Sukses

Adiguna Sutowo Pembunuh Rudy?

Pandangan pengunjung Fluid Club and Lounge di Hotel Hilton tertumpu pada tubuh yang tergolek di lantai dengan darah segar mengalir dari kepalanya. Adiguna Sutowo terus berkelit sebagai penembak Rudy.

Liputan6.com, Jakarta: Pagi hampir menyapa. Namun ingar-bingar di Fluid Club and Lounge di lantai dua Hotel Hilton, Jakarta Pusat, belum juga reda. Pengunjung terus berjoget di bawah kerlap-kerlip lampu. Malam itu memang malam khusus, malam pergantian tahun dari 2004 menuju 2005.

Di tengah suasana riuh, tiba-tiba terdengar suara tembakan. Tapi tak banyak yang sadar. Pengunjung larut dalam riuhnya pesta. Mereka baru berhenti berjingkrak setelah musik dimatikan dan lampu terang dinyalakan. Mereka terkesiap. Pandangan pengunjung tertuju pada tubuh yang tergolek di lantai dengan darah segar mengalir dari kepalanya.

Keadaan yang semula ramai kontan senyap. Sebagian besar pengunjung cemas. Bingung. Mereka luput memperhatikan sang pembunuh Yohanes Brachmans Haerudy Natong alias Rudy, si penagih bill. Pengaman hotel mewah ini bergegas menutup pintu masuk dan keluar. Mereka memeriksa pengunjung sekaligus mencari barang bukti. Tapi senjata api tak ditemukan.

Namun beberapa pengunjung mengaku melihat sang penembak. Mereka menyebut nama Adiguna Sutowo sebagai pelakunya. Setelah dua kali menyalak dan kosong, tembakan ketiga tepat bersarang di batok kepala Rudy. "Tembakan dilepaskan dari jarak dekat," kata Daniel, bartender yang malam itu sedang bertugas di Island Bar.

Persoalan sepele berujung tragis itu diawali sekitar pukul 04.00 WIB. Adiguna datang bersama Novia Herdiana alias Tinul ke klub. Mereka minum-minum. Selang 30 menit kemudian Tinul munutup bill dan memanggil Rudy. Asisten Direktur Sales Hotel Mulia itu kemudian menyerahkan kartu kredit ke Rudy. Kartu kredit tak bisa diproses, Rudy meminta Tinul membayar tagihan dengan uang kontan.

Kontan Tinul marah. Belakangan Adiguna yang duduk di bangku bar ikut berang. Pereli nasional yang pernah berteman dengan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto ini sempat menghardik lantas menempelkan pistol ke kening Rudy. Klik...klik...dor! Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno itu pun roboh bersimbah darah.

Pemuda berusia 25 tahun asal Flores, Nusatenggara Timur, itu kejet-kejet sebentar sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir. Sementara selagi Rudy terkapar, Adiguna langsung ngacir. Beberapa jam kemudian dia sempat kembali ke lokasi kejadian untuk memantau situasi. Setelah itu pergi lagi.

Polisi yang baru datang ke klub sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Januari 2005, mengorek keterangan sejumlah saksi. Akhirnya polisi meringkus Adiguna di kamar 1564. Polisi menemukan 19 butir peluru kaliber 22 milimeter, pakaian, handuk, dan tisu berlumuran darah. Namun pistol yang digunakan untuk menembak Rudy tak didapat.

Adiguna ditetapkan menjadi tersangka. Putra bungsu bekas Direktur Utama Pertamina, almarhum Ibnu Sutowo ini dituduh melanggar Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Pembunuhan Disengaja dan Undang-undang Darurat Nomor 12/1951 tentang Kepemilikan Senjata Api, Amunisi, dan Bahan Peledak. Tapi Adiguna menyangkal semua tuduhan. Dia berkeras tak menembak Rudy, walaupun belakangan revolver kaliber 22 dengan 8 silinder didapat [baca: Pistol Ditemukan, Adiguna Sutowo Kembali Diperiksa].

Adik Ponco Sutowo, pemilik Hotel Hilton, itu terus berkelit. Melalui kuasa hukumnya, Amir Karyatim, Adiguna hakul yakin tak pernah ke Klub Fluid. Saat peristiwa itu terjadi dia mengaku berada di Lounge dan baru datang setelah mendengar kegaduhan.

Boleh saja Adiguna ngeles. Namun keterangan saksi kunci Wewen seperti akan menyibak tabir. Wewen mengatakan, duduk persis di sebelah kanan Adiguna saat "sang koboi" melepaskan tembakan. "Saya melihat Adiguna memegang senjata dan mengarahkan ke kepala bartender," terang Wewen [baca: Wewen: Adiguna Mengalihkan Perhatian Kepada Saya].

Sehabis menghabisi Rudy, Adiguna memberikan pistol kepada Wewen untuk mengalihkan perhatian. "Dia (Adiguna) berharap orang-orang menduga saya yang menembak," jelas Wewen. Meski mengaku shock, Wewen sempat beberapa hari menyimpan pistol itu.

Kesaksian Wewen ibarat kartu truf dalam kasus ini. Harapan menyembul di balik keraguan, paling tidak bagi Alfons, bapak korban yang tinggal di Flores, NTT. Lelaki ini berharap hukum berdiri tegak. Tidak pandang bulu. "Jalankan fungsi polisi, jaksa, dan hakim sesuai UU," pinta Alfons.

Alfons pantas geram. Sebab kepergian Rudy untuk selama-lamanya berarti hilangnya satu penyangga rumah tangga Alfons. Lelaki ini sedih melihat usaha putranya berakhir sia-sia. Selama merantau ke Jakarta, Alfons mengaku sama sekali tak memberi sepeser uang pun pada Rudy. Sebaliknya dengan usaha kerasnya, Rudy mampu membiayai kuliah dirinya dan dua adiknya yang juga berada di Ibu Kota.

Rudy memang pekerja keras. Walau agak pendiam, mahasiswa Fakultas Hukum yang tinggal menyelesaikan tugas akhir, April 2005, ini tak malu nyambi kerja. Siang kuliah, malam mencari nafkah. "Rudy [mahasiswa] angkatan 2000. Semua biaya kuliah dia dan adiknya, dia yang ditanggung," kata Shanti, staf administrasi FH UBK.

Selama hidup di perantauan, Rudy juga tak pernah menyusahkan keluarganya, terutama pamannya yang berprofesi sebagai anggota satuan pengamanan. Dia memilih kos di sebuah kamar berukuran 3 x 4 meter di kawasan Setia Budi, Jakarta Selatan. "Rudy orangnya pendiam. Pulang kerja dia langsung kuliah," kenang Sumiati, pemilik kos-kosan Rudy. Menurut perempuan ini, Rudy tak pernah telat membayar uang kos yang sebesar Rp 250 ribu per bulan.

Potret kehidupan Rudy dan Adiguna memang bak langit dan bumi. Adiguna terlahir sebagai putra bungsu keluarga Ibnu Sutowo. Keluarga ini selalu bergelimang uang karena memang keluarga pebisnis. Bisnis keluarga ini dibangun sejak Ibnu dipecat dari posisinya sebagai Dirut Pertamina pada 1976. Di bawah bendera Nugraha Sentana, keluarga Ibnu membangun bisnis dari perhotelan, perbankan, media massa sampai restoran.

Hotel Hilton adalah salah satu aset milik keluaraga Sutowo di bidang perhotelan. Keluarga ini juga mempunyai saham pada jaringan restoran Hard Rock. Sedangkan di bidang perbankan, keluarga Sutowo pernah memiliki Bank Pacific yang kemudian ditutup pada 1997 karena krisis ekonomi.

Konglomerasi bisnis keluarga ini tak lepas dari pengaruh Ibnu. Dia sendiri adalah mantan Dirut Pertamina yang dipecat Presiden Soeharto karena korupsi yang menyebabkan Pertamina terlilit utang. Kasus ini terekspos lewat Koran Indonesia Raya (IR) milik Mochtar Lubis.

Dalam sebuah laporannya, medio 1970-an, IR menemukan adanya penggelapan dana dalam sejumlah proyek Pertamina. Ibnu juga diketahui meninggalkan utang Pertamina sebesar US$ 10,5 miliar. Jumlah utang ini jauh di atas cadangan devisa Indonesia saat itu yang hanya US$ 600 juta. Artinya, saat itu, secara teknis Indonesia sudah bangkrut.

Seperti kakaknya, selepas puas memacu mobil, Adiguna juga berbisnis. Tapi dia pun gemar bermain api dengan menenteng senjata api ke mana-mana. Bahkan, sebelum menembak Rudy, Adiguna diketahui pernah menembak seorang warga di Tangerang, Banten. Ketika diperiksa polisi pun, Adiguna sedang mengonsumsi narkotik dan obat-obatan berbahaya.(ICH)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini