Sukses

Hasil Riset di Jejaring Sosial, Pahlawan Adalah Ibu dan Guru

Riset PR terhadap 4 juta perbincangan tentang 'pahlawan' di jejaring sosial selama 2 tahun menyebutkan, sosok pahlawan adalah ibu dan guru.

Nyaris 7 dekade setelah kemerdekaan, gagasan tentang kepahlawanan telah banyak berubah. Bila sebelumnya kepahlawanan identik dengan perjuangan militeristik melawan penjajah asing, hari ini kepahlawanan erat kaitannya dengan tindakan orang-orang biasa yang berarti bagi sesamanya.

Demikian hasil pantauan terbaru Prapancha Research (PR) terhadap 4 juta perbincangan tentang 'pahlawan' dan 'kepahlawanan' di jejaring sosial selama 2 tahun, yakni 15 Agustus 2011 hingga 15 Agustus 2013. Dari hasil pantauan itu, umumnya kicauan menyebutkan pahlawan adalah ibu atau guru.

"Semua kicauan yang dikicaukan ulang di atas seribu kali menganggap sosok pahlawan adalah ibu atau guru. Tindakan kepahlawanan adalah membahagiakan orangtua, tak bergantung pada siapa-siapa, mengasuh tanpa timbal balik, dan berani bertanggung jawab," kata Adi Ahdiat, peneliti PR dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (16/8/2013).

Namun pada skala perbincangan yang lebih rendah kuantitasnya, pahlawan juga mencakup para olahragawan yang kiprahnya membanggakan bangsa. Contohnya Bambang Pamungkas. Dengan reputasinya sebagai penyerang handal yang menempati 5 besar pesepakbola Asia versi ESPN, dibicarakan sebagai pahlawan oleh @utdindonesia dan dikicaukan ulang sebanyak 720 kali. Selain itu, tindakan yang juga dianggap kepahlawanan adalah tindakan berkarya, berprestasi, dan membangun bangsa.

Meski demikian, hal ini tak berarti sosok-sosok yang pernah berjuang demi kemerdekaan Indonesia tidak ada lagi dalam perbincangan publik. Salah satunya, akun @vjdaniel mengicaukan, jangan menyia-nyiakan perjuangan pahlawan dengan membiarkan budaya luar membunuh budaya Tanah Air pada 17 Agustus 2012 silam dan dikicaukan ulang sebanyak 516 kali.

"Persepsi orang-orang (tentang kepahlawanan) berubah, khususnya pasca-Orde Baru. Makna kepahlawanan cenderung bergeser dan diekspresikan sebagai sesuatu yang sangat menyehari," imbuhnya.

Adi menjelaskan, hingga masa pemerintahan Orde Baru nilai kepahlawanan yang ditanamkan melalui siaran televisi, buku sejarah, dan kurikulum sekolah masih tak jauh dari perjuangan bersenjata. Perubahan pun terjadi seiring Reformasi. Kini setiap pihak dapat menyuarakan pandangannya masing-masing tentang kepahlawanan, dan tren yang berkembang adalah tindakan kepahlawanan tidak lagi menjadi monopoli tokoh-tokoh besar atau penting.

Fakta ini tak menunjukkan tergerusnya rasa kebangsaan. Pantauan ini sebatas memperlihatkan, di era di mana semua orang bisa berbicara, gagasan kepahlawanan tidak bisa lagi disebarluaskan dengan cara mendikte apalagi mendoktrin. Kini kepahlawanan hanya bisa dibangun dengan tindakan-tindakan yang nyata, inspiratif, dan membanggakan. Menurut Adi, adalah isyarat yang seharusnya ditangkap oleh semua elemen negara, yakni pemerintah, pengusaha, politisi, dan warga.

"Masyarakat telah berubah. Mereka harus diposisikan sebagai subjek aktif dalam kehidupan bernegara. Merekalah yang menentukan siapa pahlawan. Dengan demikian, tindakan kepahlawanan adalah tindakan yang punya dampak langsung bagi mereka," pungkas Adi. (Frd/Sss)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini