Sukses

MK Tolak Permohonan Uji Materi Pimpinan Syiah Sampang

Permohonan itu diajukan Tajul Muluk, pimpinan Syiah di Sampang, Madura. Pemohon adalah terpidana kasus penistaan agama.

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi aturan mengenai Penodaan Agama. Permohonan itu diajukan Tajul Muluk, pimpinan Syiah di Sampang, Madura. Pemohon adalah terpidana kasus penistaan agama.

"Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Akil Mochtar saat membaca amar putusannya di Gedung MK, Jakarta, Kamis (19/9/2013).

Tajul Muluk meminta agar MK menyatakan Pasal 156 (a) KUHP juncto Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah menimbang, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menurut Mahkamah, penerapan Pasal 156a KUHP adalah merupakan ruang lingkup kewenangan mutlak peradilan umum atau merupakan permasalahan penerapan norma. Bukan persoalan konstitusionalitas norma.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah mengatakan, sanksi pidana dalam Pasal 156a KUHP yang terkait dengan penafsiran suatu ajaran agama atau penyimpangan dan penyalahgunaan agama tertentu merupakan sanksi yang bersifat ultimum remedium.

"Bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 telah menolak permohonan untuk menyatakan UU Pencegahan Penodaan Agama bertentangan dengan konstitusi," kata Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.

Tajul Muluk ditahan atas sangkaan melanggar Pasal 156a KUHAP juncto Pasal 4 UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Karena itu, ia mengajukan permohonan uji materi Pasal 156a ke MK.

Kuasa hukumnya Ahmad Taufik menyatakan tidak ada kepastian dan tolak ukur mengenai permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan menimbulkan penafsiran yang berbeda bagi tiap orang. Penggunaan pasal tersebut, sambung Taufik, didasarkan atas pemahaman yang salah terhadap ajaran Syiah.

Atas putusan ini, lebih jauh Taufik menilai MK tidak konsisten dalam penerapan yang dinilai melanggar konstitusi. "MK sebagai pengawal konstitusi harus meluruskan dengan memberikan tafsir yang benar supaya bagi penegak hukum di lapangan tidak melanggar aturan hukum, terutama konstitusi," kata Taufik.

Taufik menyatakan akan mencari upaya lain untuk membahas kembali undang-undang tersebut agar permohonannya tidak 'nebis in idem' atau tindakan yang tidak boleh dilakukan untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama.

"Ketika suatu golongan dinyatakan sesat, harus ada SKB 3 Menteri, jadi tidak bisa sembarangan menyatakan seseorang sesat. Itu menyebabkan ketidakadilan. Masih ada celah-celah hukum yang akan kami cari, bisa saja dengan pemohon yang berbeda," kata Taufik. (Ary/Sss)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini