Sukses

Penjelasan Presiden Palestina Soal Konflik Hamas-Israel

Pemimpin Otoritas Palestina menyesalkan jatuhnya ribuan korban jiwa yang mati sia-sia karena konflik Hamas-Israel.

Liputan6.com, Gaza- Presiden Palestina Mahmoud Abbas memberi penjelasan soal konflik di Gaza baru-baru ini yang kini telah berakhir dengan gencatan senjata antara Hamas dan Israel.

Abbas mengatakan kepada stasiun Palestine TV dalam siaran Jumat lalu bahwa "Sebetulnya ada kesempatan bagi kita semua untuk menghindari semua itu. Sehingga tidak ada 2.000 syuhada, 10.000 korban luka-luka, dan 50.000 rumah yang hancur atau rusak."

"Semua yang telah terjadi sebetulnya dapat dihindari. Kita sesungguhnya dapat menghindari tewasnya 2.000 syuhada, 10.000 korban luka-luka, dan hancurnya 50.000 rumah. Semua ini dapat dihindari," ujar Abbas, seperti dilansir Liputan6.com dari Dailymail, Selasa (2/8/2014).

"Hamas beberapa kali tidak setuju gencatan senjata dengan segera. Kami pun mendesaknya. Delegasi Palestina pun menyampaikan tuntutan kami di atas meja perundingan. Gencatan senjata itu merupakan prioritas pertama kami, apapun isinya, bandara, pelabuhan, pemukiman Yahudi, narapidana. Semua hal ini ada di atas meja perundingan."

"Namun sedihnya, keadaanya menjadi lebih buruk, satu hari, 10 hari, 20 hari, 30 hari, dan akhirnya, 50 hari. Senyatanya, kami mendapatkan apa yang kami sudah pernah ditawarkan.  Kemudian kami kembali lagi membicarakan tentang gencatan senjata yang segera, diikuti dengan pembahasan tentang tuntutan-tuntutan. Nah, beginilah posisi saya sejak hari pertama."

Lebih dari 2.100 warga Palestina terbunuh, termasuk beberapa ratus warga sipil. Ada 70 orang di sisi Israel, termasuk 6 warga sipil, yang terbunuh.

Beberapa kali upaya gencatan senjata yang ditengahi Mesir menemui jalan buntu, walaupun pada akhirnya Hamas menerima tawaran yang hampir sama seperti yang diberikan sebelumnya.

Otoritas Palestina pimpinan Mahmoud Abbas berkuasa di Tepi Barat. Pada awal tahun ini, mereka mendirikan pemerintahan kesatuan yang didukung Hamas. Namun demikian, dalam wawancara tersebut Abbas mempertanyakan masa depan kesatuan ini.

Mesir, yang menengahi musyawarah perdamaian ini, mengatakan bahwa pembicaraan tidak langsung antara dua pihak ini akan dilanjutkan lagi dalam satu bulan ke depan.

Pada Kamis lalu, Presiden Prancis, Francois Hollande, mengakan kepada para diplomat bahwa Eropa dapat membantu mengawasi penghancuran terowongan-terowongan yang dipakai oleh kelompok militan Hamas dan memantau penyeberangan-penyeberangan perbatasan Gaza dengan Israel maupun Mesir.

"Perlu adanya gerakan menuju pengakhiran blokade dan pelucutan militer (demiliterisasi) kawasan itu," katanya untuk mengisyaratkan bahwa penyeliaan secara internasional dapat membuka jalan bagi kembalinya Otoritas Palestina ke Gaza. Selama ini, Hamas dan Otoritas Palestina menjadi lawan satu sama lain di Gaza.

Menurut Hollande, proposal Prancis "pada akhirnya memberikan cara kepada Otoritas Palestina untuk menanggapi krisis kemanusiaan dan memulai pembangunan." Belum jelas apakah para pihak yang bertikai siap untuk menerima keterlibatan pihak luar.

Paul Hirchson, seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, mengatakan bahwa negeri itu siap untuk mempertimbangkan proposal manapun tapi harus diyakinkan bahwa pemantauan dapat berjalan semestinya.

Di Jalur Gaza, Hamad al-Rakeb, seorang jurubicara Hamas, menjelaskan bahwa proposal Hollande seperti "mencampurkan racun ke dalam madu".

Duta Besar Otoritas Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, pada Kamis lalu menyambut baik gagasan pemantauan internasional sebagai "pencegahan bermanfaat" terhadap pertikaian-pertikaian lanjutan. Namun demikian, ia menyatakan bahwa melucuti persenjataan Hamas tidak tepat. (Riz)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.