Sukses

Lakukan Pembantaian Massal, 150 Tentara Bangladesh Digantung Mati

Sudah lebih dari 150 tentara diganjar dengan hukuman mati, terkait pemberontakan selama 30 jam tersebut.

Sebanyak 150 tentara Bangladesh akan dieksekusi mati atas pembantaian selama 30 jam terhadap warga sipil Bangladesh. Mereka adalah sebagian dari 800 tentara yang diganjar hukuman mati oleh Pengadilan Sipil Bangladesh.

"Para narapidana dieksekusi gantung sampai mati," ujar Mohammad Akhteruzzaman, seorang hakim senior di Dhaka Metropolitan Sessions Court saat memvonis 152 penjaga perbatasan paramiliter seperti dimuat BBC yang dilansir Liputan6.com, Rabu (6/11/2013).

Para prajurit didakwa atas tuduhan pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, penjarahan senjata dan konspirasi. Mereka sudah lebih dulu divonis bersalah dalam pengadilan militer.

"Kami sudah lama menunggu vonis dan ingin membersihkan citra pasukan yang ternoda oleh aksi pembantaian itu," ucap Mayor Jenderal Ahmed Aziz yang kini memimpin para penjaga perbatasan.

Ketika 150 prajurit telah dieksekusi, sekitar 400 lainnya dijatuhi hukuman penjara antara 7 tahun hingga seumur hidup. Sementara 271 lainnya dinyatakan tidak bersalah.

"Kekejaman mereka amat mengerikan, sampai jenazah saja tidak mendapat haknya," tutur Jaksa Senior Mohammad saat membacakan vonis di ibukota Dhaka.

74 Orang termasuk 57 perwira tewas dalam pemberontakan di markas penjaga perbatasan Bangladesh, Dhaka pada Februari 2009. Bahkan disebutkan dalam dakwaan, jenazah beberapa perwira tinggi militer dilempar ke saluran pembuangan maupun dikubur dalam lubang yang dangkal.

Penyelidik awalnya menduga ada 850 orang termasuk 23 warga sipil yang terlibat dalam pemberontakan tersebut. Namun keputusan terakhir hakim menyebutkan jumlah yang telibat 846 orang. Tapi selama masa penahanan, 4 tersangka meninggal dalam tahanan.

Beberapa ribu tentara bersenjata yang dikenal dengan sebutan Tentara Bersenjata Border Riffles (BDR) mengambil alih markas mereka sendiri di ibukota selama 2 hari dan membantai puluhan orang, termasuk anggota tentara Bangladesh yang ditempatkan dengan BDR.

Para warga sipil yang terkait dalam kasus ini di antaranya mantan anggota parlemen dari oposisi Partai Nasionalis Bangladesh, Nasiruddin Ahmed Pintu, dan pemimpin Liga Awami Torab Ali.

Jaksa Negara Mosharrof Hossain Kazal mengatakan kepada CNN bahwa 161 orang, termasuk Pintu dan Ali, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Pemberontakan meletus kurang dari 2 bulan setelah pemerintah Liga Awami --yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sheikh Hasina-- berkuasa pada Januari 2009 dengan kemenangan telak.

Menurut dakwaan yang dibacakan Jaksa, para penjaga perbatasan mengambil senjata, membunuh para perwira , dan memegang keluarga petugas untuk disandera di apartemen staf di dalam kompleks markas. Mereka yang tewas juga termasuk Kepala Penjaga Perbatasan, Mayjen Shakil Ahmed, dan istrinya.

Paca-pembantaian itu, pemerintah kemudian mengganti nama BDR menjadi penjaga perbatasan Bangladesh. Yang bertanggung jawab utama di bawah Kementerian Dalam Negeri, untuk menjaga perbatasan 4.000 kilometer di negara itu dengan India dan Myanmar.

Dikritik


Mengawal persidangan para prajurit yang divonis hukum gantung itu, kelompok pegiat hak asasi manusia, Human Rights Watch pun angkat bicara. Mereka mengkritik pengadilan massal Bangladesh, karena dianggap tidak menjamin keadilan.

Mereka menyebut pemberontakan itu dipicu oleh tuntutan kenaikan gaji dan berbagai keluhan lainnya. Namun pihak berwenang Bangladesh sudah menepis tuduhan tersebut.

Kelompok itu juga mengangkat tewasnya 47 terdakwa di pengadilan dan terbatasnya akses mereka kepada penasehat hukum.

Kritikan juga datang dari pengacara salah satu prajurit yang akan dieksekusi, Shamim Sardar. Ia mengatakan kepada wartawan bahwa majelis hakim tak menegakkan keadilan. Karenanya, ia berjanji untuk naik banding ke pengadilan yang lebih tinggi.

Sekitar 6.000 tentara sudah lebih dulu dijatuhi hukuman penjara karena terlibat pemberontakan yang sempat menyebar ke beberapa pangkalan militer di negara itu. (Tnt)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.