Sukses

Tawur Dukutan, Tawuran yang Dilestarikan

Ritual ini berangkat dari legenda tentang cinta yang penuh diwarnai bumbu pertengkaran dan uji kesaktian. Tradisi kolosal ini melibatkan hampir seluruh warga dua dusun di Desa Nglurah, Karanganyar, Jateng.

Liputan6.com, Karanganyar: Ada sebuah kisah berabad-abad silam tentang cinta yang penuh diwarnai dengan bumbu pertengkaran dan uji kesaktian. Legenda tentang percintaan yang unik ini tak hanya dituturkan secara turun-temurun. Tapi, cerita itu juga diabadikan dalam sebuah tradisi perkelahian massal tahunan. Tradisi yang masih dipegang teguh warga Desa Nglurah, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, ini bernama Tawur Dukutan. Tradisi turun temurun ini sendiri melibatkan dua dusun yang berada di Desa Nglurah, yakni Nglurah Lor di bagian utara dan Nglurah Kidul di sebelah selatan.

Konon, desa terletak di lereng Gunung Lawu, ini didirikan seorang patih atau perdana menteri dari Kerajaan Kahuripan bernama Narotama Mengembara yang tinggal di Nglurah Lor. Saat itu, Narotama bertemu dengan seorang wanita sakti dari desa seberang bernama Nyai Roso Putih. Tapi, pertemuan ini menciptakan perseteruan. Adu kesaktian terjadi hampir setiap hari. Bahkan, perkelahian ini meluas hingga melibatkan warga desa lainnya.

Uniknya, dari serangkaian perkelahian itu timbul benih cinta yang pada akhirnya keduanya sepakat untuk membina rumah tangga. Setelah menikah, sepasang pendekar ini dinobatkan menjadi pepunden atau pemimpin Desa Nglurah dengan sebutan Kiai dan Nyai Menggung. Perseteruan keduanya itulah yang di kemudian hari dijadikan tradisi Tawur Dukutan.

Parto Sentono atau Mbah Parto adalah salah seorang keturunan langsung Kiai Menggung. Mbah Parto inilah yang dipercaya sebagai sesepuh desa yang antara lain juga bertanggung jawab mengadakan ritual tahunan tersebut. Tak heran, jika beberapa hari belakangan ini sebagian besar waktu lelaki berusia 70 tahun itu untuk mempersiapkan ritual peristiwa percintaan yang terjadi sekitar sepuluh abad silam. Di sebuah bilik kecil atau tinon, Mbah Parto bersemedi memohon izin kepada penguasa jagat alam semesta agar upacara tawuran yang akan diselenggarakannya berlangsung lancar dan selamat.

Sementara di dapur rumahnya, beberapa wanita menyiapkan pelbagai macam penganan yang akan dipergunakan untuk sesaji dalam puncak ritual esok hari. Segala penganan ini harus berbahan baku jagung dan dimasak dengan api kayu bakar. Dan, tak seorang pun diperbolehkan mencicipi semua jenis masakan ini. Beberapa saat kemudian, sejumlah warga desa berdatangan mengantar sesaji. Berbeda dengan sesaji yang disiapkan di rumah Mbah Parto, aneka ragam makanan yang dikumpulkan dari warga desa ini memang disediakan untuk dibagikan kepada seluruh warga esok harinya.

Para pemuda pun tak kalah sibuknya. Beberapa pemuda telah dipilih untuk diturunkan ke dalam arena tawuran massal yang akan menjadi puncak upacara Tawur Dukutan. Begitu sibuknya warga desa hingga hampir tak ada satu orang dewasa pun yang tak terlibat dalam acara paling kolosal yang akan mereka gelar. Pasalnya, tradisi yang diselenggarakan secara kolosal ini melibatkan hampir seluruh warga desa. Ada yang terlibat langsung dalam prosesi inti berupa tawuran. Ada pula yang hanya sekadar menjadi penggembira.

Hari perayaan pun tiba. Ribuan warga dari kedua dusun membanjiri arena perkelahian yang terletak di dekat makam Kiai dan Nyai Menggung. Dari sisi utara, pasukan dari Nglurah Lor datang dengan segala atribut kebesaran layaknya pasukan kerajaan dengan membawa panji-panji dan benda-benda pusaka. Sementara pasukan inti yakni para pemuda yang terlibat tawuran berada di tengah barisan. Tubuh mereka dihiasi sedemikian rupa untuk memberi kesan garang. Dari sisi lain, pasukan asal Nglurah Kidul juga tak kalah seramnya. Dengan dandanan ala Warok Ponorogo, mereka juga tak mau terlihat lemah di mata musuhnya. Tak terasa. Dalam waktu hampir bersamaan, kedua kelompok ini saling berhadapan di arena tempat yang ditentukan.

Ejekan demi ejekan saling dilontarkan para anggota kedua pasukan yang tampaknya sudah tak bisa lagi mengendalikan emosi masing-masing. Tapi, suasana permusuhan yang kian tajam ini menimbulkan kekhawatiran bagi para sesepuh desa. Mereka, termasuk Mbah Parto Sentono mulai menggelar beberapa ritual di makam Kiai Menggung. Intinya, untuk memohon petunjuk gaib. Sementara untuk mendinginkan suasana, beberapa penari dihadirkan ke tengah arena. Sejauh ini, para sesepuh dan aparat desa memang sudah memodifikasi tradisi tawuran ini. Ini tak lain untuk mencegah munculnya kekisruhan seperti yang terjadi pada pelaksanaan sebelumnya. Sejatinya, mereka harus tetap menggelar tradisi yang sudah menjadi amanah dari para pepunden desa untuk dilaksanakan setiap tahun.

Prosesi yang ditunggu pun tiba. Ritual tawuran dimulai dengan mengarak para peserta mengelilingi makam leluhur mereka. Di tangan mereka masing-masing tergenggam keranjang berisi makanan untuk dibagikan kepada warga. Tapi, entah siapa yang memulai provokasi, keranjang berisi makanan ini justru digunakan sebagai senjata menciptakan kerusuhan. Kekisruhan pun tak bisa dihindari.

Kejadian ini tampaknya tak bisa diterima oleh para sesepuh desa. Khawatir akan terjadinya kerusuhan yang lebih parah membuat prosesi ini segera ditutup. Tapi, ini bukan berarti suasana sudah aman. Hasrat muda untuk menguji keberanian tampaknya memang memerlukan penyaluran. Penyaluran ini pula terwujud justru saat mereka membacakan doa penutup di makam Kiai Rekso, pepunden lain di Desa Nglurah.

Kerusuhan ini tak berlangsung lama. Kecintaan terhadap para leluhur telah mengekang hasrat mereka untuk tak membawa konflik ke dalam wilayah yang lebih pribadi. Keributan akhirnya mereda. Tak ada dendam dan rasa permusuhan kecuali semangat untuk meneruskan tradisi leluhur. Yang ada hanyalah semangat untuk mengenang romantika percintaan masa lampau yang tergolong unik. Alhasil, seluruh warga Desa Nglurah baik Nglurah Lor maupun Nglurah Kidul yang semula tampak saling bermusuhan kembali menjadi satu. Mereka larut dalam kegembiraan dan larut dalam lakon wayang kulit yang dipertontonkan semalam suntuk.(ORS/Tim Potret)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.