Sukses

Komnas HAM Tolak Perppu Hukuman Kebiri Penjahat Asusila

Komnas HAM memandang, perlu adanya mekanisme hukuman bagi pelaku kejahatan seksual.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan asusila terhadap anak. Perppu itu saat ini tengah disiapkan Presiden Joko Widodo.

"Kami menolak terbitnya Perppu kebiri ini," ujar Wakil Ketua Interna‎l Komnas HAM, Siti Noor Laila‎ di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (15/2/2016).

Siti menerangkan, dalam draf Perppu yang didapat pihaknya, disebutkan pemberian hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dengan obat atau kimiawi. Meski demikian, hukuman itu terlalu keji dan tidak manusiawi.

Di satu sisi, lanjut Siti, Komnas HAM memahami kejahatan asusila terhadap anak sudah mencapai titik luar biasa. Komnas HAM juga disebutnya memahami pemerintah perlu mengambil langkah yang luar biasa untuk mengatasi masalah tersebut.

"Namun Komnas HAM mengingatkan, perkembangan peradaban menuntun agar penghukuman tetap dilakukan dengan manusiawi dan diupayakan menjadi sebuah mekanisme rehabilitasi agar seseorang dapat kembali menjadi manusia yang utuh," ucap dia.

Karena itu, Komnas HAM memandang, perlu adanya mekanisme hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, baik cara maupun tujuannya, tetap harus berpedoman pada hak asasi manusia.

Pemberian hukuman kebiri secara manusiawi dapat dikualifikasi sebagai hukuman keji dan tidak manusiawi. Siti melihat, hukuman itu tidak sesuai dengan konstitusi dan komitmen Indonesia dalam bidang HAM.

Siti mengungkapkan, ketentuan Pasal 28G ayat 2 UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.

"Indonesia juga telah mengesahkan‎ konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia melalui UU Nomor 5 tahun 1998," kata Siti.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tak Jamin Diulangi

Koordinator Sub Komisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga mengatakan, dalam draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai hukuman kebiri bagi kejahatan seksual terhadap anak, disebutkan hukuman itu merupakan hukuman tambahan selain hukuman pidana.

"Dalam draf, hukuman kebiri ini hukuman tambahan selain hukuman penjara‎," ujar Sandra di Kantor Komnas HAM, Jakarta.

Sandra menilai, hukuman kebiri secara kimiawi itu sifatnya temporer alias sementara, yang diberikan untuk menurunkan hormon testoteron pada pelaku. Sehingga, ketika efek kimia itu hilang, maka hormon testoteron itu kembali lagi.

"Siapa jamin setelah dia keluar penjara dan obat kimia itu hilang, dia tidak berbuat kejahatan lagi? Kalau di dalam penjara kan justru aman, dia pasti tidak akan berbuat jahat. Tapi setelah keluar penjara itu siapa yang bisa memonitor? Itu yang sulit dari sisi teknis," ucap Sandra.

Selain itu, lanjut Sandra, dalam setiap tindakan medis, semua orang berhak mengetahui dampak dari tindakan medis itu. Di samping juga yang bersangkutan harus juga menyetujui tindakan medis yang diberikan itu.

"Nah putusan pengadilan itu bisa tidak jadi rujukan untuk tindakan medis itu? Dokter umumnya tidak akan mau melakukan tindakan medis yang berasal dari putusan hukuman. Lagi pula dokter juga terikat kode etik bahwa dia tidak bisa sembarangan mengambil tindakan medis," kata Sandra.

Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Roichatul Aswidah‎ menambahkan, Perppu tentang kebiri ini sebaiknya dipertimbangkan kembali dan tidak diterbitkan. Sebab, masukan dari para dokter, ahli hukum, dan kriminolog menyatakan, sebab kekerasan seksual bukan hanya bersifat medis, namun juga psikologis dan sosial.

"Tindakan kekerasan seksual juga bukan hanya penetrasi alat kelamin semata. Dalam hal ini, selain hukuman yang berdasarkan undang-undang yang ada, yang diberikan, adalah upaya pemulihan melalui rehabilitasi secara menyeluruh, baik medis, psikologis, dan sosial dengan tetap berpedoman pada HAM," ucap Roichatul.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini