Sukses

Judicial Review UU Pilpres, Upaya Meluruskan Konstitusi

Judicial Review terhadap Undang-Undang Pilpres ke MK yang dilayangkan Yusril Ihza Mahendra merupakan cerminan dirinya sebagai negarawan.

Citizen6, Riau: Judicial Review terhadap Undang-Undang Pemilihan Presiden (Pilpres) ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilayangkan pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, beberapa waktu, merupakan cerminan dirinya sebagai negarawan yang berkewajiban meluruskan sikap politik Indonesia yang selama ini dikendalikan oligarki.

Menurut Wikipedia.org, Oligarki berasal dari Bahasa Yunani, yakni Ὀλιγαρχία, Oligarkhía, adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Kata ini berasal dari kata bahasa Yunani untuk "sedikit" (ὀλίγον óligon) dan "memerintah" (ἄρχω arkho).

Tidak banyak yang menggunakan sistem ini, seperti Uni Soviet, bekas negara Uni Soviet, hanya anggota Partai Komunis yang dapat memegang jabatan pemerintahan. Selanjutnya Aparteid Afrika Selatan. Di Afrika Selatan sebelum 1994, orang-orang minoritas berkulit putih memerintah secara oligarki atas mayoritas penduduk Afrika Selatan berkulit hitam. Politik rasisme ini secara resmi pada 1948 disebut aparteid.

Di Indonesia, oligarki politik selama ini menjadi faktor utama mengapa para pemimpin daerah tidak mendapat tempat menduduki posisi puncak di negeri ini. Dalam Pilpres 2014, sudah waktunya para pemimpin daerah diserap dan diakomodir koalisi parpol sebagai capres atau cawapres untuk mengatasi kompleksitas persoalan Indonesia yang tak kunjung selesai.

Para analis politik menilai, pemimpin daerah yang berhasil umumnya siap diwakafkan untuk negara dengan menjadi pemimpin nasional. Apalagi, banyak kepala daerah yang pantas diangkat menjadi pemimpin nasional pada tahun-tahun mendatang.

Persoalannya, berbagai pihak menikmati model oligarki dan di tubuh parpol, kondisi seperti ini sangat kental. Karena itu diperlukan kepemimpinan tranformatif dari parpol untuk membawa pemimpin daerah sebagai pemimpin nasional.

Oligarkisme beserta proses perekrutan pemimpin yang ada selama ini, jelas merupakan warisan rezim otoritarianisme Orde Baru. Kader-kader parpol terkooptasi oleh rezim otoritarianisme. Organisasi kemasyarakatan (ormas) yang seharusnya bisa melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan, ternyata tidak bisa hidup layak.

Padahal, sebelum parpol politik menjadi layak, ormas harus bagus dulu. Akibatnya, dengan memanfaatkan aji mumpung situasi itu, oligarkisme menguat, sementara para pemimpin daerah seakan diabaikan. Kondisi ini harus diubah, ditranformasikan oleh para pemimpin politik di Pusat agar oligarkisme tidak berkarat dan eksistensi parpol tidak mudah merosot lalu tamat.

Para pengamat mengungkapkan, kepemimpinan transformatif dirumuskan sebagai kepemimpinan yang menggunakan kharisma mereka untuk melakukan transformasi dan merevitalisasi organisasinya. Akan tetapi, kepemimpinan transformatif berbeda dengan kepemimpinan kharismatik ala Soekarno ataupun Soeharto.

Para pemimpin yang transformatif lebih mementingkan revitalisasi para pengikut dan organisasinya secara menyeluruh ketimbang memberikan instruksi-intruksi yang bersifat top down.

Selain itu, pemimpin yang transformatif lebih memposisikan diri mereka sebagai mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya. Jangan lupa, pemimpin yang transformatif lebih menekankan pada bagaimana merevitalisasi institusinya, baik dalam level organisasi maupun negara.

Pemimpin transformatif senantiasa memberikan motivasi yang memberikan inspirasi bagi pengikutnya dengan cara melakukan komunikasi secara efektif dengan menggunakan simbol-simbol, tidak hanya menggunakan bahasa verbal. Dan biasanya, Pemimpin transformatif berupaya meningkatkan kapasitas para pengikutnya agar bisa mandiri, tidak selamanya tergantung pada sang pemimpin.

Dalam hal ini, potensi para pemimpin daerah seperti Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ahmad Heryawan, Gubernur DKI Jokowi, Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Teras Narang dan lainnya menjadi alternatif yang baik.

Kini, gebrakan publik harus diarahkan kepada pimpinan partai politik di pusat agar mau bertransformasi diri menjadi pemimpin yang modern dan demokratis, bukan oligarkis sehingga siap menyerap pemimpin daerah yang diwakafkan kepada rakyat dan pusat.

Langkah yang diambil Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Prof DR Yusril Ihza Mahendra tersebut agar pemilihan presiden (Pilpres) yang akan dilaksanakan sesuai dengan konstitusi sehingga pelaksanaan pemilu legislatif (Pileg) dan pemilu presiden (Pilpres) dapat dilaksanakan secara bersamaan dan semua partai politik (Parpol) peserta pemilu dapat mengajukan calon presiden (Capres) pada Pemilu 2014.

Menurut Yusril, sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, calon presiden (Capres) dan wakil presiden (Cawapres) harus diajukan oleh partai atau gabungan partai sebelum Pemilu. "Oleh karen itu PBB akan memperjuangan hal ini, karena apa yang terjadi sekarang jelas tidak sesuai dengan konstitusi, karena pencalonan presiden baru dilakukan setelah Pileg," papar Yusril.

Selain itu menurut Yusril, dalam UU Pilpres mencantumkan syarat partai bisa mengajukan pasangan capres bila dapat 20 persen kursi di DPR. "Ketentuan ini jelas-jelas bertentangan dengan  UUD 1945," tegas Yusril.

"Revisi bertujuan mengembalikan esensi pemilihan presiden sesuai UUD 1945. Jika permohonan ini dikabulkan maka akan banyak calon-calon presiden alternatif dari seluruh partai dan ini akan membuat peta kekuatan politik secara ekstrem berubah," lanjut Yusril.

Langkah yang diambil Yusril itu mendapat dukungan dari berbagai parpol yang ada, khususnya peserta Pemilu 2014. Di tengah kehangatan dinamika politik menuju Pilpres 2014, judicial review yang dilakukan pakar hukum tata negara, politikus dan intelektual Indonesia tersebut, membuat dinamika politik memanas.

Langkah Yusril tersebut mendapatkan dukungan dari berbagai tokoh nasional dan beberapa partai politik. Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia Irman Gusman mendukung uji materi (judicial review) yang diajukan Yusril Ihza Mahendra tersebut.

"Dalam kacamata saya, saya setuju untuk itu (gugatan Yusril ke MK, red)," kata Irman, seperti dilansir kompas.com, di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten.

Ketua Umum Partai Hanura Wiranto ke vivanews.co.id mengatakan, substansi tuntutan Yusril itu seide dengannya. Langkah Yusril tidak perlu didebat. Dia menilai tuntutan Yusril itu untuk mengembalikan nafas UUD 1945 dalam UU Pilpres.

Mantan Menteri Perekonomian era Presiden Megawati Soekarnoputri, Rizal Ramli mendukung langkah Ketua Dewan Pembina sekaligus calon presiden Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menggugat Undang-undang Pemilihan Presiden (UU Pilpres) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Jadi saya datang ke kantor Pak Yusril Ihza Mahendra karena beliau ahli tata negara. Beliau ajukan judicial review tentang syarat pengajuan presiden. Ini ide bagus, sebab politik Indonesia dikendalikan oligarki," jelas Rizal Ramli ke okezone.com.

Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto menegaskan ke merdeka.com siap menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal uji materi Undang-Undang Pilpres. Artinya tidak akan ada penolakan putusan dari Gerindra secara kepartaian.

"Proses yang dilakukan oleh Yusril adalah langkah konstitusional yang harus kita hormati. Saya mengapresiasi langkah konstitusional ini. Dari awal mulai revisi UU Pilpres di Baleg, Fraksi PPP berpandangan bahwa ketentuan presidential threshold (PT) 20 persen melanggar konstitusi dan tidak sesuai dengan ketentuan UUD 45," kata Ketua DPP PPP Arwani Thomafi, seperti dikutip dari Okezone.

Menurut Yusril ini yang dia katakan akan terjadi perubahan politik luar biasa jika uji materi UU Pilpres yang dia ajukan ke MK disetujui.

Saat ini diperlukan kearifan dan kebijaksaan pemimpin di negara ini agar kembali ke konstitusi, yakni sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, calon presiden (Capres) dan wakil presiden (Cawapres) harus diajukan oleh partai atau gabungan partai sebelum Pemilu.

Bagi pemangku kebijakan, semestinya juga memahami kondisi saat ini. Maka dari itu, jalankan juga Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, calon presiden (Capres) dan wakil presiden (Cawapres) harus diajukan oleh partai atau gabungan partai sebelum Pemilu.

Marilah sama-sama berpikiran untuk kemajuan bangsa dan negara ini. Diterima atau tidaknya judicial review tersebut, hendaknya juga semua pihak bisa menahan diri demi kelangsungan Pemilu yang kondusif. Kita tunggu saja hasilnya. (mar)

Penulis
Amril Jambak
Wartawan di Pekanbaru, Riau

Baca juga:
Sikon Polkam Luar Negeri 2014 Rawan Ketidakpastian
Pemanasan Pollitik Menjelang Buka Pintu 2014
Mencontek, Apakah Budaya yang Mendarah Daging?


Disclaimer:

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atauopini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com

Mulai 16 Desember sampai 3 Januari 2014 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Resolusi 2014". Ada kado akhir tahun dari Liputan6.com, Dyslexis Cloth, dan penerbit dari Gramedia bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini