Sukses

Ketua KPK: DPR Lemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi

Dengan disahkannya RUU MD3 itu, kata Abraham,sudah sangat jelas dan nyata, DPR dan pemerintah telah melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad kembali angkat bicara terkait pengesahan Revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, DPD (MD3). Abraham dengan tegas menolak pengesahan itu.

Penolakan itu, kata Abraham, lantaran salah satu poin penting dalam revisi itu seolah-olah menginginkan anggota DPR kebal hukum. Di mata Abraham, satu produk undang-undang yang dihasilkan DPR tidak boleh melemahkan proses penegakan hukum. Terutama untuk kasus korupsi.

Jika itu terjadi, ujar Abraham, hal tersebut akan bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang tengah digalakkan di Indonesia. "Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tidak boleh dihalangi oleh aturan-aturan yang baru dibuat, termasuk produk MD3," kata Abraham di Jakarta, Jumat (11/7/2014).

Dengan disahkannya RUU MD3 itu, lanjut Abraham, maka sudah sangat jelas dan nyata, DPR dan juga pemerintah telah melemahkan upaya pemberantasan korupsi. DPR dan pemerintah sebagai 'produsen' peraturan dan kebijakan tidak punya keinginan kuat untuk memberantas korupsi yang sudah sangat akut menjamur di berbagai lini di Indonesia.

"Korupsi di negeri ini sudah sangat masif, sehingga diperlukan tindakan yang progresif, bukan justru membuat aturan yang melemahkan pemberantasan korupsi," ujar Abraham.

DPR mengesahkan Revisi UU MD3 pada 9 Juli lalu. Pengesahan itu diwarnai aksi walk out oleh PDI Perjuangan, Partai Hanura, dan PKB. Aksi ini dilakukan karena sejumlah poin dalam revisi itu dinilai tak signifikan dan justru berdampak negatif ke depan.

Sedikitnya ada 4 poin dalam Revisi Undang-Undang MD3 yang perlu digarisbawahi:
1. Mengubah ketentuan kuorum untuk hak menyatakan pendapat dari 3/4 menjadi 2/3.
2. Anggota DPR tidak bisa dipanggil untuk diperiksa dan penyidikan tindak pidana, termasuk kasus korupsi, tanpa izin presiden.
3. Partai pemenang suara terbanyak tidak lagi menjadi Ketua DPR melainkan akan dipilih dengan suara terbanyak.
4. Dihapusnya ketentuan yang menekankan pentingnya keterwakilan perempuan khususnya terkait dengan alat kelengkapan DPR (AKD).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini