Sukses

Menjemput Sang Bethari Durga

Sesaji seekor ayam dipersembahkan kepada Sang Bethari Durga. Pangerehan memanunggalkan indra dilakukan. Muncul cahaya bersinar di sekililing tubuh Mangku Teja. Bethari Durga datang.

Liputan6.com, Gianyar: Pulau Bali. Siapa tak kenal? Pulau yang memiliki keelokan alam serta sarat dengan ritual keagamaan ini selalu menjadi daya pikat pendatang. Setiap hari di berbagai sudut kota maupun pedesaan mudah ditemui masyarakat sedang menjalankan ritual keagamaan. Sebagai penganut Hindu, masyarakat Bali percaya akan hidup sesudah mati. Mereka juga senantiasa menselaraskan antara manusia dengan alam sebagai mahkluk yang mempunyai wadak atau ruh yang harus di jaga keseimbangannya sebagai ciptaan Sang Hyang Widi. Tak salah jika kemudian pulau ini dijuluki sebagai Pulau Dewata. Pulau yang sarat dengan acara keagamaan.

Malam itu, sebuah keramaian terjadi di Pura Dalem, Desa Taman, Ubud, Gianyar, Bali. Kali ini, warga Desa Taman sedang melaksanakan odalan yakni ritual sembahyangan memperingati hari besar Pura Dalem. Sebuah pertunjukan pun digelar. Warga duduk tertib di depan pelataran pura, saat itu. Mereka menyaksikan tarian sakral Calon Arang, sebuah tarian dengan gerakan dinamis ditingkahi oleh alunan gamelan penuh dengan ritme mistik.

Konon, epos calon arang ini diadopsi dari cerita sejarah kerajaan Hindu Daha Kediri, Jawa Timur, yang mengajarkan makna ajaran hidup manusia. Dalam ajaran Hindu diyakini ada rwa bhineda, dua sisi kehidupan manusia yang tak terpisahkan, yakni dharma dan adharma atau perbuatan baik dan buruk. Oleh tarian itu, perbuatan baik dipersonifikasikan dalam wujud barong jelmaan Dewa Wisnu melawan perbuatan buruk Rangde atau Bethari Durga yang berwajah seram dengan gigi taring meruncing dan lidah memanjang.

Dalam pendekatan antropologi magis, dua wujud itu dimaknai sebagai aliran ilmu putih melawan ilmu hitam yang di Bali lebih dikenal ilmu panengan dan ilmu pangiwa. Ilmu pangiwa diwejahwantahkan sebagai ilmu pangleakan. Pertarungan keduanya selalu tak ada yang menang maupun kalah secara abadi. Selamanya mereka berimbang. Selagi bumi masih dipijak manusia, sejatinya ilmu putih dan ilmu hitam akan selalu ada dan terus beriringan menyertai sisi hidup manusia.

Desa Bangbang, Kabupaten Bangli, namanya. Sebuah desa yang asri, seperti juga desa-desa lainnya di Pulau Bali. Di desa ini tinggal Jero Mangku Teja, seorang laki-laki tua berusia 76 tahun. Ia tinggal di sebuah rumah khas Bali, berbatu bata tinggi. Mangku Teja yang tampak masih gesit dibandingkan orang-orang seusianya adalah seorang seniman tari calon arang yang biasa memerankan leak, tokoh beraliran hitam berwujud Rangde.

Sebagai penari Rangde, Mangku Teja memiliki kemampuan linuwih dalam penguasaan ilmu hitam pangleakan. Karena kemampuan olah batinnya yang cukup tinggi itulah, ia dipercaya warga desa untuk memimpin upacara-upacara keagamaan di desanya. Tak sedikit pula anggota masyarakat yang datang menemuinya untuk meminta pengobatan dengan metode yang terkadang sulit diterima akal.

Hari itu, misalnya. Mangku Teja mengobati seorang ibu yang oleh dokter telah divonis mengidap penyakit kanker. Perempuan warga Desa Besakih itu diobati melalui ilmu pangleakan. Ia dinyatakan terkena penyakit kutukan dari arwah leluhurnya. Mangku Teja lalu memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa dengan menyalurkan energi lewat tirta maha merta untuk menghidupi sapta petaka, tujuh lapis organ tubuh yang menyelimuti manusia.

Matahari pagi yang sangat cerah sedang menyinari tubuh Mangku Teja di halaman rumahnya. Raut wajah sang kakek yang tampak bersahaja ini seakan sedang menyembunyikan kegundahan, kegelisahan seorang Mangku yang berpuluh-puluh tahun menguasai ilmu pangiwa atau ilmu hitam. Sudah tak terbilang jumlah orang yang telah ditolongnya. Disembuhkan dari berbagai penyakit. Namun tetap saja sebagian masyarakat masih menganggap ilmu pangleakan sebagai ilmu yang sangat berbahaya dan harus dijauhi.

Kegemarannya pada burung perkutut, seolah ingin mengabarkan bahwa ilmu pangleakan bukan ilmu sesat untuk mencelakai orang. Tetapi ilmu yang juga dapat digunakan untuk kebaikan, sama halnya dengan ilmu putih. Semua tergantung pada manusia yang menggunakannya. Ketika malam tiba, kepada para muridnya, Mangku Teja mengajarkan lontar kawisesan yang berisi aji pangleakan. Ajian yang diyakini bisa mengubah sosok tubuh manusia menjadi Bhuta atau Rhande, wujud Bethari Durga.

Sebelum mempelajari lontar kawisesan, seorang murid harus menerima syarat yang cukup berat. Paham akan pasuk wetuning aksara atau keluar-masuknya arwah dari dan ke dalam tubuh. Bersedia mati setiap saat dan tidak menyesalinya serta bersedia hidup dalam keadaan susah. Usai mendengar wejangan, beberapa asisten Mangku Teja berangkat membawa sesaji menuju tempat pekuburan Desa Bangbang. Sesaji pun digelar di atas gegumukan atau bekas timbunan mayat yang baru dikubur. Kini tiba saatnya Mangku Teja mentransfer ilmu pangleakan kepada murid-muridnya dan sekaligus mengujinya.

Sebuah prosesi ritual pun di gelar. Sesaji berupa seekor ayam dipersembahkan kepada Sang Bethari Durga. Mangku Teja melakukan pangerehan dengan memanunggalkan indra dengar, indra lihat, dan indra rasa. Nunggal idep kalawan kaidep adalah paduan antara pikiran dan yang dipikirkan. Maka dalam sekejap, muncul cahaya bersinar di sekililing tubuh Mangku Teja. Konon itulah Bethari Durga yang turun dan masuk ke dalam tubuh Mangku Teja disusul munculnya lidah panjang Bethari Brawi.

Leak memang bukan sosok yang mudah untuk dibuktikan, apalagi hendak dilacak secara nyata. Hanya orang-orang tertentulah yang mampu melihatnya, baik secara kebetulan ataupun secara sengaja. Satu yang pasti, fenomena leak adalah salah satu realitas kehidupan di Pulau Dewata yang penuh dengan atmosfir mistis dan magis.(AWD/Tim Potret SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini