Sukses

KPK: Pilkada Lewat DPRD Timbulkan Korupsi Demokrasi

Bambang juga mangatakan, rakyat seharusnya dapat berpikir kritis terhadap‎ RUU Pilkada yang saat ini dibahas DPR.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengomentari polemik penyelenggaraan pemilu kepala daerah (pilkada) yang belakangan ramai diwacanakan dikembalikan pemilihannya melalui DPRD. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada).

"Demokrasi langsung yang mengedepankan prinsip dari-untuk-oleh rakyat didekonstruksi oleh sebagian wakil rakyat yang secara faktual punya kepentingan asismetris dengan kehendak sebagian besar rakyat," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, melalui pesan tertulisnya di Jakarta, Rabu (10/9/2014).

Bambang menilai, kedaulatan rakyat telah didelegitimasi secara inkonstitusional untuk kepentingan sempit kekuasaan yang berbasis pada syahwat dan libido berkuasa. Tak cuma itu, Bambang juga berpendapat, akan ada dampak yang besar dari sekadar implikasi masalah pilkada selama ini jika dikembalikan ke DPRD.

"Sangat potensial terjadi rekayasa kekuasaan oleh elite penguasa yang berpijak pada kepentingan rent seeking dan bersifat transaksional serta tidak sepenuhnya mewakili kepentingan rakyat," kata Bambang.

Selain transaksional politik, kata Bambang, juga ada indikasi dan fakta jika pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD, bukan oleh rakyat langsung, berpotensi menimbulkan korupsi demokrasi.

‎"Inilah salah satu indikasi dan fakta yang bisa dan biasa disebut dalam nomenklatur sosiologi sebagai political corruption dan juga korupsi demokrasi," ucapnya.

Bambang juga mangatakan, rakyat seharusnya dapat berpikir kritis terhadap‎ revisi UU Pilkada ini. Rakyat juga harus pintar mengindentifikasi siapa-siapa saja yang punya sikap dan pandangan untuk mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD ini.

"Rakyat harus secara kritis mengkaji dan mempertanyakan beberapa hal sebagaimana wacana, yaitu apakah mereka yang mendelegitimasi hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung bisa disebut sebagai pelaku political corruption atau pelaku korupsi demokratisasi?" jelas dia.

"Atau, apakah pelaku tersebut dapat dikenakan sanksi politik dan sanksi sosial agar mereka konsisten dan amanah menjalankan daulat rakyat yang substantif," tukas Bambang. (Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini