Sukses

Klaim Baru 'Manusia Hobbit' Asal Indonesia Bikin Marah Ilmuwan

Kontroversi abadi: apakah Homo floresiensis makhluk unik atau manusia modern yang abnormal, seperti Down's syndrome?

Liputan6.com, Fosil kerangka kecil' yang ditemukan di Liang Bua, sebuah gua kapur di Flores, tahun 2003 lalu baru-baru ini memicu kontroversi sengit setelah sebuah makalah menyebut, makhluk yang tenar sebagai 'manusia hobbit Flores' itu adalah manusia modern yang menderita Down's syndrome.

Tak ayal, makalah yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) bulan ini dikecam oleh para ilmuwan di seluruh dunia -- yang bersikukuh bahwa Homo floresiensis, yang ditemukan di wilayah Indonesia, adalah spesies kuno yang berbeda dari hominin atau hominid lain.

Sengketa tersebut berakar dari sebuah ekspedisi yang dilakukan para peneliti Australia dan Indonesia pada 2003. Para ahli yang bekerja di  gua batu kapur Liang Bua menemukan tengkorak kecil dan bagian rahang bawah. Meski mungil, ia memiliki susunan gigi dewasa. "Ini bukan tengkorak anak kecil, tapi orang dewasa mini -- salah satu hominin dewasa terkecil yang pernah ditemukan," kata Mike Morwood dari University of Wollongong, Australia saat mengumumkan temuannya.



Sejumlah fosil belulang lain kemudian diekskavasi dan diidentifikasikan sebagai spesies hominid yang disebut sebagai  Homo floresiensis.

Namun, sekelompok kecil ilmuwan jadi 'penentang abadi' klaim temuan tersebut. Mereka berpendapat bahwa tulang tersebut adalah milik manusia modern yang memiliki anatomi abnormal.

Para penentang baru-baru ini mengatakan, hobbit Flores adalah manusia modern yang menderita Down's syndrome. Klaim tersebut ditanggapi ilmuwan lain yang emosi. "Menariknya, makalah mereka tak menyertakan gambar kerangka seseorang yang menderita Down's syndrome," kata ahli  Homo floresiensis, Profesor Dean Falk dari Florida State University seperti dimuat Guardian, Minggu (17/8/2014). "Kalaupun ada, siapapun bisa melihat, tak ada kesamaan apapun seperti spesimen dari Flores. Gagasan tersebut omong kosong."

Para ilmuwan juga mengkritik para editor PNAS -- jurnal milik US National Academy of Sciences -- yang memungkinkan penulis makalah Down's syndrome lolos dari peer review (review sesama ahli) semestinya.

"Artikel itu disusun oleh anggota akademi itu sendiri,  Kenneth Hsu, seorang ahli hidrologi berusia 89 tahun yang sama sekali tak punya keahlian dalam subyek tersebut -- yang memilih panel hakim yang juga tanpa keahlian dalam kerangka fosil hominin," kata ilmuwan yang terlibat dalam penemuan Homo floresiensis, Profesor Peter Brown, dari University of New England, Australia. "Ini adalah penyalahgunaan keterlaluan dari proses peer review."

Fakta menunjukkan, hingga saat ini belum diketahui  bagaimana manusia purba bisa berada di Flores dan bagaimana mereka mengembangkan postur mini mereka. Kebanyakan ilmuwan menerima keasliannya -- dengan pengecualian dari palaeoantropolog Indonesia Teuku Jacob, yang mengaku kerangka tersebut adalah milik  manusia modern dengan tengkorak yang abnormal. 



Pengukuran tim Jacob lantas digunakan para peneliti Maciej Henneberg dari Adelaide University, Robert Eckhardt dari Pennsylvania State University, dan Kenneth Hsu dari National Institutes of Earth Sciences China sebagai dasar dari klaim bahwa hobbit tersebut senyatanya adalah manusia modern cacat.  

"Pertama, mereka mengklaim bahwa hobbit adalah manusia modern dengan mikrosefali -- bentuk kepala kecil yang abnormal," kata Falk. "Kami menunjukkan bahwa itu tidaklah benar. Lalu mereka mengklaim bahwa fosil tersebut mengidap sindrom Laron,  bentuk dwarfisme (kerdil). Sekali lagi tim kami menunjukkan dugaan itu salah. Kini, mereka menyebut Down's syndrome, salah kaprah yang lain."

Sementara itu, Profesor William Jungers dari  State University of New York berpendapat, "Mereka mengatakan Homo floresiensis sama dengan manusia modern yang menderita  Down's syndrome. Namun tidak ada satu pun dengan kondisi memiliki tengkorak kecil berkapasitas 400 cc seperti yang dimiliki floresiensis, atau memiliki ketebalan tengkorak yang sama.

Makalah yang ditulis Maciej Henneberg dan rekan-rekannya sejak 2006 disumbangkan ke PNAS oleh Hsu. "Hsu adalah seorang ahli geologi terkemuka dan polymath (ahli dalam banyak bidang), tapi dia bukan seorang ahli evolusi manusia dan anatomi," kata Profesor Chris Stringer, dari Natural History Museum, London. "Memang, ia tercatat sebagai ilmuwan yang sengit menyerang Charles Darwin dan ide evolusi konvensional," kata Stringer

Tapi peran Hsu dipertahankan oleh penulis utama makalah, Maciej Henneberg. "Kontribusi Kenneth untuk dalam makalah penting dari perspektif seorang geolog yang sangat baik dan berprestasi, yang mempelajari secara perubahan permukaan air laut selama era Pleistosen yang mempengaruhi Flores," katanya kepada Observer.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini