Sukses

Sumber Waras, Seteru Ahok dan BPK

BPK menyatakan, audit pengadaan lahan yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk Rumah Sakit Sumber Waras tidak mengada-ada.

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama 12 jam. Pria yang kerap disapa Ahok itu diperiksa terkait penyelidikan dugaan korupsi pembelian lahan untuk pembangunan Rumah Sakit Sumber Waras.

Usai diperiksa KPK, Ahok menyatakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyembunyikan data kebenaran dalam audit investigasi pembelian lahan RS Sumber Waras. Dia juga menyebut BPK ngawur dalam audit investigatif tersebut.

"Saya bilang tadi BPK menyembunyikan data kebenaran. BPK meminta kita melakukan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan. Suruh membatalkan transaksi pembelian tanah Sumber Waras," kata Ahok, Selasa 12 April 2016 malam.

Ahok menolak membatalkan pembelian karena, jika pembatalan itu dilakukan negara akan mengalami kerugian.

"Pembelian tanah itu terang dan tunai. Kalau harus dibalikin, mesti jual balik. Mau enggak Sumber Waras beli harga baru? Kalau pakai harga lama, (ada) kerugian negara," kata Ahok. Ada 50 pertanyaan yang ditujukan kepadanya.

Gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama berada di ruang tunggu Gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/4). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Ahok juga mengatakan, kasus pembelian tanah RS Sumber Waras tak ada hubungan dengan penetapan nilai jual objek pajak atau NJOP.

"Penjelasannya kan itu cuma dihitung dari tim teknis, kami hanya tanda tangan penetapan. Jadi enggak ada hubungan," kata dia.

Ahok Merasa Ditipu

Pada pemeriksaan di KPK kemarin, Ahok mengatakan terdapat beberapa pertanyaan dari 4 penyidik KPK, yang menurutnya rancu. Antara lain mengapa Ahok tidak dapat memperlambat penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan di zona sekitar Sumber Waras.

"Lucu banget pertanyaannya. Bukan bocorin BAP ya. Dia tanya 'Kenapa bapak tidak perlambat NJOP? Supaya bisa beli barang yang murah?' bagus toh pertanyaan nya, udah malam ini. Terus saya jawabnya sederhana," kata Ahok di Balai Kota DKI.

"Saya pertama nggak pernah kepikir masalah itu karena itu saya pikir kejahatan. Tapi nggak apa. Sekarang nggak apa, aku turutin ide Anda ini, tapi jangan jangan Pemda malah lebih rugi. Karena PBB semuanya turun nih hanya untuk beli yang Sumber Waras," kata Ahok.

Ahok menegaskan, temuan BPK yang menyeretnya pada kasus dugaan korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras di KPK adalah bentuk tipuan.

"Saya terima kasih KPK panggil saya, kalau enggak dipanggil jadi liar di luar, seolah-olah saya bersalah. Padahal yang ditemukan BPK itu enggak masuk akal. Kamu bandingkan harga Ciputra yang dibelinya harga pasar, kalau dibandingkan harga saya beli harga NJOP, saya lebih murah. Berarti kamu udah enggak fair, menipu. Laporan BPK itu menipu saya," ujar Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu 13 April 2016.

Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (Istimewa)

BPK Menjawab

BPK membantah pihaknya ngawur dalam mengaudit pengadaan lahan yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk Rumah Sakit Sumber Waras‎. BPK pun membuka ada 6 penyimpangan dalam pembelian lahan tersebut.

"Penyimpangan ini terjadi mulai dari perencanaan, penganggaran, pembentukan tim pengadaan pembelian lahan RS Sumber Waras dan dalam pembentukan harga dan penyerahan hasil pembelian," kata Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal BPK Bahtiar Arif saat menggelar jumpa pers di Kantor BPK, Jakarta, Rabu 13 April 2016.

BPK juga menemukan indikasi kerugian negara dari pembelian lahan RS Sumber Waras. Termasuk jika membandingkan harga beli lahan itu dengan harga pasaran.

Bahtiar menjelaskan, BPK telah melaksanakan pemeriksaan investigatif terkait pengadaan tanah RS Sumber Waras selama 4 bulan. Ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan standar pemeriksaan keuangan negara.

"Pemeriksaan investigatif tersebut dilakukan BPK secara profesional dan telah sesuai standar pedoman yang berlaku. BPK telah menyerahkan hasil pemeriksaan investigatif tersebut ke KPK 7 Desember 2015," jelas Bahtiar.

Gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama saat tiba di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/4). Ahok memenuhi panggilan KPK untuk dimintai keterangan dalam penyelidikan kasus dugaan korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Jika ada pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pemeriksaan BPK, dia mempersilakan agar menempuh jalur hukum. "Silakan menempuh jalur sesuai ketentuan perundang-undangan," kata Bahtiar.

Ahok menyatakan tak berniat menempuh jalur hukum menuntut BPK terkait temuan indikasi korupsi lahan RS Sumber Waras. Langkah itu dinilainya akan sia-sia.

"Percuma mau gugatnya bagaimana? Dia Tuhan di Indonesia kok. Iya toh?" ujar Ahok di Balai Kota Jakarta, Rabu.

Menurut Ahok, kekuasaan BPK tidak terbatas sehingga dapat disebut Tuhan. Mantan bupati Belitung Timur itu menyindir pimpinan BPK yang tidak melaporkan harta kekayaan.

Wakil Ketua KPK Zulkarnain, anggota III BPK Eddy Mulyadi Supardi dan Anggota V BPK Moermahadi Soerja Djanegara usai memberikan keterangan tentang hasil audit investigasi pembelian lahan RS Sumber Waras di Jakarta, Senin (7/12). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Bola di Tangan KPK

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Aziz menyatakan telah melakukan pemeriksaan investigatif terkait pengadaan lahan RS Sumber Waras sebagaimana permintaan KPK. Dia mengatakan, saat ini BPK tak memiliki kewenangan terkait masalah tersebut dan menyerahkannya ke KPK.

"Urusan selanjutnya, ‎karena masuk informasi pro justisia kami tidak lagi berwenang. Ibarat main bola, bolanya di KPK," kata dia, Jakarta.

Lalu apa kata Harry mengenai pernyataan Ahok yang menyatakan laporan tersebut cenderung sembarangan atau ngaco.

"Yang bilang siapa? Semua orang bisa berbicara dengan apa saja," ujar Harry.

Ketua BPK, Harry Azhar Azis (kedua kanan) usai menghadiri Sidang Paripurna Luar Biasa DPD RI di Kompleks Parlemen, Rabu (13/4/2016). Harry  menyaksikan Irman Gusman diinterupsi anggota DPD yang menolak Irman memimpin sidang. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal BPK Bahtiar Arif menyatakan, yang disampaikan BPK ke publik bukan hal yang mengada-ada apalagi sampai menyembunyikan data yang sebenarnya.

"Kaitan dengan pertanyaan menyembunyikan data, data yang kami terima dari Pemprov DKI dan fakta dari Pemprov DKI. Ini terkait hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan Pemprov DKI tahun 2014 yang ada rekomendasinya ke gubernur. Tidak ada hasil yang kita sembunyikan, kan laporannya dari Pemprov DKI yang diaudit," kata Bahtiar.

Dia mengatakan, BPK telah melaporkan semua hasil temuan dugaan pelanggaran dalam pengadaan lahan RS Sumber Waras ke KPK. Oleh karena itu tidak semuanya disampaikan ke publik.

"Temuan apa saja secara detail temuan investigatif sudah dikemukakan di KPK, tidak bisa disampaikan detail karena sudah melalui proses hukum di sana (KPK)," ungkap Bahtiar.

Dia mengungkapkan, atas laporan tersebut BPK menemukan pengadaan tanah Rumah Sakit Sumber Waras tidak melalui proses yang memadai sehingga berindikasi merugikan daerah senilai Rp 191,33 miliar.

"BPK telah merekomendasikan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk melakukan upaya pembatalan pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras seluas 36.410 hektare dengan pihak Yayasan Kesehatan Sumber Waras," ujar dia.

Bila pembatalan tersebut tidak dapat dilaksanakan, maka segera memulihkan indikasi kerugian daerah minimal Rp 191,33 miliar atas selisih harga tanah dengan PT Ciputra Karya Utama (CKU).

"Terkait rekomendasi tersebut, BPK fokus pada penyelamatan atau pemulihan keuangan negara," Bahtiar menandaskan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Awal Mula Kasus

Kasus pembelian lahan RS Sumber Waras ini bermula ketika pada Mei 2014, Ahok yang saat itu masih menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur menyatakan niatnya untuk membuat rumah sakit khusus penderita kanker dan jantung. Pembuatan rumah sakit itu karena RS Kanker Dharmais dan Harapan Kita keteteran melayani pasien.

Saat itulah, Ahok berniat membeli RS Sumber Waras dan memersiapkan anggaran Rp 1,5 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2014.

Ahok tak mau lahan rumah sakit dijadikan mall oleh PT Ciputra Karya Utama. Namun, pada Juni 2014 pihak RS Sumber Waras menyatakan jika lahan tersebut tidak dijual karena sudah terikat dengan PT Ciputra Karya Utama.

Gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama menyambangi Gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/4).  (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Kemudian, Dinas Kesehatan DKI pun merekomendasikan untuk membangun rumah sakit impian Ahok itu di Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat, bersebelahan dengan Kantor Dinas Kesehatan dan di Jalan Sunter Permai Raya, Jakarta Utara, yang kini menjadi lokasi Gedung Ambulans Gawat Darurat.

Tapi, pada bulan yang sama, RS Sumber Waras menyurati Ahok bahwa lahannya akan dijual. Mereka memasang harga nilai jual objek pajak (NJOP) sekitar Rp 20 juta untuk lahan tersebut.

Ahok pun langsung meminta Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI kala itu, Andi Baso Mappapoleonro untuk memersiapkan anggaran senilai Rp 20 juta tanpa proses negosiasi.

Dalam prosesnya, semua berjalan lancar.

Ahok menunjukkan maket bangunan RS Sumber Waras (Liputan6.com/Ahmad Romadoni)

Petaka RS Sumber Waras pun bermula ketika Badan Pemeriksa Keuangan melaporkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK terhadap laporan keuangan Pemprov DKI tahun anggaran 2014 pada Juli 2015.

Saat itu, rapor keuangan Pemprov DKI Jakarta wajar dengan pengecualian (WDP). BPK pun menyoroti beberapa temuan dugaan penyimpangan. Salah satunya pengadaan tanah RS Sumber Waras yang dinilai tanpa proses pengadaan yang sesuai prosedur.

BPK pun kemudian menginvestigasi temuan itu, dan hasilnya diserahkan ke KPK. Temuan itu menunjukkan adanya indikasi kerugian negara Rp 191 miliar setelah membeli lahan dari Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) Rp 800 miliar.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini