Sukses

Memori Mengusik Hati, 9 Tahun Tsunami Aceh

Tiap kali tiba di penghujung Desember, tiap kali itu pula hati saya terusik dengan memori yang begitu kuat melekat.

Citizen6, Banda Aceh: Tiap kali tiba di penghujung Desember, tiap kali itu pula hati saya terusik dengan memori yang begitu kuat melekat. Ya, memori menjadi relawan kemanusiaan di ibu kota provinsi paling barat nusantara, Banda Aceh, yang hancur lebur akibat gempa besar 9.3 SR. Lalu, diikuti dengan gelombang dahsyat tsunami.

Minggu, 29 desember nanti, genap sembilan tahun saya berdomisili d Banda Aceh. Sembilan tahun silam, di hari ketiga pasca tsunami,pukul 1.30 siang, pesawat yang kami tumpangi landing diLandasan Udara Blang Bintang, Aceh Besar. Kami terpaksa mendarat di pangkalan AURI karena bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) mengalami over capacity.

Saya mendapat kepastian berangkat keAceh tanggal 28/12/2004 pukul 23.30 malam dengan pesan; jam 5 pagi sudah harus tiba di kantor pekaes sebagai titik pusat persiapan. Selepas subuh saya langsung naik taksi ke mampang prapatan, Jakarta Selatan. Pagi itu saya berangkat hanya membawa tas gendong (ransel) kecil berisi 3 pasang baju, 1 kain sarung, Al Qur'an dan perlengkapan mandi ala mahasiswa.

Pesawat carteranPak JK (Jusuf Kalla), wakil presiden masa itu, khusus buat tim medis dan relawan tsunami. Kami takeoff dariLANUDHalim Perdana Kusuma Jakarta jam 7 pagi. Seharusnya, jam 10 akan tiba di bandara SIM. Namun, kami terpaksa transit di ruang VIP Bandara Lancang Kuning Riau selama 2 jam.

Sebabnya adalah terjadi kepadatan lalu lintas pesawat di bandara Polonia Medan maupun di bandara SIM Blang Bintang, Aceh Besar dengan beragam jenis pesawat dari berbagai penjuru bumi yang hendak membantu korban tsunami.

Lebih kurang dua jam kami menanti di ruang VIP bandara itu. Beragam aktivitas pun dilakoni para relawan yang sudah tidak sabar mendarat di tanah rencong. Tapi, jamaknya, kawan-kawan relawan memantau perkembangan terkini Serambi Mekkah yang diberitakan oleh media online dan elektronik (televisi).

Di dalam pesawat, saya bersebelahan dengan redaktur majalah Tarbawi. Beberapa saat sebelum landing, dia memberikan rompi berlogo pekaes sembari berkata,"Kabarnya, untuk keamanan di lapangan nanti kita harus menggunakan atribut ini. TNI atau GAM tidak akan banyak tanya bila kita memakai atribut ini", ujarnya.

Saat menuruni tangga demi tangga pesawat, sempat terlihat warna kulit sang redaktur yang putih itu memerah karena sengatan terik matahari. Beruntung, saya menggunakan kaos berlengan panjang. Sehingga kulit saya -meski tidak seputih kulit redaktur itu- tetap terjaga.

Pemandangan memilukan seketika menohok mata begitu kaki menjejak bumi aceh. Barisan korban yang selamat dari terjangan tsunamiberjajar di pinggiran landasan pacu. Wajah-wajah trauma berat itu berdiri penuh harap agar mereka diterbangkan ke luar Aceh sesegera mungkin. Tak kuasa lagi mereka berdiam di tanah yang dulu menjadi tumpuan.

Mata-mata itu, tak sedikit pula bertatapan kosong. Tanpa semangat tanpa tujuan. Badan mereka memang ada. Tapi jiwa sudah sirna.

Pakaian di badan mereka pun beragam seperti beragamnya kondisi kejiwaan. Ada yang masih berpakaian lengkap, rapi dan elegan. Tapi, jumlahnya tak lebih banyak dari bilangan jari tangan. Kebanyakan pakaian merek sudah awut-awutan. Bahkan, tak sedikit bertelanjang dada dan kaki.

Yang sangat mengaduk-aduk perasaan adalah ibu-ibu muda yang menggendong buah hati mereka tanpa didampingi suami tercinta. Ada pula suami yang juga menggendong balita, tapi belahan jiwa tiada di sebelahnya.

Di salah satu sudut bandara, duduk seorang ibu tua. Merah matanya. Pandangannya lurus ke depan. Sedikit pun tak terpengaruh dengan hiruk pikuk sekelilingnya.

Memandangnya, seketika membuka memori saya –kepada klip video- tentang kondisi sama yang dialami ibu-ibu di palestina.

Desiran haru dan pilu dalam dada, pelan tapi pasti, bermetamarfosa menjadi butiran-butiran kaca di dua pelupuk mata. Begitu dahsyat kesedihan yang membersamai para survivor (korban selamat) tragedi terbesar abad ini.
 
Keterpakuan beberapa menit kala memandangi mereka harus dihentikan. Jemputan yang akan membawa kami ke markas besar para relawan telah tiba. Entah kenapa hati dan perasaan masih terpaut di LANUD itu. (bnu dan kw)

Penulis:
Ahmad Arif
Banda Aceh, banta_xxx@yahoo.com.

Baca Juga:
Peringati 9 Tahun Tsunami, Banda Aceh Gelar Kolaborasi Kreatif
Selebrasi Paradise Institute Bersama Binaan RUMAN Aceh
Refleksi Tsunami Warga Aceh di Jakarta
Disclaimer:

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atauopini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com

Mulai 16 Desember sampai 3 Januari 2014 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Resolusi 2014". Ada kado akhir tahun dari Liputan6.com, Dyslexis Cloth, dan penerbit dari Gramedia bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.



* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.