Sukses

Jokowi Diminta Tidak Pilih Jaksa Agung Berlatar Belakang Politisi

Dari kalangan internal Kejaksaan Agung muncul calon kuat di antaranya Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung Andhi Nirwanto, Jamidsus Widyo Pram

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Jaksa Chaerul Imam menyarankan, sebaiknya Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak memilih Jaksa Agung yang berasal dari parpol, meski berlatar belakang jaksa. Sebab, Jaksa Agung yang berasal dari parpol rentan terjadi konflik kepentingan dalam penanganan kasus.

"Nah kalau begitu, maka kasus yang mengenai partainya bisa di hentikan, (SP3)," kata Chairul dalam sebuah diskusi bertema Polemik Calon Jaksa Agung asal Parpol di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (2/10/2014).

Chairul juga menyarankan Presiden Jokowi, pemilihan jaksa sebaiknya dari kalangan internal atau eksternal Kejaksaan Agung, namun bukan berlatar belakang dari parpol. Hal itu agar pemberantasan korupsi dapat berjalan lancar.

"Kalau Jokowi ingin melancarkan kerjanya harus orang dalam," sambung mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung itu.

Chairul yang mengabdi di korps Adhiyaksa selama 38 tahun itu menambahkan, Kejaksaan Agung pernah memilih orang yang berlatar belakang parpol. Namun, begitu ada kasus yang menyangkut parpol, kasus yang ditanganinya dihentikan alias (SP3).

"SP3 itu kewenanganan Jaksa Agung. Jadi waktu itu, beliau diundang datang iseng, salah seorang tanya, 'bapak selama jadi Jaksa Agung SP3 nggak 13 kasus?" ujar dia menceritakan tanpa menyebut nama Jaksa Agung tersebut.

Sementara Chairul selama mengabdi di kejaksaan, menghentikan kasus 1 kali. Namun itu atas usul dan perintah atasan. "Ini baru 2 tahun sudah SP3 kan 13 kasus. Ini jangan terjadi."

"SP3 memang jalan hukum, tapi kita harus berhati-hati. Meski pun sudah di-SP3 suatu hari bisa dibuka lagi," ungkap dia.

Chairul menegaskan, di seluruh dunia Jaksa Agung adalah Penuntut Umum tertinggi. Di Pasal 1 KUHAP disebutkan, penuntut umum adalah jaksa. Di UU Kejaksaan juga dikatakan, jaksa adalah seorang sarjana hukum yang lulus dari pendidikan pelatihan pembentukan jaksa.

"Kalau dilihat dari situ, Penuntut Umum tertinggi, kalau bukan jaksa ya tidak legitimate," tandas dia.

Bukan Pensiunan

Selain itu, Chairul juga menyarankan agar Presiden Jokowi, lebih baik memilih Jaksa Agung difinitif dari kalangan internal Kejaksaan Agung yang masih aktif, dan bukan pensiunan. "Jangan yang pensiunan, tapi masih segar badannya, memenuhi syarat yuridis dan nonyuridis," kata Chaerul.

Chairul menceritakan, setelah reformasi Kejaksaan Agung pernah mendapat Jaksa Agung yang tak mengerti Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Sehingga membuat stafnya kerepotan. Maka itu, perlu Jaksa Agung dari kalangan  internal.

"Ya, selain mengerti anatomi, seluk beluk penegakan hukum, Jaksa Agung juga harus tahu budaya maupun kultur kejaksaan. Kalau tidak tahu dia akan payah juga," ungkap dia.

Cahirul menilai, pola pemerintah memilih Jaksa Agung berbeda dengan pemilihan menteri di kabinet, sebab kinerjanya berbeda. Apalagi pola kerja menteri itu gerak langkahnya politis.

"Contoh Menteri Pertahanan, menentukan politik pertahanan di negeri ini, Menteri Kesehatan menentukan penyakit mana yang harus diberantas serta Menkum HAM, tugasnya menentukan apa yang diutamakan untuk membuat Undang-undang," ungkap dia.

Sehingga pertanyaannya, lanjut Chairul, kenapa harus sama padahal pola kerja Jaksa Agung dan menteri berbeda. Kalau Kejaksaan Agung, tidak menentukan politik hukum.

"Tapi, melaksanakan protokol penegakkan hukum. Pelaksanaan hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sidang, sampai eksekusi. Terlihat dari sini kerja seorang Jaksa Agung dan menteri itu beda," ucap pria yang telah mengabdi selama 38 tahun di Kejaksaan Agung itu.

Menurut Chairul, gerak kerja para menteri itu langkahnya politis, untuk tataran teknis yang kerja adalah Direktur Jenderal. Sedangkan di Kejaksaan teknisnya ditentukan Jaksa Agung.

"Eselon I atau Jaksa Agung Muda dia bukan decision maker (pembuat keputusan). Kalau di kementerian, eselon I itu decision maker. Karena gerakan teknis, Jaksa Agung harus tahu anatomi Kejaksaan, penegakkan hukum," tandas Cahairul.

Sudah 2 pekan sudah Presiden Jokowi dilantik atau sejak 20 Oktober lalu, namun belum juga mengumumkan Jaksa Agung. Tarik ulur mencari posisi Jaksa Agung disebut-sebut semakin banyak bermunculan.

Dari kalangan internal Kejaksaan Agung muncul nama kuat Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung Andhi Nirwanto, Jamidsus Widyo Pramono, Kajati Jawa Barat Ferry Wibisono, Staf Ahli Jaksa Agung Farid Haryanto.

Kemudian Ketua PPATK M Yusuf, mantan Jamwas Marwan Effendi dan mantan Jampidum 2006 H M Prasetyo. Prasetyo saat ini kader Partai Nasdem yang juga anggota DPR dari partai besutan Surya Paloh.

Sedangkan dari eksternal muncul nama mantan Ketua PPATK Yunus Husein, mantan anggota UKP4 Mas Achmad Sentosa serta Politisi PDI-Perjuangan Trimedja Panjaitan. (Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.