Sukses

Komnas PA: Kekerasan Anak SD di Sumbar Karena Pembiaran Sekolah

Menurut Ketua Komnas PA, harusnya guru maupun kepala sekolah bisa mendeteksi apa pun yang terjadi di lingkungan sekolah, termasuk kekerasan.

Liputan6.com, Jakarta - Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan, SDS Trisula Perwari Bukit Tinggi, Sumatera Barat, harus bertanggung jawab atas kekerasan siswa terhadap siswi di sekolahnya. Sebab, ada pembiaran pihak sekolah hingga penindasan terjadi di ruang kelas.

"Terjadinya kekerasan sekolah dikarenakan terjadinya pembiaran. Itu lah yang harus dihukum, pihak-pihak yang melakukan pembiaran. Bukan pelakunya yang dihukum secara pidana atau dikeluarkan dari sekolah," kata Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (15/10/2014).

Menurut Arist, seharusnya baik guru maupun kepala sekolah bisa mendeteksi apa pun yang terjadi di lingkungan sekolah. Apalagi kasus kekerasan siswa di sekolah bukan lah hal baru, sehingga pihak sekolah lebih waspada dan mengawasi para siswanya untuk menghindari penindasan di sekolah mereka.

"Sangat ironis lingkungan sekolah, pejabat terkait di Sumatera Barat termasuk kepala sekolah dan dinas pendidikan tidak tahu peristiwa itu. Karena hal seperti ini bukan kasus yang baru," tegas Arist.

Arist menambahkan, sepanjang 2013 berdasarkan data Komnas PA, ada 3.379 kasus kekerasan di sekolah. Sebanyak 16% atau 565 kasus, di antaranya pelaku kekerasan itu anak-anak. Pada awal semester 2014, ada 1.626 kasus kekerasan terhadap anak, 26% atau 455 kasus di antaranya pelaku kekerasan adalah anak-anak.

"Ini kan artinya ada kenaikkan. Kalau dilihat angka-angka ini tidak terkejut," jelas Arist.

Ada Kontribusi Orangtua dan Lingkungan

Arist menilai, kekerasan siswa SD tersebut juga tak lepas adanya pengaruh dari orangtua. Selain orangtua, juga akibat pengaruh lingkungan di sekitarnya, seperti guru, tokoh masyarakat dan lainnya.

"Bisa jadi ada kontribusi dari orangtua, guru, tokoh masyarakat, tokoh ormas yang sehari-hari mereka lihat dan mereka tonton. Sehingga anak meniru perbuatannya," kata Arist.

Selain itu, kata Airst, penyebabnya bisa juga akibat tayangan televisi yang menampilkan adegan kekerasan. Maka, jangan sampai anak-anak pelaku kekerasan disalahkan dalam kasus ini. Sebab, mereka kemungkinan besar hanya meniru tindakan kekerasan yang mereka lihat. Padahal anak-anak belum mampu mencerna dan memilah hal-hal buruk dengan baik.

Sebab itu, diperlukan peran orangtua dan guru untuk membimbing anak-anaknya. Memberi pemahaman kepada mereka bahwa tindakan kekerasan yang mereka lakukan sangat tidak pantas. Mereka harus meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi kesalahannya.

"Keluarga korban dengan keluarga pelaku duduk bersama, supaya anak yang jadi pelaku ini diberitahu dan diperingati kalau tindakannya itu salah. Dia (pelaku) harus minta maaf kepada keluarga korban. Selain itu untuk korban juga seharusnya dilakukan terapi psikologis, karena korban ini pasti trauma. Butuh psikolog turut serta juga," jelas Arist.

Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan video aksi kekerasan yang dilakukan sejumlah siswa sekolah dasar (SD) yang diunggah ke Komunitas Vines Indonesia di Facebook. Dalam video yang berdurasi 1 menit 53 detik itu, terlihat beberapa siswa yang mengenakan seragam merah putih itu, memukuli siswi yang berada di sudut ruangan kelas.

Para siswa memukuli dan menendang dengan bertubi-tubi. Sementara, siswi yang menjadi korban pemukulan tersebut hanya terlihat meringis kesakitan dan menangis di sudut ruangan. Namun, tidak ada satu pun temannya berusaha menolong siswi tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.