Sukses

Ramai-Ramai Merebut Hati Mereka yang Terlupakan

Kampanye Pemilu 2004 dimulai. Para jurkam parpol peserta pemilu beraksi. Semua berteriak punya maksud baik. Ada juga pejabat negara berkampanye menggunakan fasilitas yang berkaitan dengan jabatannya.

Liputan6.com, Jakarta: Seperti berjualan di pasar saja, partai politik ramai-ramai menawarkan barang dagangan, baca: program politik. Semua mengklaim barang dagangannya nomor satu, yang terbaik, dan layak dicoblos. Barang lain, kecuali miliknya, meski tak dilontarkan secara gamblang: jelek, kualitas nomor dua. Karena itu tak layak dipilih.

Tanggal 11 Maret 2004, kampanye Pemilihan Umum 2004 dimulai. Para juru kampanye 24 parpol peserta pemilu beraksi. Masing-masing berebut simpati massa. Di Lapangan Astina Raya, Gianyar, Bali, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Sukarnoputri meminta massa mencoblos moncong putih banteng PDIP. Menurut dia, jumlah suara yang sedikit bisa mempermalukan partai. "Kalau nanti suaranya menjadi berkurang dari sepuluh kursi yang akan kita perebutkan, kita tidak bisa mendapatkan dengan jumlah yang banyak, maka saya Megawati Sukarnoputri, akan merasa malu," tegas Megawati [baca: Megawati Malu Jika PDIP Kalah di Bali].

Di Malang, Jawa Timur, Ketua Umum Partai Golongan Karya Akbar Tandjung memilih naik delman untuk menuju lokasi kampanye. Akbar dan para pembesar Golkar setempat dikawal simpatisan partai yang berlari di kiri dan kanan kereta kuda beroda empat itu. Sedangkan Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais berkampanye di kawasan Depok, Semarang, Jawa Tengah, dengan mendatangi Pasar Prembaen dan berdialog dengan pedagang. Amien yang fasih berbahasa Jawa juga sempat membeli makan siang berupa nasi bungkus bahkan memilih sendiri lauknya [baca: Akbar Naik Andong, Megawati Bergoyang].

Di balik kemeriahan dan macam-macam cara para pemimpin parpol tersebut merebut hati rakyat, Pasal 75 Ayat 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, ternyata dilanggar. Mega, dalam kapasitas sebagai Ketua Umum PDIP, ternyata tetap menggunakan fasilitas yang berkaitan dengan jabatannya sebagai kepala negara. Dalam kasus ini, kampanye Mega diamankan Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres). Panggung tempat Mega berpidato juga dibersihkan personel Paspampres, termasuk menyediakan pintu detektor logam. Ketua Umum PPP Hamzah Haz yang menjabat Wapres pun begitu saat berkampanye di Sampang Madura.

Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu Ray Rangkuti mengungkapkan, Mega dan Hamzah juga berkampanye bukan di masa cuti. Padahal, sebelumnya Mega dan Hamzah bersepakat tak cuti karena akan berkampanye di akhir pekan [baca: Megawati dan Hamzah Dianggap Melanggar Ketentuan Pemilu].

Ada juga simpatisan PPP yang terlibat tindak kekerasan terhadap warga di Yogyakarta. Tentang ini, KPU Kota Yogyakarta langsung mengeluarkan surat peringatan tertulis kepada petinggi PPP Kota Yogyakarta. Dua pelanggaran yang tercatat, pertama pembacokan yang akan masuk pelanggaran hukum pidana dan akan diproses polisi. Kedua, PPP melakukan pelanggaran karena mengubah dan melanggar rute konvoi kampanye.

Catatan kepolisian juga menemukan pelanggaran lalu lintas paling banyak dilakukan para simpatisan parpol di jalan raya. Di Medan, Sumatra Utara, jurkam PDIP Sabam Sirait menghina parpol lain. Dia juga membeberkan kinerja pemerintahan Soeharto yang buruk [baca: Juru Kampanye PDIP Menghina Parpol Lain].

Gegap gempita suasana kampanye Pemilu 2004--juga pemilu-pemilu sebelumnya--sejak 11 Maret 2004 jadi lebih mirip sebuah lagu almarhum Benyamin Suaeb, tentang pedagang jeruk dan asem. Yang satu berteriak "jeruk", satu lagi berteriak "asem", yang kalau digabung bikin kedua pedagang nyaris berhantam. Soalnya, jeruk yang dijual si pedagang, karena ditimpali ocehan pedagang yang satunya lagi, rasanya jadi asam.

Para jurkam parpol tak mau kualitas dagangannya dirusak orang lain. Semua berteriak punya maksud baik. Dan warga banyak yang dilanda kebingungan. Maksud baik untuk siapa? Sementara setelah pesta demokrasi lima tahunan selesai, mereka kembali menjadi yang terlupakan.(SID/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini