Sukses

Pedepokan Baru bagi Sumedang Larang

Memercikkan air suci, menyalakan obor dan meriam bambu, serta pemasangan beberapa kincir angin menjadi syarat spiritual. Di akhir acara, penjelmaan raja-raja masa lampau menyampaikan petuah tentang masa depan.

Liputan6.com, Sumedang: Ritual kecil berlangsung di sebuah rumah di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Hari itu menjadi penting bagi Sumedang Larang, sebuah organisasi spiritual. Para anggotanya bakal menuntaskan kerja keras selama tiga bulan untuk membangun sebuah pedepokan baru. Setelah memindahkan sejumlah pusaka sebagai simbol keberadaan organisasi, sejumlah prosesi digelar dua hari berikutnya.

Sumedang Larang menjadi tempat berkumpulnya para jawara, dukun, paranormal, seniman tradisional, dan ahli-ahli kebatinan di tataran Kabupaten Sumedang. Organisasi ini juga wadah untuk membangkitkan kembali nilai-nilai luhur yang menjadi pedoman kehidupan masyarakat Sumedang. Para anggotanya dipersatukan dengan spiritualitas nilai lokal yang diwariskan karuhun atau leluhur.

Saat acara dimulai nuansa gaib dan magis terasa kental ketika sejumlah aksi uji kesaktian dipertontonkan. Mereka yang hadir bisa menyaksikan bocah laki-laki dicambuk tapi tak merasakan sakit sedikitpun atau pria yang mengunyah batu kali layaknya memakan cemilan. Acara ini juga diwarnai pentas hiburan yang menyegarkan. Seniman-seniman tradisional dengan bakat yang luar biasa menggelar drama singkat yang mampu mengocok perut.

Acara utama mulai digelar ketika hari beranjak gelap. Kidung mistis disenandungkan untuk mengundang kedatangan roh-roh gaib. Dalam alam pikiran orang Sumedang, sebuah bangunan tak berbeda dengan tubuh manusia yang terdiri atas unsur air, tanah, api, dan angin dengan fondasi pada hati. Dengan keempat unsur itu, energi Ketuhanan lebih gampang diserap oleh mereka yang ingin berzikir, meditasi, dan berbagai ritual lainnya.

Secara simbolis, konsepsi ini diwujudkan melalui memercikkan air suci, menyalakan obor dan meriam bambu serta pemasangan beberapa kolecer atau kincir angin. Kolecer menjadi simbol dari udara atau oksigen dalam tubuh manusia. Penyaluran udara adalah unsur energi penting yang bisa menentukan jiwa sebuah rumah. Energi bisa diserap sebuah rumah dengan sirkulasi udara yang lancar. Beberapa kolecer yang dipasang di sekitar rumah bisa membantu menyerap energi dari atas langit. Lengkaplah sudah, pedepokan ini didirikan dengan beberapa syarat spiritual.

Warga Sumedang Larang tidak peduli dengan berbagai kesibukan manusia di berbagai daerah menyambut Tahun Baru. Pada malam pergantian tahun mereka justru menanti pupuhuk atau titisan para karuhun yang akan memberikan sejumlah petuah. Setiap kali hajatan digelar, pupuhuk datang di akhir acara. Begitu semua anggota berkumpul di bangunan utama pedepokan, muncullah sang pupuhuk.

Dilihat dari segi fisik, pupuhuk berusia muda. Dalam keseharian, dia hidup seperti orang biasa. Terkadang masyarakat tidak mengetahui posisi pupuhuk begitu kuat di organisasi ini. Pupuhuk yang menguasai kehidupan gaib dianggap penjelmaan raja-raja di masa lampau. Pupuhuk bernama Asep Yudi mempunyai cara beragam untuk mengundang arwah-arwah karuhun.

Malam itu Asep menggunakan tarian yang membawanya ke alam transendental. Di alam antara sadar dan tidak sadar itu para karuhun bergegas masuk ke dalam tubuhnya dan berbaur dalam sebuah tarian mistis. Puncak acara yang selalu ditunggu adalah saat para karuhun menyampaikan wejangan melalui wadag kasar atau tubuh pupuhuk.

Lewat mulut pupuhuk, karuhun menyampaikan pesan-pesan moral dan cerita masa depan. Berbagai cobaan akan mengisi tahun-tahun berikutnya. Bencana banjir, badai, kebakaran, dan gempa bumi masih mewarnai kehidupan manusia. Dalam pandangan Karuhun, orang-orang yang serakah dan suka mengumpat akan menemui karmanya. "Ya Allah, ampuni saudara-saudara saya yang tetap saling sikut tak ada puasnya,&quot ujar karuhun.

Sang pencipta juga sudah memperlihatkan gambaran kiamat seperti penjajahan ekonomi kian meluas, banyaknya pembunuhan, serta makin sedikit orang yang mengumandangkan azan dan datang ke masjid. "Mereka hanya berlomba memperindah bangunan masjid, tapi sedikit yang beribadah," lanjut karuhun.

Ucapan pupuhuk terlihat begitu dihayati para anggota Sumedang Larang. Prosesi ini diakhiri dengan denting kecapi yang mengiringi penuturan pendongeng tentang petualangan seorang tokoh bernama Lengser. Dalam cerita rakyat itu, peran Lengser memiliki kesamaan dengan para punakawan dalam cerita pewayangan. Lengser menyoroti kelakuan para pejabat tinggi yang beramai-ramai menggerogoti kekayaan negeri.(COK/Budi Prastowo dan Bambang Tri)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini