dengan ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara adalah tidak cocok dengan usulan tersebut (pemberhentian).

"Karena kan ada dua pasal dari JPU, disebut bahwa ada ancaman hukumannya itu 4 tahun dan ada yang ancaman hukumnya (maksimal) 5 tahun. Sementara, menurut undang-undang disebutkan kan ancaman hukuman (minimal) 5 tahun bagi terdakwa baru dinonaktifkan," jelas Ace.

Sebagai informasi, Undang-Undang dimaksud adalah UU Pemda Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi:

"Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.