Sukses

Curhat MK ke KPK 'Tragedi' Akil Mochtar, Trauma Sampai Mau Resign

Hakim Maria mengibaratkan pemanggilan KPK itu seperti petir di siang bolong.

Liputan6.com, Jakarta - Para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pertemuan dengan pimpinan sekaligus hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pertemuan itu, sejumlah hal dibahas, termasuk curhat para hakim konstitusi mengenai penangkapan mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK‎ pada 2013.

Penangkapan Akil atas suap penanganan perkara sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten 2013‎ itu bak sebuah 'tragedi' bagi MK. Sebab benar-benar membekas dan meninggalkan rasa trauma yang mendalam. Mengingat, sejumlah hakim era Akil Mochtar menjadi ketua masih bertugas di MK di bawah pimpinan Arief Hidayat sekarang ini.

Salah satu yang trauma adalah Maria Farida Indrati. Rasa trauma Maria itu lantaran beberapa kali dipanggil oleh KPK. Sebab, dalam penanganan perkara sengketa Pilkada Lebak, Maria 1 ‎panel dengan Akil dan Anwar Usman. Maria bahkan mengibaratkan pemanggilan KPK itu seperti petir di siang bolong.

"Satu pengalaman bagi saya, kalau orang dipanggil KPK seperti geledek di siang bolong. Kita tidak tahu dipanggil sebagai apa. Semua mahasiswa, keluarga telepon saya," ujar Maria di Gedung MK, Jakarta, Rabu 6 Januari 2016.

Dia menceritakan, pemeriksaan itu benar-benar melelahkan dan begitu lama. Sudah begitu, pemeriksaan kala itu benar-benar ketat‎. Sampai-sampai dia dilarang membawa pulpen.

"Diperiksa 8 jam, padahal cuma identitas, ketik tangan lalu pakai komputer, itu lama sekali. Dan tidak boleh membawa apa-apa, termasuk pulpen. Jadi mungkin ini suatu hal pengalaman yang berharga," ucap Maria.
‎ Sejumlah hakim Mahkamah Konstitusi hadir dalam pertemuan di Gedung Mahakamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (6/1/2016). Pertemuan membahas koordinasi terkait penanganan korupsi. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ketua MK Arief Hidayat juga mengakui, MK pada 2013 mengalami keterpurukan sampai titik nadir. ‎Apalagi, sejak berdirinya MK pada 2003 silam, MK sudah mendapat prestasi 9 kali Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perihal penyerapan anggaran.

Tapi, satu-satunya keterpurukan MK pada 2013 benar-benar menjadi pengalaman luar biasa dan meninggalkan trauma mendalam bagi 8 hakim konstitusi lain saat itu. Bahkan, Arief kala itu sudah punya rencana berhenti sebagai hakim konstitusi saking traumanya.

"Hanya karena kasus 2013 kita terpuruk, kita trauma. Saya sudah mau resign sebetulnya. Itu pengalaman yang sungguh luar biasa," ucap Arief.

Eks Ketua MK Akil Mochtar saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (5/10/2015). Akil menjadi saksi persidangan Bupati Empat Lawang Budi Antoni terkait kasus suap sengketa pilkada Kabupaten Empat Lawang. (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Arief juga menyinggung mengenai penanganan sengketa pilkada atau perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHPKada) 2015 ini.‎ Meski di satu sisi, pada Mei 2014 MK dalam amar putusan uji materi telah menghapus Pasal 236 c Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait kewenangan MK mengadili sengketa pilkada.

Dalam amar putusannya itu, MK menyerahkan kepada pemerintah dan pembuat undang-undang untuk membentuk lembaga khusus yang menangani sengketa pilkada. Untuk mengisi kekosongan selama belum terbentuknya lembaga khusus itu, MK memutus penanganan sengketa pilkada tetap berada ke MK.

Putusan itu tidak terlepas dari kasus Akil Mochtar yang terlibat kasus suap penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak 2013. Karenanya, saat ini MK menangani kembali sengketa pilkada untuk memperbaiki lagi citra marwah konstitusi yang sempat jatuh ‎karena perbuatan Akil tersebut.

"Kenapa kita dalam masa transisi ini dengan rendah hati dan bangga memerima sengketa pilkada, itu didasari pada‎ adanya kesadaran bersama dari kami, bahwa kami ingin tunjukkan apa yang kami lakukan selurusnya dan seadil-adilnya," ujar dia.

"Kita tidak boleh bermain hukum untuk kepentingan kita. Ini tidak hanya bertanggung jawab pada horizontal (masyarakat) tapi juga tanggung jawab ke vertikal (ke atas)," ucap Arief.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini