Sukses

`Puasa` Bawa Kendaraan PNS DKI

Meski disambut baik, kebijakan baru ini sepertinya masih sulit diterapkan di ibukota. Kecuali, jika angkutan massal sudah terintegrasi baik.

Kemacetan lalu lintas sudah menjadi pemandangan sehari-hari di Jakarta. Kemacetan terparah biasanya terjadi pada jam-jam kerja atau pada hari Jumat, karena warga Ibukota biasanya tak sabar ingin menikmati libur akhir pekan.

Berbagai kebijakan pun sudah diterapkan Pemprov DKI guna mengatasi kemacetan ibukota. Mulai dari optimalisasi penggunaan busway, kereta api, hingga pembangunan sejumlah ruas jalan. Kebijakan teranyar berupa larangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) DKI menggunakan kendaraan pribadi dan dinas operasional setiap hari Jumat pekan pertama setiap bulan.

Kebijakan berdasarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 150 Tahun 2013 tentang Penggunaan Kendaraan Umum bagi Pejabat dan Pegawai di Lingkungan Pemprov DKI Jakarta ini mulai diterapkan hari ini, Jumat 3 Januari 2014. Kebijakan ini sepertinya menjadi 'kado' awal tahun 2014 dari gubernur yang akrab disapa Jokowi itu. Seperti Polri dengan kadonya, penggerebekan para terduga teroris di Ciputat pada hari pertama tahun 2014.

Kebijakan Jokowi ini memberi dua pilihan alat transportasi kepada anak buahnya untuk pergi ke kantor. Menggunakan angkutan umum atau menggoes sepeda. Jika tidak, siap-siap menerima sanksi disiplin secara berjenjang seperti pemotong gaji. Tak pelak, kebijakan baru ini membawa pemandangan berbeda. Parkir kendaraan roda dua maupun roda empat hari ini dipenuhi sepeda.

Hampir sebagian banyak PNS hingga pejabat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dari mulai lurah hingga walikota ramai-ramai menggoes sepeda saat pergi ke kantor. Mereka mengikuti langkah Jokowi yang menggoes sepedanya dari rumah dinas ke kantornya, Balaikota Jakarta. Tak jarang dari mereka juga memilih menggunakan bus atau angkutan umum lainnya. Seperti mereka yang tinggal cukup jauh dari Jakarta.

Berat Diongkos

Sebuah kebijakan baru biasanya akan selalu memunculkan pro kontra. Terutama bagi kalangan pegawai di lingkungan Pemprov DKI. Ada yang menerima kebijakan ini dengan positif apalagi jika berjalan konsisten. Ada juga yang menanggapi biasa, hingga menolak secara sembunyi-sembunyi, 'mengelabui' kebijakan ini.
 
Bagi mereka yang biasa menggunakan kendaraan pribadi, mereka ada yang memilih menggunakan angkutan umum seperti taksi, bus, atau kereta api. Sebagian lagi memilih menggunakan sepeda. Namun bagi mereka yang terbiasa menggunakan bus jemputan, kebijakan ini tidak terlalu membawa perubahan.

Bagi mereka yang 'mengelabui' kebijakan Jokowi ini, mereka tetap menggunakan kendaraan pribadinya dan memarkir kendaraanya tak jauh dari kantor mereka bekerja, agar atasan mereka tidak mengetahui. Bagi mereka, kebijakan ini hanya berjalan sehari selama sebulan untuk sementara ini.

Sebagian pegawai lainnya masih merasa kebijakan ini belum efektif, meski mereka mendukung kebijakan Jokowi ini sebagai upaya mengurangi kemacetan. Mereka merasa terlalu berat diongkos, karena harus mengeluarkan ongkos lebih mahal ketika menggunakan angkutan umum, ketimbang menggunakan kendaraan pribadi.

Seperti yang dialami Lurah Pademangan, Jakarta Utara, Kelik Sutanto mengaku merogoh Rp 60 ribu dari kantongnya untuk mengikuti aturan Jokowi. Dari rumahnya di kawasan Halim, Jaktim, Kelik naik angkutan umum ke arah Cililitan hingga ke Pademangan dia naik ojek, karena jika tidak dia akan terlambat.

Ternyata kebijakan ini juga sedikit memunculkan kecemburuan sosial. Ada juga pegawai Pemprov DKI yang menginginkan kebijakan ini tidak hanya berlaku bagi kalangan PNS DKI, tetapi juga berlaku di kalangan swasta di ibukota. Agar kebijakan ini berjalan sinergi untuk mengurangi kemacetan.

Kebijakan ini ternyata tak hanya dirasakan pegawai di jajaran Pemprov DKI, guru dan kepala sekolah yang sudah menjadi PNS pun turut mengikuti kebijakan Jokowi ini.

Perubahan dari Hal Kecil

Bagi Jokowi sendiri, kebijakan ini dikeluarkan memang bertujuan mengurangi kemacetan yang dimulai dari hal kecil. Meski belum membawa perubahan positif secara signifikan, namun setidaknya dapat mengurangi polusi udara ibukota dan membiasakan warganya hemat energi bahan bakar minyak (BBM).

Bahkan, Jokowi berniat menambah hari bebas kendaraan ini jika armada angkutan umum sudah memadai. Bisa saja yang sekarang sekali sebulan bisa menjadi empat kali, atau bahkan setiap hari pegawai DKI diharuskan bersepeda saat ngantor. Untuk menunjang kebijakan ini, Pemprov DKI juga siap menambah armada angkutan umum, disamping terus mengevaluasi kebijakan ini.

Berbeda dengan Jokowi yang sudah mulai memberikan teladan kepada warganya dengan menggoes sepeda ke kantor, wakilnya Basuki Tjahaja Purnama malah menolak meski sudah disarankan Jokowi. Wagub yang akrab disapa Ahok ini tetap menggunakan mobil dinasnya. Beberapa alasan logis menjadi tameng bagi Ahok untuk tidak mengikuti cara Jokowi dengan bersepeda ke kantor.

Jarak tempuh dari rumah dinas menjadi alasan utama Ahok tidak menggoes sepeda ke Balaikota. Dengan menumpangi angkutan umum, Ahok harus menumpangi angkutan dua hingga tiga kali untuk sampai di Balaikota. Belum lagi harus bersama pengawalan. Maka itu bagi Ahok kurang efisien karena sebagai wagub waktu sangatlah penting.

Bagi Ahok kebijakan ini merupakan latihan bagi warganya agar terbiasa menggunakan angkutan massal. Jika memang warga bisa menjalani kebijakan ini, maka kebijakan ini akan diteruskan. Sebaliknya, akan dicabut jika warga tak mampu.

Mengatasi Kemacetan?

Sebuah kebijakan memang tidak berjalan sempurna seperti yang diharapkan. Alih-alih mengurangi kemacetan ibukota, malah justru menelurkan masalah baru. Bagi pegawai DKI yang menolak secara sembunyi-sembunyi mereka terpaksa memarkir kendaraan pribadinya di trotoar atau bahu ruas jalan secara liar.

Akibatnya, kebijakan penggebosan pentil ban dan pencopotan plat kendaraan yang sebelumnya digalakan Pemprov DKI sia-sia. Parkiran liar kembali menjadi potret buruk kesemrawutan ibukota. Dinas Perhubungan DKI pun kembali beraksi menggembosi kendaraan pribadi yang terparkir secara liar.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio‬ menilai kebijakan ini cukup baik. Namun dia menyayangkan jika aturan itu diberlakukan untuk mengurangi kemacetan di Jakarta, adalah sangat tidak mungkin. Dia pesimis kemacetan di Jakarta akan berkurang.

‪Aturan ini justru dapat merugikan para PNS yang tempat tinggalnya jauh dari kantornya. Apalagi jika tempat mereka tinggal susah dijangkau angkutan umum. Belum lagi, jika para PNS itu terlambat masuk ke tempat bekerja dan diberi sanksi. Dia juga mempertanyakan pengawasan kebijakan ini.

Karenanya, Agus menyarankan agar sebaiknya Jokowi membenahi angkutan umum agar terintegrasi dengan baik dengan ongkos lebih murah. Jika ini sudah dilakukan, tidak menutup kemungkinan kebijakan ini akan berjalan efektif. (Rmn/Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.