Sukses

Menikmati Keindahan Cianjur

Menghabiskan liburan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, bisa menjadi alternatif. Kita bisa melihat petani menanami padi di Desa Warung Kondang atau melihat perajin lampu hias di Desa Jambudipa.

Liputan6.com, Cianjur: Modal tanah subur dan panorama alam yang indah, tak mengherankan jika Cianjur menjadi salah satu pusat agrobisnis dan pariwisata andalan Jawa Barat. Bahkan Kabupaten Cianjur sudah lama dikenal sebagai salah satu daerah agraris yang menjadi lumbung padi jenis Pandanwangi. Padi Pandanwangi termasuk dalam varietas javanica dengan ciri bulat berbulu dan tahan rontok. Dengan aroma wangi pandan dan rasanya yang pulen serta enak, membuat Pandanwangi menjadi idola sejak 1973 dan mampu mengharumkan nama Cianjur.

Dengan luas wilayah sekitar 350.148 hektare dan penduduk dua juta jiwa yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian (62,99 persen), nama Cianjur pantas diperhitungkan di pasar agrobisnis. Salah satu lumbung beras yang mengkhususkan diri memproduksi beras Pandanwangi adalah Warung Kondang, Kabupaten Cianjur. Sebagian besar warga di sana berprofesi sebagai petani. Karena itu, Warung Kondang menjadi salah satu daerah penyumbang terbesar PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) Kabupaten Cianjur.

Tidak hanya beras Pandanwangi yang menjadi produk unggulan Cianjur. Letak wilayah yang strategis antara Jakarta, Bogor, Sukabumi, dan Bandung membawa keberuntungan tersendiri. Pada akhir pekan atau musim libur banyak pendatang sengaja bertandang ke Cianjur. Bukan hanya sekadar berjalan-jalan, tapi juga berburu kerajinan khas setempat. Misalnya di Desa Jambudipa yang banyak dijumpai kerajinan lampu hias. Maklum, hampir 50 persen masyarakat setempat memang bekerja sebagai perajin lampu hias atau lentera gentur.

Dari penelusuran SCTV, keahlian membuat lentera antik diperoleh secara turun temurun. Seorang pedagang bahkan mengaku keluarganya sudah membuat lentera sejak tahun 40-an. Konon, lampu buatan penduduk Cianjur sudah melanglang buana sampai ke Eropa dan Amerika Serikat. Kini, pelanggan lentera tak berkurang. Seorang perajin bisa membuat 100 lampu hias per bulan. Harganya berkisar dari Rp 50 ribu sampai Rp 1 juta tergantung keunikan dan kerumitan cara membuat.

Proses pembuatan lampu antik terbilang gampang-gampang susah. Para perajin biasa mengambil bahan baku berupa lempengan tembaga atau kuningan. Lempengan itu digunting dan dipahat sesuai model yang diinginkan. Model lampu antik itu merupakan kreasi para perajin. Setelah dibentuk, kerangka lampu digosok sampai mengkilap. Proses penggosokan pun terbilang repot.

Bagi penggemar burung perkutut, bisa membeli berbagai kandang di sentra perajin sangkar burung di Desa Sindang Asih. Sekitar 60 persen penduduk Sindang Asih berprofesi sebagai perajin sangkar burung. Mereka mendapatkan keahlian itu secara turun temurun. Untuk membuat sarang burung perkutut ada tujuh model sangkar. Antara lain model jambu yang biasa dijual Rp 25 ribu. Ada juga model super yang dipatok Rp 15 ribu. Sekadar informasi, kerajinan sangkar burung telah mendapat penghargaan Upakarti pada 1994.

Rotan dan bambu dapat dipakai untuk bahan baku sangkar burung. Rotan itu diserut dan dilubangi dengan jarum yang biasa digunakan tukang sol sepatu. Setelah itu, dibuat semacam jari-jari untuk penutup sangkar. Setelah ditutup kertas, bagian atas sangkar didempul untuk mempermudah pewarnaan. Seperti batik Pekalongan, model dan pewarnaan sangkar burung pun beragam bentuknya.

Sangkar burung produksi Sindang Asih dikenal di kalangan masyarakat luas. Para konsumennya tersebar di Tanah Air. Konsumen di luar Pulau Jawa biasanya datang sendiri ke lokasi perajin. Sedangkan untuk pesanan di daerah Jawa, mereka menyediakan jasa pelayanan.

Sebagai kawasan pariwisata, Kota Cianjur juga memiliki panganan khas. Makanan kecil yang cukup terkenal antara lain tauco dan kue moci. Namun, ada satu lagi makanan khas Cianjur, yaitu sate Maranggi. Penjual sate Maranggi paling top ada di Jalan Hasyim Asy`ari. Penjual sate di daerah itu biasanya menggunakan daging sapi. Mereka membagi dua barang dagangannya. Ada yang dicampur dengan daging berlemak dijual Rp 800 per tusuk, ada pula daging saja yang biasa dijual Rp 1.000 per tusuk. Keunikannya sate ini dimakan dengan ketan bakar atau nasi dengan bumbu sambal oncom. Jika sempat melawat ke Cianjur, makanan tadi bisa dicicip atau dibawa sekadar buah tangan.(YAN/Inka Prawirasasra dan Effendi Kasah)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.