Sukses

Ini Pandangan SBY Soal Konstelasi Politik Hingga RUU Pilkada

Di YouTube, SBY yang akan mengakhiri jabatan sebagai presiden angkat bicara mulai dari konstelasi politik hingga polemik RUU Pilkada.

Liputan6.com, Jakarta - Video wawancara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono kembali diunggah melalui YouTube. Kali ini SBY yang bulan depan akan mengakhiri jabatan sebagai presiden angkat bicara mulai dari konstelasi politik hingga polemik Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada).

Dalam wawancara yang dipandu Michello Loebis dari Suara Demokrat, hal pertama yang dikemukakan SBY adalah soal konstelasi politik dalam negeri.

Politik Ada Batas-batasnya

"Tergantung apakah ketika nanti Pak Jokowi (Joko Widodo) sudah betul-betul memimpin negeri ini, setelah 20 Oktober mendatang, ada tidak rekonsiliasi dari kubu Pak Jokowi dengan kubu Pak Prabowo (Prabowo Subianto). Meskipun saling kritisi satu sama lain, tetapi ada batas-batas dalam politik yang dimainkan. Maka yang dikhawatirkan oleh banyak pihak itu bisa dicegah," ucap SBY seperti dikutip Liputan6.com dari akun Suara Demokrat di YouTube, Senin (15/9/2014) dini hari.

"Tetapi kalau yang dianut politik marah dan dendam 7 turunan itu bisa terjadi. Oleh karena itulah saya berkali-kali mengingatkan, politik itu keras. Kompetisi itu menghasilkan kalah dan menang. Tapi kan tidak segalanya. Ada kalanya kalah sekarang, tapi menang di hari kemudian," ujar SBY.

Menurut SBY, mengkritik itu tidak sama dengan menghancurkan atau menggagalkan. "Saya sendiri punya pengalaman selama 10 tahun. Ada kekuatan politik yang konsisten memusuhi saya. Menyerang dan kalau bisa menggagalkan. Nah, apa yang saya alami itu mudah-mudahan tidak dialami Pak Jokowi," imbuh SBY.

SBY pun menekankan bahwa politik itu ada batas-batasnya. "Kalau tidak, demokrasi kita koyak. Kalau politik gaduh dan tidak stabil, siapa yang menderita? (Ya) rakyat. Kita tidak bisa membangun dan ekonomi tidak bisa tumbuh lagi dan sebagainya," kata SBY.

Lantaran itulah, SBY mengimbau kedua kubu elite politik bisa bersikap secara konstruktif. "Saya pun berharap jangan 'Bharata Yudha 'yang terjadi," imbau SBY.

Bersambung: Posisi SBY dalam RUU Pilkada

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Posisi SBY dalam RUU Pilkada

Tak hanya soal konstelasi kekuatan politik dalam negeri, SBY juga memberikan pandangan soal RUU Pilkada.

"Begini, saya khawatir kalau voting pada tingkat parlemen sudah pokoknya yang satu kubu A pokoknya satu kubu B, orang bahkan katakan ini sudah peperangan harga diri, pokoknya yang sana mengatakan A pasti yang di sini tidak setuju. Pertanyaan saya, apakah begitu?" urai SBY.

Dalam pandangan SBY, buat melahirkan undang-undang untuk kepentingan rakyat, tidak perlu seperti itu. Ia pun memaparkan 2 aspek penting dalam RUU Pilkada.

Hal pertama, sistem pilkada langsung ini sudah berjalan selama 10 tahun dan segaris dengan sistem presidensiil (presidensial), di mana presiden dipilih secara langsung. Berbeda dengan sistem parlementer dipilih melalui parlemen.

"Dengan demikian kalau kita kembali pada pilihan kita buah dari reformasi yang kita jalankan selama ini tentunya pilihan kepala daerah langsung itu mesti kita jaga dan pertahankan," tutur dia.

Sedangkan aspek kedua lanjut SBY, kenyataannya selama 10 tahun itu banyak sekali ekses yang terjadi dari pilkada langsung. Semisal banyak ditengarai politik uang, konflik horizontal, kekerasan, bakar-membakar karena jagonya kalah, sebagai ekses pilkada langsung.

"Oleh karena itu muncul sudah kita sekarang ubah yang tadinya langsung menjadi tidak langsung, biarkan pemilihan presiden saja yang langsung," imbuh SBY.

Menyoal posisi Partai Demokrat dan SBY, dia mengatakan bahwa dirinya sedang berpikir keras. Misalnya bagaimana kalau masih mempertahankan sistem pemilhan langsung, tapi penyakit dan dampak yang tak sedikit itu dicegah dan dihilangkan dalam pasal-pasalnya.

Umpamanya, bagi yang melaksanakan kekerasan horizontal, dalam UU secara eksplisit menyebut yang bertanggung jawab ditindak secara hukum. "Membiarkan saja konstituennya ngamuk, marah, membakar dia kena secara hukum," kata SBY mencontohkan.

"Kami sedang memikirkan seperti itu, langsung tapi pengalaman buruk selama 10 tahun kita wadahi dalam undang-undang yang baru nanti," tukas Presiden ke-6 RI tersebut.

Menurut SBY, bila ada varian dalam UU itu, apa mungkin kalau gubernur karena merupakan wakil pemerintah pusat dipilih secara tidak langsung. Sedangkan bupati dan walikota tetap dipilih secara langsung. "Sistem apa pun ada plus dan minusnya," tukas SBY

"Mudah-mudahan satu dua hari ini kami mempunyai posisi yang tepat karena kami harus jernih dan rasional, dan kami tidak akan ikut-ikutan pokoknya kalau ini A ini B, kalau ini satu, ini dua. Tidak boleh seperti itu," pungkas SBY yang menjabat presiden selama 2 periode, 2004-2014.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.