Sukses

Menggali Emas Menabur Benih Bencana

Belasan penambang emas tewas di Pongkor, Bogor, Jabar. Diduga, peristiwa ini dilatarbelakangi persaingan antara penambang sah dan ilegal. Eksploitasi emas yang tak terkendali bisa membahayakan lingkungan.

Liputan6.com, Bogor: Emas, di mana pun berada, selalu menjadi bahan buruan. Demam emas dipastikan mengikuti setiap suatu daerah dinyatakan memiliki kandungan emas. Sayangnya, daya tarik logam berwarna kuning mengkilau itu kerap membuat manusia mengabaikan keselamatan. Di kawasan Pongkor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ratusan nyawa melayang sejak daerah itu menjadi areal penambangan emas.

Awal bulan ini, musibah kembali terjadi di sana. Sebanyak 13 orang tewas. Tapi, berbeda dengan kasus sebelumnya, peristiwa nahas kali ini diduga dilatarbelakangi persaingan antara PT Aneka Tambang (Antam) sebagai penambang sah dan masyarakat kecil yang mengeruk emas secara ilegal [baca: Sebelas Penambang Liar Tewas].

Belakangan beredar rumor, manajemen PT Antam mengusir penambang liar dengan mengasapi lubang-lubang tambang ilegal. Dua penambang ilegal yang selamat mengatakan, saat bekerja tiba-tiba tercium bau asap. Menurut mereka, sebenarnya PT Antam biasa mengusir penambang gelap dengan mengasapi lubang. Tapi kali ini bau asap berbeda, seperti menggunakan campuran kimia tertentu. "Baunya kayak asap ban [dibakar]," kata seorang saksi yang tidak mau diketahui identitasnya itu.

Keterangan ini didukung kesaksian Dokter Jaya Suryaatmadja yang mengotopsi korban. Jaya menyatakan, korban tewas karena menghirup asap hasil pembakaran bahan kimia tertentu. "Ada tiga korban, pada saluran napasnya terdapat lendir dan jelaga yang menunjukkan mereka menghisap asap pekat dengan kadar karbondioksida cukup tinggi dan mematikan," kata Jaya. Sementara kematian seorang korban yang juga karyawan PT Antam tidak disebabkan asap yang dihirup. Menurut Jaya, korban tewas karena tersengat aliran listrik.

Indikasi lain yang memperkuat dugaan masyarakat adalah laporan hasil rapat antara PT Antam, Perhimpunan Ahli Tambang Indonesia (Perhapi), dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah dan Pemerintah Kabupaten Bogor pada Februari 1999. Dalam laporan itu, Perhapi mengusulkan ide Silent Operation untuk mengatasi gangguan di area pertambangan.

Menanggapi hal ini, Direktur Utama PT Antam Dedy Aditya Sumanagara membantah keras. Dedi menyatakan, asap bermasalah tadi bukan buatan PT Antam. "Setelah cek dan recheck dari orang-orang kita, sumbernya [asap] memang bukan dari Aneka Tambang," tegas Dedi. Anehnya, beberapa karyawan PT Antam mengungkapkan pendapat berbeda mengenai asal asap [baca: PT Antam Membantah Menjadi Penyebab Insiden Pongkor].

Kasus Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Pongkor sebenarnya mulai marak pada awal 1990-an, menyusul penemuan tambang emas di daerah tersebut oleh PT Antam pada 1984. Berdasarkan survei, kawasan Pongkor menyimpan cadangan emas sekitar 70 juta ton dan 600 juta ton perak. Temuan ini praktis menyedot perhatian masyarakat sekitar, bahkan warga di luar daerah seperti Banten. Jumlah penambang liar atau gurandil pun membengkak setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi pada 1997. Hingga akhir 2000, tercatat sekitar 6.000 penambang liar. Dari total itu, sekitar 70 persen adalah warga pendatang.

Saat itu memang masa kejayaan bagi para penambang liar. Setiap bulan, rata-rata dikeruk 60 kilogram emas senilai Rp 6 miliar. Hal ini tentu saja membuat gerah PT Antam sebagai penambang sah. Maka, PT Antam bersama Tim Penanggulang PETI berusaha membasmi penggalian liar. Hasilnya, jumlah penambang liar menyusut hingga tinggal ratusan.

Tapi, usaha memberangus penambang liar tadi tak pernah tuntas. Hal ini terjadi karena ada sejumlah karyawan PT Antam yang menyeleweng dan keberadaan aparat keamanan yang membekingi penambang ilegal. Konon, untuk membuka sebuah lubang galian perlu dana sekitar Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta, untuk menyuap karyawan PT Antam dan aparat keamanan.

Ihwal penyelewengan pun bukan isapan jempol. Belum lama ini, PT Antam memecat 12 karyawan yang terbukti menerima suap dalam kasus penambangan. Detasemen Polisi Militer Bogor juga menangkap sembilan anggota TNI yang membekingi penambang gelap, enam tahun silam.

Di luar soal penambangan liar, ada masalah lain yang mengancam lingkungan hidup sekitar lokasi tambang. Sebutlah bahaya longsor dan pencemaran sungai. Menurut penelitian Pusat Studi Masyarakat Universitas Ibnu Khaldun Bogor, sebanyak 4,8 ton merkuri dibuang ke Sungai Cikaniki oleh para penambang ilegal. Merkuri adalah logam berat yang digunakan penambang untuk memisahkan emas dari butiran pasir. Kondisi ini diperparah dengan limbah pengolahan emas yang mengandung cyanida yang dibuang PT Antam ke sungai yang sama.

Nasib serupa juga menghantui wilayah pertambangan emas di berbagai tempat di Tanah Air. Di Kalimantan Tengah, misalnya. Sebanyak tujuh dari 11 sungai besar di provinsi itu dinyatakan tercemar logam merkuri. Sungai Kahayan di Kota Palangkaraya adalah yang terparah. Kandungan merkuri di sungai tersebut berkisar 0,003 miligram hingga 0,009 mg per liter. Sedangkan batas normal kandungan merkuri adalah 0,001 mg per liter.

Tak sulit menemukan penambang liar di sungai sepanjang 400 kilometer itu. Bapedalda Palangkaraya menyebutkan, ada 10 ribu mesin penyedot pasir di Kalteng. Ini artinya, terdapat sekitar 50 ribu orang yang menggantungkan hidupnya sebagai penambang emas. Separuh dari total itu beroperasi di Sungai Kahayan.

Selain di sungai, penambangan juga berlangsung di hutan-hutan dataran rendah di Desa Tumbang Teriak, Gunung Mas, Palangkaraya. Bukit digerus dan diproses menjadi emas tanpa mempedulikan dampaknya terhadap lingkungan.

Pemerintah sebenarnya tak hanya berpangku tangan. Juni tahun silam, Pemerintah Provinsi Kalteng menerbitkan peraturan yang membatasi peredaran, perdagangan, dan penggunaan merkuri. Peraturan yang serupa juga diperkuat dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254 Tahun 2000, yang memasukkan merkuri ke dalam daftar bahan kimia yang berbahaya. Masalahnya, kasus ini tak mudah dituntaskan karena terkait dengan kelangsungan hidup masyarakat bawah.

Penggunaan merkuri yang tak terkontrol terjadi karena ada suplai besar-besaran di Kota Palangkaraya dan sekitarnya. Logam berat itu diperjualbelikan bak pisang goreng. Dengan kamera tersembunyi, terekam transaksi merkuri di sebuah toko emas di Pasar Besar, Palangkaraya. Zat kimia beracun itu dijual eceran seharga Rp 48 ribu per botol atau Rp 4,2 juta per kaleng besar berkapasitas 35 kilogram.

Kondisi ini dibenarkan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalteng Haryanto Halim. Dia menyebutkan, setiap tahun puluhan ton merkuri diperjualbelikan di Kalteng. "Ini seperti buah simalakama. Kalau kita melakukan tindakan tegas, ya akibatnya juga cukup drastis, karena itu menyentuh kehidupan masyarakat," kata dia.

Keadaan yang tak jauh berbeda juga terjadi kawasan Pegunungan Tatelu dan daerah aliran sungai Talawaan, Minahasa, Sulawesi Utara. Masyarakat setempat memang sudah meninggalkan cara pengolahan emas dengan menggunakan merkuri. Sebagai gantinya, mereka memakai cyanida yang dianggap ramah lingkungan.

Cyanida memang lebih aman dibanding merkuri. Tapi, jika penggunaannya tidak tepat, buntutnya akan berdampak sama parah. Seperti di Palangkaraya, Pemerintah Provinsi Sulut juga kesulitan menghentikan penambangan gelap. Bahkan, sebuah tambang emas di Talawaan masih beroperasi meski disegel dan dilingkari dengan garis polisi. Seorang pemilik tambang Meidi berdalih, usahanya ini sudah mengantongi rekomendasi dari Bapedalda Sulut.

Menurut Kepala Bidang Pengendalian dan Pencemaran Badan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulut Diana Dondokambey, rekomendasi dari Bapedalda belum cukup untuk mengoperasikan penambangan. Izin penambangan harus diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta. "Tapi izin itu juga harus ada rekomendasi dari [pemerintah] provinsi," kata dia.

Kerusakan lingkungan hidup di Talawaan memang parah. Warga setempat tak berani mengkonsumsi air sungai. Untuk minum, warga lebih memilih membeli air minum dalam kemasan. Bahkan, penelitian terakhir Badan Pengelola Lingkungan Hidup Sulut menyebutkan, cyanida sudah mengendap di insang ikan penghuni sungai. Akibatnya, komoditi ikan tawar dari Desa Talawaan tak laku di pasaran.

Meski dilarang, cyanida mudah didapat di toko-toko emas atau alat-alat pertanian di daerah perkotaan seperti Manado. Sebuah toko perhiasan emas di sana menyatakan sanggup memenuhi pesanan hingga 300 kilogram cyanida. Menurut pemilik toko, zat kimia tersebut dipasok dari Surabaya, Jawa Timur, dan Jakarta.

Selain dari kedua kota tersebut, beredar kabar cyanida di Kota Manado juga hasil selundupan dari Filipina. Cyanida itu dipasok imigran gelap Filipina yang dipekerjakan sebagai tenaga ahli di penambangan emas. Padahal selain beracun, bahan cyanida juga berbahaya karena bisa digunakan teroris sebagai bahan peledak.

Peredaran merkuri dan cyanida di beberapa daerah bisa menjadi bom waktu bagi negeri ini. Dampak yang lebih mengerikan mengintai anak cucu di masa mendatang. Bukan tak mungkin, 10-20 tahun ke depan terlahir satu generasi cacat di Bumi Pertiwi. Semoga itu tak pernah terjadi.(ZAQ/Tim Sigi SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini