Sukses

Dikenal Baik, Napi Mati Merry Utami Pernah Tinggal di Keraton

Ayah Merry Utami, Siswandi bahkan pernah menjadi Ketua RW saat tinggal di kampung yang berada di balik tembok Keraton itu.

Liputan6.com, Solo - Merry Utami menjadi salah satu narapidana yang akan menghadapi regu tembak pada Jumat, 29 Juli 2016 pukul 00.00 WIB. Dia mendapat vonis mati setelah kedapatan membawa heroin seberat 1,1 kilogram di Bandara Soekarno-Hatta pada 31 Oktober 2001.

Kendati demikian, di lingkungannya, Kampung Baluwarti, Pasar Kliwon, Solo. Merry dikenal sebagai perempuan yang ramah. Merry sempat menghabiskan waktu masa kecilnya bersama keluarga di kampung yang berada di dalam tembok Keraton Kasunanan Solo.

Bahkan, sang ayah Siswandi juga pernah menjadi Ketua RW setempat saat tinggal di kampung tersebut.

Rumah yang pernah dihuni keluarga Merry itu, kini ditempati pamannya bernama Bambang. Hanya saja, sang paman tidak mau berbicara banyak terkait nasib Merry.

Bambang pun menunjuk istrinya untuk menjawab berbagai pertanyaan terkait Merry. Ia mengaku tidak bisa banyak bicara karena baru sembuh dari sakit stroke untuk kedua kalinya.

"Untuk tanya Merry coba tanya dengan istri saya saja ya," kata dia ketika ditemui di rumahnya, Kamis (28/7/2016).

Sementara itu sang is‎tri mengaku tidak begitu mengenal dekat dengan Merry Utami karena saat dia tinggal di Solo, keluarganya masih tinggal di Jakarta.

"Sebenarnya yang tahu banyak om-nya (Bambang). Saya tahunya hanya sedikit saja," kata dia.

Meski demikian, Merry dikenal sebagai pribadi yang suka bergaul dengan warga sekitar. Selain itu, Merry juga baik dengan keluarga dan kerabatnya.

"Para tetangga yang mengenal Merry saat masih di sini juga begitu bilang nya. Kalau orangnya itu fair dengan tetangga, mau bergaul dan suka bersosialisasi," ujar dia.

Ia pun mengaku kaget ketika 2001 lalu mendengar kabar jika sang keponakan tertangkap menyelundupkan heroin seberat 1,1 kilogram.

Padahal berdasarkan kabar dari keluarga saat itu, Merry ke luar negeri untuk bekerja guna membiayai putra sulungnya yang menderita kelainan jantung.

"Saya dan om-nya tidak percaya, kaget kok bisa seperti itu. Kami sangat yakin tidak mungkin, karena Merry kerja di luar negeri untuk mengobati anaknya yang sakit jantung. Mana mungkin kerja untuk biaya seperti kok menjurusnya ke arah situ," tegas dia.

Pada detik-detik jelang waktu eksekusi mati, dia masih berharap ada mukjizat yang membuat hukuman mati Merry dibatalkan.

"Saya itu sedih mendengarnya, jadi seperti itu. Saya berharap Merry batal dieksekusi mati karena ia hanya menjadi korban, bukan pelaku," pungkas istri Bambang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini