Sukses

Kisah Para Petani Kakao di Lembah Grime

Tak mudah mengubah budaya petani kakao di Lembah Grime, Kabupaten Jayapura, Papua. Mereka gemar menanam kakao, tapi tak terbiasa merawat.

Liputan6.com, Jayapura - Laki-laki separuh baya dan perempuan itu keluar dari gubuk beratap rumbia dan berdinding gaba-gaba atau pelepah pohon sagu. Pagi itu Salmon Sanggrangbano dan Alfandina Sanggrangbano bersiap menuju kebun seluas sekitar 2 hektare. Pasangan suami istri ini sembari memegang parang kemudian menuruni lembah Sungai Grime di Desa Hamonggrang, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura. Di sanalah, Salmon bersama sang istri merawat dan membersihkan areal tanaman kakao milik mereka yang berjumlah sekitar 2.400 pohon.

Mereka membersihkan cabang pohon kakao yang kering, serta alang-alang dan rumput. Termasuk menebang batang pohon pisang kering dan memangkas daun kelapa kering. Selain kakao, kedua petani ini memang menerapkan sistem tumpang sari, yakni menanam pohon pisang, sagu, pinang, ubi, dan kelapa.

(Alfandina Sanggrangbano merawat dan membersihkan kebun kakao. Foto: Liputan6.com/Anri Syaiful)

"Kalau sibuk membersihkan kakao, terkadang tanaman tumpang sari tidak dipanen," ucap Alfandina kepada Liputan6.com yang pekan silam berkunjung ke Kabupaten Jayapura, yang ditulis pada Selasa (3/2/2015).  

Sementara sang suami menuturkan aktivitas di kebun dimulai sejak pukul 07.00 WIT hingga menjelang siang hari. Menurut Salmon, buah kakao yang masak berwarna merah ataupun kuning. Setelah dikupas, biji kakao kemudian dikeringkan dengan cara dijemur di bawah terik matahari.

Salmon meneruskan usaha perkebunan keluarga. Sejak tahun 1974, keluarga mereka sudah menanam komoditas unggulan Kabupaten Jayapura tersebut. "Dulu orangtua kami menanam kakao dari tanaman peninggalan perkebunan Belanda."

Kakao memang menjadi komoditas yang sangat diandalkan oleh para petani di Lembah Grime, untuk dijadikan lahan penghidupan bagi mereka.

Ia menuturkan, buah kakao bisa dipanen dalam rentang 1 atau 2 pekan sekali dengan total dalam sebulan mencapai sekitar 200 kilogram.

"Kalau dijual ke pengepul, kakao kering saat ini dihargai Rp 20.000 sampai Rp 25.000 per kilogram. Sedangkan kakao basah cuma seharga Rp 6.000 per kilogram," tutur petani berusia 54 tahun yang merupakan penduduk asli lembah Sungai Grime di Desa Hamonggrang, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura.

"Kakao basah terpaksa dijual ke tengkulak untuk menutupi kebutuhan mendesak," timpal mama (panggilan seorang ibu di Papua) yang mempunyai 9 anak tersebut.

Biasanya, menurut wanita berumur 43 tahun tersebut, kebutuhan sehari-hari diperoleh dari hasil penjualan panen tanaman tumpang sari.

"Setiap bulan tanaman pisang bisa dipanen 30 tandan. Uang yang didapat sekitar Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu," imbuh Salmon.

Menurut Salmon, hasil kakao untuk biaya anak sekolah. Sementara hasil kebun lainnya seperti sagu, ubi, dan kelapa untuk kebutuhan atau konsumsi sehari-hari keluarga mereka.

Dengan menjual biji kakao kering ditambah hasil kebun lainnya, Salmon dapat membiayai kuliah anak pertamanya di Fakultas Pertanian di sebuah perguruan tinggi swasta di Kota Jayapura hingga lulus dan kini bekerja di salah satu daerah di Pulau Jawa. Sementara 2 anaknya masih menempuh pendidikan tinggi, sedangkan 2 lainnya masih bersekolah di sekolah menengah atas.

>>Pendampingan Budidaya Kakao>>

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Pendampingan Budidaya Kakao

Pendampingan Budidaya Kakao

Salmon bersama kedua adiknya, Alfonsina Sanggrangbano (43) dan Thidores Sanggrangbano (45) membudidayakan kakao di lahan milik keluarga seluas 6 hektare. Desa mereka dapat ditempuh dengan perjalanan menggunakan mobil selama kurang lebih 2 jam dari Kota Jayapura atau sekitar satu jam dari Bandara Sentani.

Keluarga Sanggrangbano adalah bagian dari kelompok Waibano di Desa Hamonggrang yang dibentuk sejak tahun 2012. Hamonggrang termasuk desa binaan dan percontohan revitalisasi tanaman kakao yang diupayakan pemerintah setempat.

Dengan menggandeng Oxfam, lembaga bantuan internasional yang bekerja mendukung kesejahteraan petani kecil, Pemerintah Kabupaten Jayapura melalui Dinas Pertanian, melaksanakan berbagai program pelatihan dan pendampingan serta bantuan alat-alat pertanian bagi para petani di kedua desa itu.

Dalam program kewirausahaan di Papua, Oxfam bersama mitra lokal memang mendorong upaya peningkatan kesejahteraan petani kecil. Oxfam sendiri bekerja di hampir 100 negara di dunia bekerja sama dengan pemerintah setempat berupaya menghapuskan kemiskinan.

Terkait itu, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura Adolof Yoku mengungkapkan, melalui program tersebut diharapkan pengelolaan perkebunan kakao wilayahnya yang telah berlangsung selama puluhan tahun sejak zaman penjajahan Belanda, dapat dikelola secara lebih modern.

"Selama ini perkebunan kakao dikelola secara tradisional, yaitu penduduk hanya menanam tanpa melakukan perawatan sehingga hasil panen tidak optimal. Di Kabupaten Jayapura, umumnya setiap 1 hektare lahan kakao hanya menghasil 0,90 ton biji kakao," kata Adolof Yoku saat ditemui Liputan6.com di kantornya, Kabupaten Jayapura, Jumat pekan silam, 30 Januari 2015.

(Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura Adolof Yoku. Foto: Liputan6.com/Anri Syaiful)

Adolof menjelaskan, hasil tersebut jauh di bawah rata-rata nasional yang sebesar 2 ton per hektare. Sebab itu, proyek percontohan seperti di Hamonggrang dan Kwansu menjadi penting. Bila berhasil, maka bisa diduplikasi untuk diterapkan di wilayah lain.

"Seperti di Hamonggrang dan Kwansu, saat ini ada peningkatan signifikan sudah mencapai 1,2-1,3 ton per hektare. Saya harapkan nantinya angka ini bisa mendekati angka nasional. Dapat mencapai 1,7 ton per hektare saja sudah bagus," papar Adolof.

Merujuk data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan memberikan kepastian pendapatan kepada warga, Bupati Jayapura pada tahun 2006 mengeluarkan Instruksi Nomor 1 Tahun 2006 tentang Gerakan Wajib Tanam Kakao (GWTK).

Sejak itulah, Pemerintah Kabupaten Jayapura telah memberikan bantuan bibit kakao sebanyak 10,9 juta bibit kakao kepada lebih dari 12.469 KK petani yang diberikan secara bertahap. Target yang dicanangkan dalam GWTK adalah setiap petani diwajibkan memiliki luas lahan kakao minimal antara 1 hingga 2 hektare. Hasil dari kakao ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani hingga Rp 5 juta per bulan.

Adapun Cocoa Project Officer Oxfam, Siprianus Guntur mengatakan di Hamonggrang ada sekitar 22 petani binaan.

"Kelompok Waibano terdiri dari 22 petani, 11 laki-laki dan 11 perempuan. Nama Waibano dipilih karena artinya adalah matahari dan bulan." ucap Cocoa Project Officer Oxfam, Siprianus Guntur yang menjadi pendamping kelompok petani kakao di 2 distrik di Kabupaten Jayapura.

Pria berusia 45 tahun yang menetap di Papua sejak 2002 ini menuturkan, kelompok Waibano terdiri dari 2 suku besar yang ada di Hamonggrang, yaitu suku Sanggrangwai dan Sanggrangbano. Di Kampung Hamonggrang yang berpenduduk sekitar 75 kepala keluarga atau 300 jiwa ini mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, dengan luasan tanaman kakao masing-masing sekitar 1 hingga 2 hektare.

Gotong Royong dan Studi Banding

Di Hamonggrang, imbuh Siprianus, kelompok secara bergiliran bekerja di kebun milik anggotanya selama 2 kali seminggu setiap hari Kamis dan Sabtu selama 2 jam, yaitu dari jam 8 hingga jam 10 pagi. Pekerjaan gotong royong kelompok antara lain membersihkan kebun, membuat lubang kecil di sepanjang jalur penanaman Kakao untuk memasukkan daun-daun yang jatuh ke dalam lubang tersebut. Sumber airnya berasal dari sumur gali sedalam 3-4 meter atau mengambil air dari sungai.

Untuk lebih mempelajari budidaya tanaman cokelat, pada Maret 2013, 2 anggota kelompok Waibano juga berkesempatan studi banding di Jember, Jawa Timur. Mereka mempelajari cara mengembangkan budidaya tanaman kakao yang baik.

Dengan tambahan ilmu tersebut, para petani kakao di Desa Hamonggrang kemudian mulai bergerak membenahi kebun mereka.

Kini, wilayah Desa Hamonggrang bersama Desa Kwansu di Distrik Kemtuk, menjadi lahan percontohan bagi perkebunan kakao di Kabupaten Jayapura. Desa Kwansu berbatasan dengan Hamonggrang. Sungai Grime melintasi Hamonggrang dan Kwansu, sedangkan kebun kakao milik warga berada di sisi kanan kiri sungai tersebut.

Ada 5 suku di Desa Kwansu, yaitu Suku Bano, Yaram, Waru, Bemey dan Kwano. Warga Kwansu rata-rata menggunakan bahasa Sano untuk berkomunikasi. Penduduk Kwansu ada 47 KK atau 400 jiwa. Luas lahan kakao di desa tersebut sekitar 1.537 hektare.

(Diskusi kelompok petani kakao di Desa Kwansu, Distrik Kemtuk, Kabupaten Jayapura, Papua. Foto: Liputan6.com/Anri Syaiful)

Di Desa Kwansu ada 50 petani binaan yang terbagi dalam 2 kelompok, yakni Mabuma I dan Mabuma II. Para petani di Kwansu menanam kakao dengan luas areal bervariasi antara 0,5 hingga 2 hektare.

Seperti di Hamonggrang, menurut Isak Usmani salah satu petani kelompok Mabuma II, mereka mendapat pendampingan cara merawat dan membudiyakan kebun kakao dengan baik.

"Untuk meremajakan tanaman kakao, kami juga diajari teknik sambung batang dan sambung pucuk," ujar Isak, petani berusia 40 tahun tersebut.



(Isak Usmani memeragakan teknik sambung samping. Foto: Liputan6.com/Anri Syaiful)

Menurut Isak, peremajaan tanaman kakao di Desa Kwansu adalah penting. Sebab, sebagian pohon kakao milik warga dibiarkan saja hingga tingginya bisa mencapai 6-7 meter, sehingga lebih mirip seperti hutan kakao ketimbang kebun kakao. Padahal, syarat budidaya kakao, idealnya tinggi tanaman kakao mencapai 2-3 meter saja agar mudah dipanen dan dipangkas.

>>Hama dan Jembatan Putus>>

3 dari 5 halaman

Hama dan Jembatan Putus

Hama dan Jembatan Putus

Sementara petani kakao yang juga asal Kwamsu, Melky Waru mengatakan, serangan hama dan penyakit sempat melanda tanaman mereka. Hama berupa penggerek buah dan batang, serta penyakit buah busuk.

"Serangan (hama) paling buruk pada tahun 2008, 2009, dan 2010," timpal Isak. Serangan hama selama 3 tahun berturut-turut itu merusak sekitar 19 ribu hektare tanaman kakao milik penduduk di Lembah Grime.

(Buah kakao busuk di pohon. Foto: Liputan6.com/Anri Syaiful)

Tak hanya hama, rintangan lain yang dihadapi para petani kakao di Kabupaten Jayapura adalah belum adanya jembatan penghubung desa mereka dengan Sungai Grime. Padahal di seberang sungai, lahan kakao mereka terhampar di sana.

Adik Salmon, Thidores Sanggrangbano menuturkan, warga Hamonggrang maupun Kwansu saat ini sangat membutuhkan jembatan untuk bisa bekerja dengan baik, terutama mengangkut hasil panen di lahan mereka yang sebagian besar berada di seberang Sungai Grime.

Terlebih, imbuh Thidores, banjir bandang sewaktu hujan dapat merusak tanaman kakao seluas sekitar 50 hektare milik warga. Selain itu, Sungai Grime masih terdapat buaya yang mengancam warga saat hendak menyeberangi sungai.

"Jembatan putus sewaktu banjir bandang pada tahun 2003 dan sampai sekarang belum dibangun lagi," tutur Thidores.

Rintangan seperti itu dibenarkan sang adik, Alfonsina Sanggrangbano. Ketika banjir datang, mereka terpaksa menyeberang dengan rakit sederhana dari batang pisang. Ini jelas berbahaya.

"Kalau memuat 2 karung saja isi masing-masing 50 kilogram biji kakao, rakit bisa terbalik. Biji kakao hanyut, hasil panen hilang begitu saja," beber Alfonsina.

(Alfonsina Sanggrangbano dan Sungai Grime, Kabupaten Jayapura, Papua. Foto: Liputan6.com/Anri Syaiful)

Menurut Alfonsina, warga sudah sejak lama menyampaikan keluhan mereka tersebut. Namun belum ada tanggapan dari pemerintah setempat.

Di tempat terpisah, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura Adolof Yoku menyatakan sudah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum untuk memasukkan proyek jembatan di Hamonggrang itu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

"Kami sudah berkoordinasi dan terakhirnya sebenarnya sudah dimasukkan dalam RPJMD tingkat distrik dan ini akan kami dorong untuk masuk RPJMD Kabupaten. Mereka sudah janji akan membangun jembatan ini secepat mungkin," ucap Adolof.

Bila benar demikian, para petani di lembah Sungai Grime tentu patut bersyukur. Mereka tak akan khawatir lagi terhadap keselamatan jiwa dan risiko hasil panen kakao hanyut.

>>Asal Mula Kakao di Jayapura>>

4 dari 5 halaman

Asal Mula Kakao di Jayapura

Asal Mula Kakao di Jayapura

Walau penduduk lembah Sungai Grime telah puluhan tahun mengenal pohon cokelat, kakao bukanlah tanaman asli dari Indonesia. melainkan dari hulu Sungai Amazon di Amerika Selatan. Bangsa Spanyol yang pertama membawa tanaman tersebut ke Indonesia pada tahun 1560 ke Minahasa, Sulawesi Selatan.

Merujuk data Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2012, ada 3 daerah penghasil kakao di Indonesia, yaitu Sulawesi Selatan (988.309 ha, 448.344 ton), Sumatera (377.032 ha, 166.609 ton) dan Papua serta Maluku (107.641 ha, 33.568 ton).

Di Papua, tanaman ini dibawa oleh Belanda pada 1955 dan ditanam di beberapa daerah di Papua, termasuk di Kabupaten Jayapura. Lahan produksi untuk Provinsi Papua hingga tahun 2012, yaitu 34.400 ha dengan hasil 9.530 ton.

(Di dekat Danau Sentani atau di balik pegunungan Cyclops, terhampar kebun kakao. Foto: Liputan6.com/Anri Syaiful)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Papua tahun 2012, Kabupaten Jayapura terdiri dari 19 distrik dengan luas 4,537,9 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 119,117 jiwa. Sementara merujuk data Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura tahun 2014, luas area tanaman kakao adalah 14.588 hektare, dengan produksi yang tercatat hingga Agustus 2014 yaitu 8.389 ton yang dihasilkan dari 14.762 petani. Distrik Kemtuk Gresi, Nimbokrang dan Kemtuk adalah 3 distrik penghasil kakao terbesar di Kabupaten Jayapura.

Dari sejak ditanam, kakao dapat dipanen dalam waktu 3 tahun. Ketika pohon kakao berbuah, proses pematangan buahnya bisa mencapai 6 bulan. Kendati demikian, panen kakao tidak mengenal musim, sehingga petani dapat panen setiap bulan atau mingguan. Pohon kakao dapat bertahan hingga umur 20 tahun, setelah itu perlu diganti.

Dari Hutan Kakao Jadi Kebun Kakao

Tidak mudah memang meremajakan ataupun memodernisasi perkebunan kakao di Papua, terutama di Kabupaten Jayapura.

Mantan Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura, Ganefo mengatakan, selain hambatan teknis, dan sumber daya manusia, ada juga hambatan budaya.

(Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura Adolof Yoku. Foto: Liputan6.com/Anri Syaiful)

"Di Papua, masyarakat memang senang menanam apa saja termasuk kakao. Hal itu dilakukan untuk menandai wilayah. Umumnya setelah ditanam akan ditinggal begitu saja tanpa perawatan dan mereka baru akan kembali setelah ada hasil untuk dipanen," ucap Ganefo, Jumat pekan silam, 30 Januari 2015.

Inilah sebabnya, lanjut Ganefo, perkebunan kakao di Tanah Papua tidak dapat menghasilkan panen yang optimal seperti wilayah lain di Tanah Air, misalnya Sulawesi Selatan.

"Mengubah perilaku atau budaya seperti itu memang sulit. Para penyuluh pertanian harus mengubah cara pandang masyarakat dari hutan kakao menjadi kebun kakao," kata Ganefo.

Lantaran itulah, para petani kakao harus diberikan pendampingan. Selain memberikan pelatihan, kita harus berikan pendampingan, jika tidak, maka mereka akan kembali lagi ke pola lama," urai Ganefo.

Dijelaskan Ganefo, melalui pola perkebunan lebih baik, para petani kakao diajarkan cara menanam dengan teknik budidaya yang benar. Mulai dari pola tanam, jarak tanam, melakukan peremajaan tanaman, dan perawatan tanaman. Dengan demikian, kakao bisa menjadi produk andalan yang bisa menyejahterakan masyarakat di Papua, khususnya Kabupaten Jayapura.

Ini mengingat harga biji kakao kering sekarang terhitung bagus, yakni di kisaran Rp 27.000 - Rp 28.000 per kilogram. "Saya optimis program ini bisa berhasil dan nantinya dapat diterapkan di kawasan lain," kata pria yang belum lama ini dipromosikan menjabat Kepala Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura tersebut.

>>Potensi dan Prospek>>

5 dari 5 halaman

Potensi dan Prospek

Potensi dan Prospek

Berbicara soal kualitas, biji kakao Papua tergolong sangat baik. Menurut peneliti asal Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Drs I Made Budi, M.Si, biji kakao Papua di atas kualitas biji kakao yang dikembangkan di wilayah lain di Indonesia.

"Rendemen (persentase produk yang dihasilkan dibanding dengan bahan baku yang terolah) biji kakao Papua misalnya bisa mencapai 30-35%," ungkap Budi ketika disambangi Liputan6.com di kediamannya di Jayapura, Jumat pekan silam, 30 Januari 2015.

Ia mencontohkan, sebanyak 100 kg biji kakao Papua dapat menghasilkan sekitar 30-35 kilogram lemak kakao.

"Produk kakao paling bernilai adalah lemak kakao. Sebab bisa diolah menjadi berbagai produk turunan mulai dari makanan sampai kosmetika," papar Budi.

Sementara biji kakao dari wilayah lain di Indonesia hanya bisa menghasilkan antara 20-25 kilogram lemak kakao. Inilah yang membuat staf pengajar di Fakultas MIPA Uncen tersebut turut membantu petani kakao di Kabupaten Jayapura membudidayakan tanaman penghasil cokelat yang oleh orang Yunani disebut 'santapan para dewa'.

(I Made Budi dan mesin pengolahan cokelat hasil inovasinya. Foto: Liputan6.com/Anri Syaiful)

Tak hanya itu, I Made Budi mengembangkan mesin pengolahan, mulai dari biji kakao kering hingga produk cokelat. Ia berharap mesin-mesin sederhana tersebut dapat diduplikasi para perajin kakao untuk bisa menghasilkan produk olahan kakao di Papua.

Ia pun sangat mendukung program peningkatan kemampuan budidaya bagi para petani kakao oleh Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura bekerja sama dengan Oxfam itu. "Itu merupakan suatu hal sangat bagus," pungkas I Made Budi.

Senada dengan I Made Budi, Wakil Direktur Oxfam Indonesia Aloysius Suratin juga menilai petani kakao di Kabupaten Jayapura, memiliki prospek yang baik.

"Para petani memiliki prospek ke depan karena saat ini mereka sudah memiliki kapasitas. Mereka juga sudah punya jaringan dengan penyuluh," ujar Aloysius saat ditemui Liputan6.com di Jakarta, Minggu 1 Februari 2015.

(Wakil Direktur Oxfam Indonesia Aloysius Suratin. Foto: Liputan6.com/Anri Syaiful)

Dengan memiliki jaringan penyuluh, menurut Aloysius, mereka bisa menemukan jawaban atas persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Terlebih, selama ini para petani kakao di Kabupaten Jayapura telah mendapat pendampingan dan bimbingan dari Oxfam dan dinas terkait.

Selain itu, imbuh Aloysius, prospek itu terbangun karena pemerintah daerah setempat punya program pembibitan kakao. "Jadi kalau para petani memerlukan bibit kakao, bisa juga menghubungi pemerintah daerah setempat," urai Alyosius yang mengawasi program kewirausahaan petani kecil di Papua yang dijalankan Oxfam.

Ia menambahkan, Program Papua Enterprise Development (PDEP) yang dijalankan Oxfam beserta mitra lokal dan dinas terkait juga mengembangkan Forum Kakao. "Forum di mana semua stakeholder (pemangku kepentingan) kunci yang terkait dengan pengembangan kakao dari dinas provinsi dan kabupaten duduk bersama."

Dengan adanya forum tersebut, imbuh Aloysius, para petani kakao dapat memanfaatkannya. Terutama, mendiskusikan persoalan-persoalan terkait budidaya kakao di Papua.

(Contoh hasil panen kakao yang melimpah. Foto: Liputan6.com/Dio Pratama)

Harapan yang sama boleh jadi digantungkan para petani kakao di Lembah Grime, Kabupaten Jayapura. Bila berhasil membudidayakan tanaman kakao, mereka dapat meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. (Ans/Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.