Sukses

Sigma: Perppu Pilkada SBY Bermasalah

SBY telah menerbitkan dan menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait pelaksanaan Pilkada.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menerbitkan dan menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah, yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Perppu itu sekaligus mencabut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serta Perppu Nomor 2 Tahun 2014 yang isinya menghapus kewenangan DPRD untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah.

Akan tetapi, menurut Direktur Sinergi Masyarakat untuk Indonesia (Sigma) Said Salahudin, yang diterbitkan Presiden SBY tersebut bermasalah.

"Perppu SBY bermasalah. Pertama, penerbitan Perppu itu menunjukkan sikap inkonsistensi Presiden. Sebab, SBY sebetulnya telah menyatakan persetujuannya terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), baik secara materiil maupun formil," tutur Said kepada Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (11/10/2014).

Menurut Said, persetujuan materiil Presiden ditunjukkan dengan tidak adanya penolakan SBY terhadap materi UU Pilkada yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Saat itu, Mendagri Gamawan Fauzi yang ditugasi oleh Presiden SBY menghadiri rapat paripurna dan diberikan kesempatan oleh DPR untuk menyampaikan sikap Presiden, tidak menyatakan penolakan Presiden terhadap UU itu.

Terkait persetujuan formil Presiden, Said menjelaskan dengan ditandatanganinya UU a quo oleh SBY serta diundangkannya UU tersebut oleh pembantu Presiden, yaitu Menkumham Amir Syamsudin membuktikan SBY menyetujuinya.

"Jadi, seandainya Presiden SBY sungguh-sungguh menginginkan Pilkada secara langsung, maka caranya bukan dengan menerbitkan Perppu, melainkan dengan cara menolak pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada dalam rapat paripurna DPR," ungkap Said.

Permasalahan yang kedua, lanjut Said, motif penerbitan Perppu Pilkada tidak selaras dengan kehendak konstitusi. Sebab, penerbitan Perppu oleh SBY lebih didasari karena adanya perbedaan pandangan politik, antara Presiden yang menginginkan Pilkada langsung dan DPR yang menginginkan Pilkada melalui DPRD.

"Padahal, perbedaan sikap politik antara eksekutif dan legislatif seharusnya tidak dijadikan sebagai alasan penerbitan Perppu untuk membatalkan UU. Merujuk putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, Perppu hanya diperlukan apabila terdapat keadaan atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) atau UU yang ada dianggap tidak memadai, serta untuk mewujudkan kepastian hukum," imbuh dia.

Said melihat penerbitan Perppu oleh SBY bisa dibilang hendak melemahkan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU. "Jadi, tidak sepantasnya Presiden menggunakan Perppu sebagai alat untuk mengalahkan UU yang pembentukannya menjadi kekuasaan DPR. Dalam koteks ini, kekuasaan DPR harus dimaknai lebih kuat daripada Presiden. Lebih dari itu, motif penerbitan Perppu yang dilandasi oleh adanya perbedaan pandangan politik dapat menjadi preseden buruk," terangnya.

Permasalahan ketiga, penerbitan Perppu Pilkada oleh Presiden justru berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum. Said menuturkan, dalam hal Perppu dimaksud mendapatkan penolakan dari DPR, maka menurut pasal 52 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

"Permasalahannya, Presiden Jokowi yang nantinya menggantikan Presiden SBY mungkin saja tidak mau memberikan persetujuannya terhadap penetapan RUU tentang pencabutan Perppu Pilkada. Padahal, setiap RUU harus mendapat persetujuan bersama DPR dan Presiden agar bisa ditetapkan menjadi UU," papar dia.

"Nah, di sinilah muncul potensi ketidakpastian hukum karena tidak mustahil akan terjadi deadlock. Agar permasalahan Perppu Pilkada nantinya tidak menjadi perseteruan politik antara DPR dan Presiden yang bisa berdampak kepada ketidakpastian hukum penyelenggaraan Pilkada tahun 2015," tutur Said.

Said juga menambahkan, lebih tepat jika Perppu Pilkada tersebut diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum dimulainya masa persidangan DPR bulan Januari 2015. "Sebagai lembaga peradilan, MK sudah barang tentu terbebas dari kepentingan politik, sehingga dapat diandalkan untuk mencari solusi atas permasalahan Perppu itu," tandas Said. (Tnt)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini