Sukses

Dituntut 6 Tahun Bui, Terdakwa Chevron Nilai Jaksa Lebihi Dakwaan

JPU menuntut terdakwa Bachtiar Abdul Fatah selama 6 tahun penjara atas kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi fiktif PT Chevron.

Jaksa Pentutut Umum (JPU) menuntut terdakwa Bachtiar Abdul Fatah selama 6 tahun penjara atas kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Tuntutan Jaksa dinilai melebihi dakwaan atau ultra petita.

Pengacara Bachtiar, Maqdir Ismail menilai tuntutan JPU tidak diimbangi dengan kerugian negara yang disebutkan dalam tuntutan, lebih besar dari jumlah yang tercantum dalam surat dakwaan.

"Tunturan tadi ultra petita. Dalam dakwaan, kerugian negara akibat pembayaran kepada PT Sumigita Jaya adalah 221 ribu (dollar Amerika) sekian, tapi tiba-tiba sekarang ini dituntut merugikan negara 228 ribu (dollar Amerika)," kata Maqdir di Pengadilan Tipikor, Rabu (2/10/2013) malam.

"Di dakwaan jaksa disebut invois yang ditagihkan pihak Chevron itu 2 kali, disebut 225 ribu (dolar Amerika) sekian. Bagaimana pertanggungjawab ini," heran Maqdir.

Seperti diketahui JPU dalam sidang beragenda tuntutannya, Jaksa meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor yang dipimpin Antonius Widianto, menyatakan terdakwa Bachtiar bersalah dalan perkara dugaan tindak pidana korupsi bioremediasi fiktif tersebut.

"Menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah lakukan tindak pidana korupsi sebagaimana di dakwaan primer. Maka JPU meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana 6 tahun penjara dikurangi masa tahanan kepada terdakwa Bachtiar Abdul Fatah," ungkap Jaksa Surma dalam pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor malam tadi.

Selain itu, terdakwa juga diminta untuk membayar denda sebesar Rp 500 juta. Namun JPU tidak menuntut terdakwa membayar uang pengganti karena itu sudah dilimpahkan kepada terdakwa Herlan bin Ompo dalam perkara yang sama berkas berbeda.

Menanggapi tuntutan tersebut, terdakwa Bachtiar Abdul Fatah mengatakan, bahwa tuntutan 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta kepadanya bersumber pada dua hal, yakni pengadaan kontrak bioremediasi dan izin SBF.

"Pengadaan kontrak yang tidak bediri sendiri di bridging C905616, tapi dikaitkan dengan 7861 yang konon ada miss di situ mengenai panitia pengadaannya. Makanya ditarik, karena itu tidak sah, makanya briging tidak sah, tapi mengapa gak sah dan salahnya itu berlaut-larut. Kalau memang itu salahnya, bukan satu orang, Bachtiar Abdul Fatah? Ini salahnya 7 ribu orang karyawan Chevron, termasuk eksekutifnya, kalau sesuai logika sehat," ungkap dia.

Jadi dia menilai, logika hukum memilah-milah karena ada pernyataan yang menarik, yakni dari kaca mata hukum boleh mempunyai definisi sendiri yang sifatnya memaksa.

"Jadi apapun yang menurut akal sehat,  tidak demikian dari kacamata hukum, JPU dalam tanda kutip boleh memaksa."

Selain itu, ia mengungkapkan, bahwa ada beberapa fakta hukum yang dihilangkan demi menguntungkan pihak tertentu. Seperti keterangan saksi ahli Prof Leica yang kutipan kalimatnya terpotong. "Kalau tidak punya izin atau izinnya habis, maka aktivitasnya tidak sah."

"Padahal lengkapnya kata Laica dalam kesaksiannya. Walaupun izinnya sudah habis dan sedang diperpanjang dan tidak ada larangan dari pemberi izin, dan pemberi izin melakukan pengawasan terhadap aktivitas-aktvitas itu, itu sah," beber Bachtiar.

Pemotongan kalimat dari keterangan saksi ahli Laica itu, Maqdir Ismail menilai hal itu sangat mengelitik sekaligus sangat fatal dan merupakan rangkaian dari sejumlah kesalahan. Apalagi, hakim praperadilan sudah membebaskan status tersangka Bachtiar dan putusan praperadilan tersebut tidak bisa dilakukan banding.

Atas tuntutan jaksa itu tim kuasa hukum dan terdakwa akan mengajukan pembelaannya masing-masing. Sidang akan dilanjutkan pada Rabu 9 Oktober pekan depan dengan agenda pembelaan terdakwa. (Mvi)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.