Sukses

Aktivis: Demokrasi Kita Dangdutan

Mirisnya, hingga saat ini kampanye tersebut layaknya 'demokrasi dangdutan', yang tidak membawa harapan masyarakat. Bahkan tidak bermakna.

Liputan6.com, Jakarta - Kampanye terbuka telah berlangsung sekitar 2 minggu ini, dilakukan oleh seluruh partai politik peserta pemilu. Mirisnya, hingga saat ini kampanye tersebut layaknya 'demokrasi dangdutan', yang tidak membawa harapan masyarakat. Bahkan tidak bermakna.

Dan disayangkan, para calon legislatif kemudian melupakan krisis agraria yang sedang terjadi.

"Demokrasi kita sekarang ini demokrasi dangdutan, di mana isi kampanye mereka tidak ada yang membawa harapan. Kebanyakan dari mereka terlibat dalam sengketa agraria. Memang tidak semua, tapi ini membuat para legislatif tidak mau menyelesaikan masalah agraria," kata aktivis Hijau Indonesia Chalid Muhammad di Jakarta Pusat, Rabu (26/3/2014).

Menurut Chalid, banyaknya fungsionaris partai juga menjadi pemilik perusahaan tambang hal ini menyebabkan masalah reformasi agraria justru tidak terselesaikan.

"Banyak fungsionaris partai menjadi pemilik perusahaan, salah satu contoh Sidoarjo. Itu yang nyata," kata dia.

Pada kesempatan yang sama, pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago mengeluhkan hal serupa terkait kampanye hampa yang tidak bermakna tersebut.

Terkait krisis agraria yang masih melanda, bahkan justru di lupakan sebagai hal penting untuk diselesaikan. Menurut dosen UI ini, maka di daerah itu harus ada yang memandu, mengarahkan perbincangan tetang masalah-masalah utama di daerah itu.

"Jadi jangan hanya mendengarkan caleg itu menjanjikan nanti akan bantuan kesehatan, bantuan sekolah. Itu kan masalah bukan agenda lagi, karena itu sudah diprogram, duitnya pun sudah diplot," jelasnya.

Kemudian lanjut Andrinof, program itu harusnya berupa ide untuk mengatasi masalah-masalah termasuk masalah agraria.

"Kalau isi kampanye seragam semua dibawa dari Jakarta, keadaan didaerah itu nggak akan berubah. Lalu siapa yang bertanggung jawab antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan kemudian pertambangan. Akhirnya nanti diserahkan lagi ke aparat keamanan. Oleh keamanan ya kita nggak tau, ujung-ujungnya masyarakat umumnya yang kalah," urai Andrinof.

Menurutnya, intinya adalah diuji pemahaman caleg-caleg itu yang domisilinya di Jabodetabek tetapi dapil-dapilnya ada di Kalimantan, Sumatera itu agar dia paham masalah di dapilnya.

"Untuk pengujiannya, kalau ngga bisa diuji di sana (di dapilnya), diuji di sini (di Jakarta)," pungkas Andrino.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini